Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Rabeg, Kuliner Kesultanan Banten dan Jejak Sejarahnya dari Tanah Suci Makkah
7 Desember 2020 13:59 WIB
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rabeg adalah kuliner khas Banten, tepatnya dari daerah Serang. Masakan ini mirip dengan tengkleng namun memberikan aroma yang kuat seperti hidangan khas Timur Tengah. Masakan ini mudah dijumpai di kedai-kedai makan di Kota Serang dan Cilegon. Jika kita tidak suka daging kambing karena bau khasnya, maka bisa diganti dengan daging sapi meski tak sedikit pula dari masyarakat di Serang yang mencampurkan kedua jenis daging itu dalam semangkuk.
ADVERTISEMENT
Tak banyak yang tahu bahwa makanan ini memiliki sejarah panjang. Lewat buku Jejak Kuliner Arab di Pulau Jawa, dua penulis dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia, yakni Gagas Ulung dan Deerona, mengisahkan mengenai masakan rabeg.
Rabeg sendiri tak akan pernah hadir di Banten sekiranya Sultan Maulana Hasanuddin tak berkelana ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Sultan Maulana adalah putra sulung dari Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon. Dia merupakan penguasa Kesultanan Banten bergelar Pangeran Sabakinking yang memerintah antara 1552 hingga 1570.
Setelah berlayar selama beberapa waktu dari Banten menuju Arab Saudi. Ia dan rombongan tiba di pelabuhan Kota Rabigh yang terletak di tepi Laut Merah. Rabigh sendiri adalah sebuah kota kuno yang sebelumnya bernama Al Juhfah dan saat ini masuk dalam wilayah Jedah, Provinsi Makkah, Arab Saudi.
ADVERTISEMENT
Pada awal abad ke-17, sebuah tsunami besar menghancurkan kota tersebut. Namun beberapa waktu setelah kejadian itu, Al Juhfah dibangun kembali dan justru menjelma menjadi sebuah kota yang sangat indah. Sultan Maulana Hasanuddin begitu mengagumi keindahan Rabigh dan kerap menghabiskan waktu berkeliling kota.
Saat menikmati suasana kota, Sultan Maulana Hasanuddin sempat mencicipi satu masakan berbahan dasar olahan daging kambing dan menyukai kuliner tersebut. Usai melaksanakan ibadah haji dan pulang ke Banten, Sultan Maulana Hasanuddin tak bisa lupa dengan kenangan akan kota di tepi Laut Merah tadi, terutama kelezatan masakan olahan daging kambingnya.
Supaya kerinduan akan Rabigh itu terobati, ia pun meminta juru masak keraton membuatkan masakan seperti yang dia cicipi di kota Rabigh. Meski tidak sama persis, masakan karya juru masaknya tetap disukai Sultan.
Sejak saat itu kuliner ala Rabigh itu menjadi hidangan wajib di Istana Kesultanan Banten. Masakan itu pun dinamai rabigh dan seiring berjalannya waktu resep rabigh pun menyebar hingga ke seluruh Banten. Masyarakat ikut menyukai masakan favorit sultan mereka dan kata rabigh pun berubah menjadi rabeg sampai hari ini.
ADVERTISEMENT
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Banten Eneng Nurcahyati mengatakan bahwa rabeg sudah menjadi sajian yang melegenda di Banten. Karena bukan hanya terkait kelezatannya, tetapi juga nilai historisnya yang tak bisa dilepaskan dari Banten.
Sumber artikel: indonesia.go.id