Konten dari Pengguna

Rumah Panggung Tradisional Minahasa dan Riwayatnya Kini

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
6 Desember 2020 15:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rumah panggung tradisional Minahasa. Sumber: Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Rumah panggung tradisional Minahasa. Sumber: Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Minahasa yang ditulis oleh Jessy Wenas, diceritakan bahwa dulu bangunan rumah adat Minahasa dibuat dengan teknik ikat, yaitu menempel pada pohon yang tinggi. Hal ini dilakukan untuk menghindari banjir dan gangguan binatang buas.
ADVERTISEMENT
Kemudian, pada 1850 peneliti dari Belanda bernama WR Van Hoevell mencatat adanya perubahan yang terjadi pada rumah adat yang dipakai oleh suku Minahasa. Dari semula menempel pada pohon, kemudian berubah menjadi rumah panggung yang bertahan hingga kini. Dalam bahasa setempat, rumah panggung ini disebut sebagai wale meito'tol atau rumah berpilar balok kayu. Ada juga rumah berpilar batu atau disebut dengan wale weiwangin. Kedua jenis rumah panggung ini merupakan rumah adat suku Minahasa.
Kawasan yang bernama Desa Woloan di Kecamatan Tomohon Barat ini, masyarakatnya dikenal sebagai perajin rumah panggung khas Minahasa hingga sekarang. Kayu merupakan bahan baku utama untuk pembuatan rumah panggung.
Kayu yang dipakai untuk pembuatan rumah panggung adalah kayu besi (Instia bijuga). Kayu besi dipakai sebagai bahan utama struktur atau rangka rumah sedangkan kayu cempaka (Elmerrillia ovalis) dan kayu nyatoh (Palaquium spp) digunakan untuk melapisi interior atau bagian dalam rumah. Kayu besi dipilih karena tahan terhadap rayap dan memiliki sifat yang kokoh. Selain itu, kayu ini juga awet karena mampu menopang rumah hingga berusia ratusan tahun. Kayu besi umumnya dipasok dari hutan di daerah Bolaang Mongondow.
Sumber: Wikimedia Commons
Rumah panggung Minahasa dibuat dengan sistem bongkar pasang atau knock-down. Artinya, setiap model rumah dapat dipreteli kembali setelah selesai dibuat. Ada berbagai tipe rumah panggung dibuat para perajin, mulai dari yang berukuran luas 36 meter persegi hingga 200 meter persegi sanggup mereka kerjakan. Para perajin pun dapat mengerjakan rumah panggung dengan bentuk serta ukuran sesuai keinginan si pembeli. Harga jual setiap rumah panggung berbeda-beda, mulai dari puluhan juta bahkan hingga miliaran rupiah.
ADVERTISEMENT
Rumah panggung memiliki beberapa bagian. Pada ruang depan yang terbuka tanpa dinding disebut dengan loloan (fores). Masuk lebih ke dalam, akan ditemui beberapa ruangan, seperti ruang tamu dan kamar tidur. Ada juga loteng yang digunakan untuk menyimpan hasil panen atau juga digunakan sebagai tempat menjemur pakaian. Pada bagian belakang terdapat ruangan dapur (rarampoan). Dapur dibuat terpisah dari rumah induk untuk menghindari kebakaran.
Rumah panggung Minahasa mempunyai dua tangga, yaitu di bagian kiri dan kanan. Tiang utama rumah disebut dengan ari’i, yang pada bagian atasnya terdapat pintu masuk. Pada bagian badan rumah terdapat jendela (tetemboan) yang diukir hiasan berupa gambar bunga atau tanaman. Konstruksi rumah saling berkait dan membentuk pondasi rumah yang kokoh. Uniknya meski bagian-bagian konstruksi direkatkan tanpa menggunakan satu pun paku, saat terjadi gempa, rumah adat Minahasa hanya akan bergeser tanpa mengalami kerusakan pada bagian-bagiannya.
ADVERTISEMENT
Begitu masifnya permintaan rumah panggung mengancam kelestarian bahan baku kayu besi, nyatoh, dan cempaka. Produksi rumah panggung dari Woloan telah dicoba dengan bahan baku kayu kelapa, akan tetapi kesulitan memasarkannya karena kurang diminati oleh konsumen. Oleh karena itu perlu adanya jenis-jenis kayu lain yang dapat menggantikan (substitusi) ketiga jenis kayu di atas. Tentunya, supaya industri rumah panggung knock-down di Desa Woloan tetap berjalan tanpa mengalami kesulitan pasokan bahan baku kayu.
Sumber: Wikimedia Commons
Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kayu aliwowos tergolong paling berat diikuti berturut-turut rorum, bugis, kenari, binuang, dan yang teringan adalah kayu bolangitang. Selain itu keenam jenis kayu tersebut tergolong mempunyai penyusutan yang relatif kecil atau stabil.
Berdasarkan sifat-sifatnya, maka keenam jenis kayu tadi dapat dimanfaatkan bagi keperluan bahan baku pengganti rumah panggung dari Woloan untuk menggantikan jenis-jenis kayu yang selama ini dipakai. Sehingga industri rumah tradisional khas Minahasa di Sulawesi Utara ini tetap lestari dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
Sumber artikel: indonesia.go.id