Konten dari Pengguna

Sejarah, Mitos, dan Makna Sakral Sabung Ayam di Indonesia

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
4 Desember 2020 18:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sabung ayam. Sumber: Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Sabung ayam. Sumber: Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia memiliki sejarah sangat panjang mengenai domestikasi ayam. Jika selama ini hanya Sungai Kuning di Cina dan lembah Indus di India yang dianggap sebagai pusat sejarah domestikasi ayam di dunia, nyatanya Indonesia memiliki kisah sejarah tentang sabung ayam. Panjangnya sejarah interaksi manusia dan ayam di bumi Indonesia barangkali ialah kunci jawaban mengapa mitos ayam jantan begitu lekat dalam kebudayaan.
ADVERTISEMENT
Clifford Geertz menggunakan paradigma interpretasi simbolik, mendiskripsikan makna di balik sabung ayam di Bali. Geertz menemukan makna penting sabung ayam jago dalam masyarakat Bali. Di balik sabung ayam itu, ada suatu bangunan kultur yang besar, tentang status, tentang kepahlawanan, kejantanan, dan etika sosial yang menjadi dasar pembentukan budaya Bali. Sabung ayam, menurut Geertz, lebih dari sekadar judi, juga merupakan simbol ekspresi dari status, otoritas, dan lain sebagainya.
Merujuk KBBI, kata ‘jago’ secara leksikon berarti “ayam jantan”. Namun istilah ini pun berarti “calon utama dalam sebuah pemilihan”, “juara” atau “kampiun”. Pun dalam bahasa Jawa. Jago bagi orang Jawa berarti ayam. Namun kata ini juga bermakna konotatif, sebagaimana makna dalam kamus bahasa Indonesia.
Sumber: Wikimedia Commons
Secara etimologi kata jago ditengarai berasal dari bahasa Portugis yaitu ‘jogo’, yang dilafalkan ‘zhaogo’ dan secara harfiah berarti “permainan”. Konon, istilah ini mengacu pada permainan sabung ayam di Nusantara yang sangat digemari orang-orang Portugis. Dari pelafalan inilah kemudian istilah ini diserap ke Nusantara dan masuk ke pelbagai bahasa seperti bahasa Melayu atau Jawa. Namun tidak terlalu jelas, sejak kapan istilah jago jadi kata serapan
ADVERTISEMENT
Masyarakat Jawa mengenal folklore Cindelaras. Mengambil konteks dan latar belakang sejarah di zaman Kerajaan Jenggala abad ke-11, narasi ini bercerita perihal sabung ayam dan relasinya dengan simbol kuasa. Pada masyarakat Sunda, pun terdapat folklore Ciung Wanara. Mengambil konteks dan latar belakang sejarah di era Kerajaan Galuh abad ke-8. Kedua folklore ini sama-sama bercerita tentang putra raja yang terbuang, dan karena jalan takdirnya mereka kembali dipertemukan dengan ayahnya yang seorang raja, melalui momen praktik sabung ayam.
Pada sumber epik La Galigo di Bugis. Tokoh utama epik itu, yaitu Sawerigading, juga diceritakan memiliki kegemaran sabung ayam. Bahkan, kabarnya dulu orang Bugis belum bisa disebut pemberani (tobarani) bila tidak memiliki kebiasaan menyabung ayam (massaung manu’). Barangkali juga bukan hanya Bugis, tetapi bagi masyarakat Jawa, Bali, Sunda, dan lainnya, ayam jantan dulu pernah memiliki asosiasi untuk melukiskan tentang citra keberanian atau kejantanan.
ADVERTISEMENT
Jikalau folklore atau epik dari masa lalu bisa jadi salah satu sumber rujukan sejarah, maka bisa disimpulkan, secara historis simbolisme terhadap ayam menghadirkan pemaknaan yang sakral sebagai representasi simbolik tentang kekuatan. Sakralitas makna sabung ayam ini setidaknya terlihat di Bali.
Sumber: Wikimedia Commons
Geertz saat melakukan penelitian etnografi di Bali mengungkapkan pentingnya taji. Taji, yang dibuat dari logam besi sepanjang empat atau lima inci dan dipasang di kedua kaki ayam itu, hanya diasah ketika saat momen gerhana bulan atau ketika bulan tidak penuh. Selain itu, taji itu juga harus dirawat sebegitu rupa oleh pemiliknya dan dijaga supaya tidak dilihat atau dipegang kaum perempuan.
Merujuk esai Clifford Geertz disebutkan kata ‘sabung’ merupakan istilah untuk ayam jantan. Ia mengatakan istilah telah muncul dalam inskripsi-inskripsi di Bali pada 922 M. Istilah ini dipakai secara metaforis untuk mengartikan “pahlawan”, “serdadu”, “pemenang”, atau “orang kuat”. Sayangnya Geertz tak menjelaskan dari sumber prasasti mana inskripsi itu.
ADVERTISEMENT
Mengenai konteks lokalitas Bali, Geertz tidak memaparkan sejauh mana terdapat perbedaan makna antara sabung ayam dalam bentuk ‘tetajen’ dan ‘tabuh rah’. Jelas, kedua ritus sabung ayam ini berbeda konteks dan makna. Di satu sisi, tetajen ialah ritus sosial yang bersifat profan berupa perjudian, dan di sisi lain tabuh rah ialah ritus yang bersifat sakral dan keagamaan.
Sumber artikel: indonesia.go.id