Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sekilas Sejarah Jamu Gendong
10 Agustus 2017 22:22 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Meski sudah mulai ditinggalkan penikmatnya, namun hingga saat ini tukang jamu gendong masih bisa ditemui.
Kata jamu sendiri berasal dari kata jampi (dalam krama Jawa kuno). Jampi berarti ramuan ajaib. Jampi-jampi berarti mantera oleh dukun, sedangkan kata menjampi berarti menyembuhkan dengan magis/mantera. Artinya, saat dukun membuat jamu, dia harus berdoa meminta restu dari Tuhan (Tilaar, 2010).
Jamu pada mulanya memang hanya dibuat oleh mereka yang dianggap mempunyai kekuatan spiritual seperti dukun. Pembuatan jamu ini sendiri sudah berlangsung sejak masa kerajaan tradisional. Pada masa pemerintahan kerajaan di Jawa Tengah, dari kerajaan Mataram yang selanjutnya pecah menjadi Keraton Ngayogjokarto dan Surokarto, penyelenggaraan pelayanan kesehatan tidak dilakukan sampai pelosok desa.
Hal ini dikarenakan belum adanya alat transportasi yang mumpuni. Pusat kesehatan milik kerajaan yang disebut Dinas Kesehatan Kerajaan berkedudukan di ibukota kerajaan. Rumah sakit untuk pengobatan modern yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda juga berada di ibukota.
ADVERTISEMENT
Kenyataan tersebut mendorong masyarakat untuk berupaya mengatasi masalah kesehatannya sendiri dengan memanfaatkan potensi yang ada. Praktik-praktik pengobatan yang dilakukan oleh “orang pintar”, dukun atau wiku sebagian besar menggunakan ramuan (jamu), selain itu mereka juga menggunakan ilmu kebatinan.
Para dukun yang banyak dipercaya dalam proses penyembuhan itulah yang pertama kali membuat ramuan dari tumbuh-tumbuhan. Pembuatan ramuan itu biasanya berdasarkan wangsit atau wahyu.
Masyarakat yang tinggal jauh dari rumah ‘orang pintar’ tersebut, sampai pada permasalahan terhadap jarak dan alat transportasi yang harus ditempuh.
Keadaan ini mendorong berkembangnya sistem distribusi jamu tersebut. Distribusi jamu pertama kali dilakukan oleh seorang laki-laki atas suruhan dukun berdasarkan pesanan konsumen. Sistem yang dilakukan berupa barter, yakni jamu ditukar dengan bahan makanan atau barang lainnya. Hal ini dirasa sangat menguntungkan, baik oleh sidukun maupun masyarakat pemakai, sehingga kegiatan tersebut menjadi kebiasaan dan pada akhirnya pengiriman jamu dilakukan secara teratur.
ADVERTISEMENT
Pada perkembangan berikutnya penjualan jamu ke desa desa dilakukan secara berkeliling. Penjual jamu laki-laki membawa jamu dengan cara memikulnya dan kaum perempuan melakukan dengan cara menggendongnya
Karena tenaga laki-laki lebih diperlukan untuk usaha pertanian, penjualan jamu lebih banyak dilakukan oleh kaum perempuan. Setelah mengetahui usaha tersebut menguntungkan, penjual jamu mulai menjual jamu buatannya sendiri. Bahkan banyak menarik minat perempuan lain untuk berjualan. Resep-resep jamu yang diperoleh dari para dukun bayi tersebut mulai ditularkan dari mulut ke mulut, sehingga semakin banyak orang yang mengetahuinya (Suharmiati, 2003).
Sesudah masa kemerdekaan, banyak penduduk desa yang pindah ke kota untuk mengadu nasib dengan cara menjadi buruh atau berdagang, demikian juga para penjual jamu tersebut. Mengingat konsumen yang dilayani berbeda-beda, jenis jamu yang dijual akhirnya berupa jamu-jamu yang mempunyai khasiat lebih umum, seperti cabe puyang, beras kencur dan daun pepaya. Saat ini jenis jamu yang dijual oleh penjual jamu semakin banyak. Meskipun demikian mereka tetap mengembangkan resep-resep yang diturun oleh leluhurnya (Suharmiati, 2003).
ADVERTISEMENT