Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Singa Panggung Asia, Emilia Contessa
8 Desember 2017 11:44 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 1975 Asia Week menjuluki Emil, sebagai Singa Panggung Asia.
ADVERTISEMENT
Apa yang terbersit di pikiran ketika mendengar nama Emilia Contessa? Politikus? Penyanyi lawas?
Perempuan yang lahir di Banyuwangi 27 September 1957 ini sekarang memang terjun ke dunia politik dan menjadi aktivis. Namun di artikel ini bukan politik yang hendak dibahas, tapi bagaimana catatan sejarah seorang penyanyi perempuan yang mampu menggebrak panggung Asia.
Bukan hanya Agnez Mo dengan segudang penghargaan di tingkat Asianya, di tahun 1970-an panggung Asia boleh jadi milik Emilia Contessa.
Nama aslinya Nur Indah Citra Sukma Hati, putri dari Hasan Ali yang berdarah Pakistan-Madura dan RA Susiani yang berdarah Jawa-Banyuwangi. Bakatnya menyanyi memang sudah terlihat sejak kecil. Ibunya selalu mendukung ia agar mau bernyanyi di berbagai acara, dan mengikutkan Emil ke berbagai kompetisi menyanyi.
ADVERTISEMENT
Pada 1969, Emil berhasil meraih juara umum penyanyi pop ketika Surabaya menyelenggarakan PON VII di Surabaya yang berlangsung 26 Agustus – 6 September 1969 dengan juara umum DKI Jakarta. Ajang tersebut kemudian membuka jalan Emil menjadi penyanyi profesional.
Emil yang saat itu masih menggunakan nama Emilia Hasan diajak oleh pencari bakat Lee Kuan Yew dari Philips Singapura yang mengajak Emil untuk rekaman di Singapura pada tahun 1970. Emil membawakan lagu “Live and Let Live” ciptaan komponis Singapura di Festival Pop Internasional di Tokyo, luar biasanya ia berhasil masuk 35 besar menyisihkan sekitar 500 lagu dari 45 negara.
Suara soprannya yang sangat powerfull dan lantang, serta performance-nya yang menjadikan Emilia Contessa penyanyi yang berbahaya dan sulit disaingi pada masanya. Hal ini juga amini oleh media sekelas Newsweek dan New York Time, yang mana pada edisi 22 April 1975 memilih Emilia Contessa sebagai salah satu dari lima perempuan bersuara paling lantang di dunia. Pun di tahun yang sama, majalah Asia Week menjuluki Emil, sebagai Singa Panggung Asia.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan karirnya setelah merekam 12 lagu di Fontana Singapura, ia selalu dilawankan dengan Titiek Puspa. Bing Slamet bahkan membuat “Emilia Contessa-Titiek Puspa Show” yang diadakan di Teater Taman Ismail Marzuki, yang digelar pada 18 September 1972. Penonton yang datang kesana seolah disajikan dengan dua penyanyi perempun berkualitas menyanyi dengan lengkingan suara yang khas.
Lagu-lagu Emil antara lain Angin November, Flamboyan, Biarlah Sendiri, Bunga Mawar, Melati, Rindu, Bunga Anggrek, Penasaran, Kehancuran, Angin Malam, Mungkinkah, serta lagu-lagu ciptaan A. Riyanti, Rinto Harahap.
Ia juga berduet dengan Broery dalam lagu “Setangkai Bunga Anggrek”, Nasib Pengembara, dan Layu Sebelum Berkembang.
Tak hanya dunia tarik suara yang berhasil membesarkan namanya, ia kemudian melaju ke dunia layar lebar. Emil mengawali karirnya bersama Broery lewat Brandal-brandal Metropolitan pada 1971. Filmnya yang pertama tersebut ternyata mengantarkan ia pada belasan film lainnya yang ia perankan, seperti Tanah Gersang (1971), Dlam Sinar Matanya (1972), Pelangi di Langit Singosari (1972), Perkawinan (1972), Takkan Kulepaskan (1972), Akhir Sebuah Impian (1972), Dosa di Atas Dosa (1973), dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Ibu dari artis Denada ini merupakan salah satu penyanyi perempuan yang diakui perjalanan karirnya bahkan selain sampai tingkat Asia juga Amerika, bisa jadi Emilia Contessa adalah penyanyi perempuan berpengaruh pada masa Orde Baru. Meski sekarang Emilia telah bepindah haluan dengan terjun ke dunia politik, namun bagi generasi 70-an ia teteplah penyanyi perempuan legendaris dengan suaranya yang lantang dan khas.
Sumber : KS, Theodore. 2013. Rock ‘n Roll Industri Musik Indonesia: Dari Analog ke Digital. Jakarta: Kompas
foto: youtube