Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Sistem Eskpor-Impor Tradisional di Wilayah Nusantara hingga Abad ke-19
22 Januari 2018 7:06 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia sudah mengenal sistem perdagangan internasional sejak masuknya pedagang dari Arab, India, dan Tiongkok ke berbagai wilayah di Nusantara. Berbagai produk hasil alam yang berasal dari Indonesia diketahui memiliki kualitas yang sangat baik, dan banyak dari produk tersebut yang hanya dapat dijumpai di Indonesia, sehingga permintaan dari para pedagang asing selalu meningkat. Masyarakat Indonesia sebenarnya sudah mengenal sistem ekspor dan impor dalam proses perdagangan mereka, tetapi dalam bentuk yang sederhana.
ADVERTISEMENT
Sejak zaman kerajaan-kerajaan Hindu Budha berkuasa di seluruh kepulauan Nusantara, mereka menerapkan sistem ekspor-impor untuk barang-barang kebutuhan mereka. Perkembangan sistem perdagangan tersebut semakin berkembang hingga ditemukannya jalur sutera. Penemuan jalur perdagangan internasional tersebut membuat para pedagang asing memenuhi pelabuhan-pelabuhan di Nusantara.
Memasuki abad ke-18, perdagangan di Indonesia semakin ramai dengan mempertemukan pedagang dari Tiongkok, India, Eropa, Timur Tengah, dan para pedagang lokal. Pelabuhan ekspor-impor utama terdapat di wilayah Batavia, Semarang, dan Surabaya. Di sana dapat ditemukan berbagai hasil alam yang didapat dari wilayah-wilayah pedalaman, khususnya di wilayah Pulau Jawa. Sebagai gantinya, penguasa lokal di wilayah pedalaman menerima bahan-bahan mentah, seperti besi, dan baja untuk pembangunan di wilayah mereka.
Hingga abad ke-19 sistem ekpor-impor sebenarnya mencakup wilayah yang kecil, seperti pengiriman barang dari Sulawesi ke Jawa, atau sebaliknya. Barang-barang yang diimpor dari hasil alam masyarakat Bugis ke Pulau Jawa, di antaranya kamper Melayu, kulit penyu, sarang burung walet, lilin, kain sarung tenun, beberapa kerajinan lokal, dan butiran emas. Masyarakat Bugis kemudian menerima sejumlah barang dari hasil impor tersebut, seperti opium, besi, beras, garam, baja, kain dari Eropa, dan kain-kain besar hasil impor dari India.
ADVERTISEMENT
Para pedagang dari Arab dan Tiongkok membawa perahu-perahu besar dengan daya angkut antara 50-500 ton dengan daya jangkau antar negara. Kapal-kapal tersebut digunakan untuk perjalanan menyusuri pelabuhan-pelabuhan di wilayah Sumatera, Selat Malaka, dan beberapa pulau di wilayah timur Indonesia. Para pedagang Arab dan Tiongkok biasanya melakukan negosiasi langsung dengan pedagang lokal. Mereka tidak membeli barang-barang di pelabuhan besar di Pulau Jawa hasil impor dari beberapa wilayah di Indonesia karena harganya yang sangat mahal.
Hasil alam yang banyak diminati oleh pedagang dari Tiongkok adalah bahan-bahan kebutuhan untuk pengobatan. Di beberapa wilayah di Indonesia dapat dengan mudah dijumpai pedagang yang menjual sarang burung dan tempurung kura-kura yang merupakan bahan pembuat obat. Tahun 1813 pedagang Indonesia melakukan ekspor besar-besaran untuk sarang burung ke Tiongkok. Berbeda dengan para pedagang dari Tiongkok, para pedagang dari Timur Tengah dan Eropa sangat meminati rempah-rempah dari Indonesia untuk dikirim ke negara asal mereka.
ADVERTISEMENT
Sumber : Raffles, Thomas Stamford. 2015. The History of Java. Yogyakarta : Penerbit Narasi
Live Update