Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Suara Ibu Peduli: Sisi Lain Pergerakan Perempuan dalam Tragedi 1998
20 Mei 2017 13:10 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Cerita gerakan Suara Ibu Peduli, yang berkamuflase untuk berdemonstrasi.
ADVERTISEMENT
Ada sisi lain yang perlu di bahas dalam permasalahan tragedi 1998, bukan hanya para mahasiswa yang lantang, tetapi satu sisi yang seolah terlupakan, namun pergerakannya juga patut di kenang dan diakui.
Adalah Suara Ibu Peduli, sebuah usaha melalui representasi politik besutan Yayasan Jurnal Perempuan, dimana dalam hal ini mereka menggunakan istilah “ibu-ibu” sebagai alat kamuflasu untuk mengecoh para penguasa, mereka mengerti bahwa dengan terang-terangan berdemonstrasi pasti tak perlu waktu lama, mereka akan langsung di bawa dan diciduk mengingat Mei 1998 para pendemo bisa saja langsung di tembak mati.
Dalam tulisannya, Gadis Arivia yang merupakan pencetus YJP mengatakan SIP merupakan suatu gerakan politik yang berlangsung dalam periode awal reformasi, dengan maksud membuka ruang keberanian perempuan untuk terlibat dalam perubahan politik. Hotel Indonesia (pusat Ibukota) sebagai panggung politik dan memilih tanggal 23 Februari 1998, dimana status Siaga Satu (tembak di tempat) diberlakukan di Ibukota.
ADVERTISEMENT
Jauh sebelum organisasi Suara Ibu Peduli yang sebenarnya lahir, YJP menggunakan konsep ‘ibu-ibu’ dan ‘susu’ sebagai ide demonstrasi untuk melawan rezim Orde Baru, menjatuhkan Soeharto.
Awal idenya datang dari Nur Iman Subono yang mengadopsi dari cerita ibu-ibu di Plaza de Mayo di Buinos Aires, Argentina dimana sekelompok perempuan ini menjadi simbol aktifisme hak asasi dan keberanian yang direpresentasikan dengan pemakaian baju hitam-hitam dan demonstrasi bertahun-tahun setiap Selasa jam 3.30 sore di kompleks Plaza de Mayo.
Pengasahan ide demonstrasi SIP yang dimulai sejak bulan November 1997 semakin bergulir dan disepakati untuk diadakannya pertemuan pertama dengan mengundang aktifis perempuan di kantor YJP, Gedung BOR Megaria pada 13 Februari 1998. Pertemuan ini dihadiri sekitar 15 orang, antara lain Myra Diarsi (Rumah Ibu), Julia Suryakusuma, Robin Bush (mahasiswa asal Amerika Serikat), Yuniyanti Chuzaifah, Tati Krisnawaty, Salma Safitri (Solidaritas Perempuan) dan teman-teman LBH APIK juga seluruh staf YJP termasuk Nur Iman Subono, Karlina Leksono-Supelli, Umi Lasmina, Liza Hadiz, Nazaruddin, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Strategi yang digunakan adalah menggunakan kata ‘ibu-ibu’ sebagai strategi politik dan kamuflase untuk menarik simpati publik. Pun pemakaian ide susu untuk usaha subversif karena isu tersebut bukan kepemilikan isu perempuan saja. Maka dipilihlah ‘Suara Ibu Peduli’ sebagai politik representasi.
Pada masa itu, kelangkaan susu terjadi karena harga susu yang naik hingga 400. Ide ‘ibu-ibu’ dan ‘susu’ yang memang dari awal hanya digunakan sebagai politik representasi saja mengaruskan YJP menjual susu murah agar ada bukti (rekayasa) bahwa YJP benar-benar prihatin soal susu.
Barang didapat oleh staf YJP langsung dari pabrik Nestle dengan harga negosiasi (staf-staf Nestle spontan menyumbang Rp. 200.000,-) fundraising yang terkumpul Rp. 5.950.000,- dari dana individu staf yang juga bekerja di Bank Dunia. Uang terkumpul berturut-turut sampai +/- Rp. 10.000.000 hingga penyelenggaraan susu murah pada 20 Februari 1998. Tidak berhenti sampai disana, pengalangan dana berlanjut hingga mencapai ratusan juta rupiah.
ADVERTISEMENT
Pusat demonstrasi yang digunakan adalah Bundaran HI karena dianggap tempat yang strategis untuk bisa bertemu dengan berbagai kalangan dari pekerja lain. Pakaian kantor digunakan dan dipilih agar bisa menyatu dengan pekerja kantoran lain dan kamuflase pada tas kantor yang padahal isinya adalah poster-poster dan bunga-bunga material untuk demonstrasi.
Aksi yang tidak berjalan lama -- sekitar 30 menit, diakhiri dengan penangkapan pada tiga staf YJP dan berujung ditahan satu malam karena dicurigai ‘ditunggangi’ oleh kaum oposisi atau ideologi komunis dsb. Keputusan menyatakan bahwa mereka bersalah melanggar 510 KUHP tentang arak-arakan dan denda Rp. 2.250,-, Alih-alih mereka menolak pelanggaran, pun perkara tidak dilanjutkan atau tidak pernah terjadi karena Soehatro pada minggu ke-3 Mei berhenti.
ADVERTISEMENT
Banyak kesalahan interpretasi karena demonstrasi politik representasi yang YJP lakukan di Februari 1998, salah satunya pemikiran bahwa ibu-ibu 'sungguhan' turun ke jalan di Bundaran HI dan memprotes kenaikan harga susu. Padahal tidak begitu. Ibu-ibu 'sungguhan' baru bermunculan setelah aksi feminis di Bundaran HI dan dukungan terhadap mahasiwa dengan cara yang sama, yakni politik representatif ‘nasi bungkus reformasi’
Meski muncul dengan berbagai representasi mengenai SIP, tetapi gerakan represntasi ini tergolong mampu mengecoh para penguasa, walau tetap berujung penangkapan, namun disisi lain, juga membuka stigma baru bahwa ‘ibu-ibu’ bukan hanya mereka yang mengurus urusan domestik saja.
Sumber : Gadis Arivia. Politik Representasi Suara Ibu Peduli. Yayasan Jurnal Perempuan.
Live Update