Konten dari Pengguna

Sulla dan Politik Militer Roma

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
24 Januari 2019 19:14 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sulla adalah jenderal perang, sekaligus diktator Romawi yang kekuasaannya mengawali keruntuhan Republik Roma. Untuk urusan militer Sulla ditakuti oleh lawan-lawannya di medan perang sebagai komandan yang berbakat, namun untuk urusan politik ia menjadi sangat konservatif dan dikenal kejam memerintah rakyatnya. Ia menghabisi rival-rival politik layaknya musuh dari bangsa lain yang akan mengancam keamanan negara. Walaupun ia menyebut dirinya sebagai ‘penjaga konstitusi’, justru ambisinyalah yang pada akhirnya merusak konstitusi itu sendiri. Sulla pun memperoleh reputasi sebagai setengah rubah-setengah singa. Lucius Cornelius Sulla masuk ke dunia politik Roma yang hiruk pikuk tidak dari posisi yang tepat. Walau ia berasal dari keluarga bangsawan Roma, tetapi setelah kematian ayahnya Sulla hampir tidak memiliki peninggalan status sosial apapun. Bahkan menurut sejarawan Roma, Plutarch, Sulla berada dalam kehidupan rakyat jelata yang penuh penderitaan. Hal itulah yang mungkin memupuk ambisinya untuk menguasai kekaisaran dan kebangsawanan yang di masa lalu telah begitu kejam padanya. Sulla sempat mengikuti pelatihan militer ketika kecil, dan ia terlibat di dalam beberapa pertempuran pasukan Romawi sehingga memiliki dasar militer yang cukup kuat. Beranjak dewasa, Sulla mengejar ambisinya dengan menikahi seorang janda kaya, yang mewariskan harta kepada Sulla setelah ia meninggal. Dengan hartanya itu, Sulla mengikuti cursus honorum –proses di mana calon politisi beranjak ke kehdupan publik di bawah Republik Roma. Namun upayanya itu terbilang cukup terlambat, jika dibandingkan dengan rival-rivalnya yang telah memulai karir pada usia 20-an, Sulla telah berumur 30 tahun ketika bersiap berkompetisi di panggung politik tersebut. Pada 107 SM, Sulla menjadi quaestor dan memperoleh kejayaan dalam kampanye militer ketika sukses melawan raja Munidia, Jughurta, di bawah pimpinan konsul Gaius Marius. Antara tahun 101-104 SM, Sulla bekerja dengan baik di bawah Marius dan kembali ke Roma dengan reputasi serta dukungan dari beberapa Senat berkat beberapa prestasinya. Pada masa ini, Sulla bergerak cukup tenang untuk memasuki politik Roma, di mana ia mencoba memupuk reputasinya lebih besar lagi. Ia membuktikan dirinya pada Perang Sosial tahun 91-88 SM, ketika Roma harus menghadapi pemberontakan besar dari sekutu mereka. Sulla kembali bertugas di garis depan, dan memperoleh reputasi sebagai jenderal militer yang brilian dalam mengatur strategi munundukkan pemberontakan tersebut. Kembali ke Roma dengan kemenangan besar, Sulla menjadi konsul pada 88 SM, yang merupakan puncak jabatan bagi pejabat terpilih di Republik. Sulla juga berhasil mengamankan komando militer dan berkampanye melawan Raja Mithridates dari Pontus di timur Roma. Ketika sedang tidak berada di Roma, Sulla dikhianati oleh Marius yang mengabil alih posisinya atas komando militer. Sulla yang tidak ingin kehilangan hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun itupun melakukan berbagai cara untuk mengalahkan Marius, seseorang yang dahulu sangat dihormatinya. Sulla memimpin enam legiun, yang berisikan 30.000 tentara terlatih untuk menyerang militer Roma pimpinan Marius. Peristiwa penuh skandal dan berani itu menjadi penanda dimulainya Perang Saudara Pertama. Sulla memperoleh kemenangan besar pada pertempuran itu, dan Marius melarikan diri ke Afrika. Sulla pun akhirnya mendapatkan kembali posisinya. Ia lalu pergi ke timur untuk memberantas pemberontakan lain yang akan menghancurkan kekuasaannya. Ia memperoleh kemenangan di Yunani dan Mithridates, yang semakin memperkuat posisinya. Di Roma, Sulla kembali ditantang oleh Marius, yang sekali lagi menjabat sebagai konsul, dan sekutu-sukutunya. Marius menyatakan Sulla dan pengikutnya dilarang untuk memasuki Roma. Pada tahun 82 SM, Sulla kembali ke ibu kota membawa pasukan yang besar, dan kali ini tidak akan memberikan ampun bagi musuh-musuhnya, termasuk Marius. Setelah menghancurkan rival-rivalnya, pada awal tahun 81 SM, Sulla ditunjuk sebagai diktator oleh Senat yang takut akan kekuasaan Sulla yang begitu kejam. Ia segera merilis daftar orang-orang yang “dilarang hidup”. Mereka yang namanya ada di dalam daftar tersebut akan dieksekusi dan hartanya diambil. Dalam rentang waktu beberapa bulan setelah Sulla berkuasa, sebanyak 10.000 orang telah dieksekusi. Tepi sungai Tiber dipenuhi oleh mayat yang sengaja dibiarkan hanyut, sementara tempat-tempat publik dipenuhi oleh kepala pejabat-pejabat yang menentang kekuasaan Sulla sebagai bukti bahwa tidak ada yang dapat melawan kekuasaannya. Di tengah masa pembantaian tersebut, Sulla berencana membangun kembali integritas Republik Roma yang diruntuhkannya sendiri. Ia memperkenalkan hukum-hukum baru untuk mengembalikan kekuatan Senat dan para pejabat terpilih. Tahun 79 SM, setelah menghancurkan lawan-lawannya, dan menyelesaikan reformasi konstitusional, Sulla mundur dari dunia politik Roma. Jalan yang dilalui oleh Sulla telah mempertegas kekuasaan Republik hanya didapatkan oleh para jenderal militer, bukan politikus biasa. Akhirnya keadaan itu berlanjut di masa-masa setelah kekuasaan Sulla, dan dianut oleh Kaisar Roma selanjutnya.
Sulla dan Politik Militer Roma
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT