Sungai Angke, Saksi Pembantaian Etnis Tionghoa di Batavia

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
Konten dari Pengguna
12 Mei 2018 18:02 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Batavia tahun 1740, bukan soal tempat yang penuh dengan kisah-kisah romantis di dalamnya. Melainkan soal pembantaian kejam yang menimpa rakyat Tionghoa, dan sebagian rakyat pribumi di sana. Setiap sudut kota Batavia penuh sesak oleh mayat-mayat korban kekejian tentara VOC. Satu-satunya tempat yang dipilih oleh para tentara untuk membuang mayat-mayat itu adalah Sungai Angke.
ADVERTISEMENT
Batavia dibanjiri oleh darah-darah yang mengering dengan cepat meninggalkan bau amis yang sangat menyengat. Etnis Tionghoa nyaris tak bersisa di sana, bahkan mereka yang berhasil selamat dari pembantaian akan tetap dipenjara, sebelum akhirnya dihukum gantung. Tentara VOC yang ketika itu mengendalikan Batavia, membuat banyak kebijakan yang sangat merugikan para pedagang dan imigran Tionghoa yang berjumlah sekitar 10.000 jiwa.
Salah satu kebijakan VOC yang cukup merugikan rakyat Tionghoa adalah kebijakan untuk memiliki Surat Izin Tinggal, yang sangat sulit untuk mendapatkannya. Selain itu juga mereka menerapkan sistem pembayaran pajak dengan nominal yang sangat tinggi, berharap pemasukan yang cepat bertambah. Pemerintahan VOC memanfaatkan para pedagang Tionghoa yang memiliki pemasukan tinggi setiap bulannya.
Rakyat mulai merasa kebijakan-kebijakan VOC, yang disebelumnya dikatakan demi kepentingan bersama, hanyalah untuk kepentingan VOC sendiri. Mengingat pemerintah VOC kehabisan dana untuk memerintah Indonesia setelah mereka kalah bersaing dengan kelompok perdagangan Inggris dalam perdagangan bangsa-bangsa Eropa. Etnis Tionghoa yang merasa jengah dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan VOC itu mulai melakukan perlawanan.
ADVERTISEMENT
Tidak banyak memang yang membahas mengenai kejadian yang menimpa etnis Tionghoa di Batavia itu, walaupun ada hanya sebatas pelengkap untuk sejarah kota Batavia. Salah satu buku yang cukup representatif membahas mengenai pembantaian itu adalah buku Pembantaian Massal 1740, Tragedi Berdarah Angke yang terbit pada 2005, karya Hembing Wijayakusuma.
Dalam buku itu disebutkan bahwa perlawanan kecil yang dilakukan oleh rakyat Tionghoa berubah menjadi perang. Pada 7 Oktober 1740, seluruh rakyat Tionghoa berkumpul, menyusun strategi, dan membangun kekuatan untuk melakukan pemberontakan.
Mereka kemudian memutuskan untuk menyerang Kompleks Benteng Batavia, yang menjadi basis kekuatan pemerintah VOC. Sekitar 500 orang berusaha masuk ke dalam benteng, namun mereka mendapat perlawanan dari pasukan VOC yang dipimpin oleh Van Imhoff. Kerusuhan itu akhirnya dapat diredam, walau ketegangan masih menyelimuti wilayah sekitar Benteng Batavia tersebut.
ADVERTISEMENT
Kerusuhan yang terjadi di Benteng Batavia telah mencoreng nama VOC sebagai penguasa Indonesia. Van Inhoff tidak terima dengan perilaku masyarakat Tionghoa yang dianggap lancang melakukan penentangan. Pasukan VOC kemudian bergerak cepat memburu para pelaku kerusuhan. Banyak rumah dan toko-toko orang Tionghoa yang dibakar. Setiap sudut kota Batavia disisir untuk mencari tempat persembunyian orang Tionghoa. Tidak ada ampunan bagi rakyat Tionghoa, mereka dibantai dengan sangat kejam, dan jasadnya dihempaskan ke Sungai Angke.
Sungai Angke sangat dekat dengan tempat pembantaian orang-orang Tionghoa, sehingga pasukan VOC tidak ingin ambil pusing untuk mencari tempat pembuangan mayat. Mayat-mayat yang menumpuk di sana sangat banyak, membuat warna sungai berubah menjadi merah dan berbau busuk.
Sumber: Elga, A. Yusrianto. 2014. Kisah-Kisah Pembantaian Kejam dalam Peperangan Dunia. Yogyakarta: Palapa
ADVERTISEMENT
Foto: en.wikipedia.org