Konten dari Pengguna

Tari Bedhaya Semang, Cerminan Diri Manusia

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
9 April 2018 14:51 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tari Bedhaya (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Tari Bedhaya (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Terdapat beberapa sumber yang menjelaskan mengenai keberadaan Tari Bedhaya Semang ini, salah satunya informasi yang disampaikan oleh Rijklof van Goens, utusan dari Belanda yang mengunjungi kerajaan Mataram Islam antara tahun 1648 sampai 1654.
ADVERTISEMENT
Rijklof menyebutkan bahwa ketika mengunjungi Mataram, ia menyaksikan sebuah pertunjukan tari yang dilakukan oleh 11 orang penari perempuan. Tarian yang disaksikan oleh Rijklof diperkirakan adalah tari Bedhaya, karena tarian kelompok yang dilakukan di Kraton dengan jumlah mendekati 11 orang hanyalah tari Bedhaya.
Penari Bedhaya sebenarnya hanya 9 orang, diperkirakan 2 orang lain yang dilihat oleh Rijklof adalah abdi dalem yang mendampingi para penari. Para pendamping tersebut bertugas untuk merapikan busana penari selama sedang pertunjukan.
Para abdi dalem itupun memakai riasan yang sama seperti para penari, sehingga wajar jika Rijkolf menganggap bahwa mereka juga ikut dalam tarian Bedhaya tersebut. Dari informasi tersebut dapat disimpulkan bahwa Tari Bedhaya berasal dari masa Islam berkembang di pulau Jawa.
ADVERTISEMENT
Namun, terdapat informasi lain yang mengatakan bahwa ada sebuah tarian yang serupa dengan Tari Bedhaya, yang diciptakan oleh Dewa Syiwa. Hal itu berdasarkan keterangan yang ada dalam Natysastra, bahwa ada tarian yang disebut dengan Lasya atau Sakumara.
Maka, diperkirakan bahwa Tari Bedhaya berasal dari masa Hindu, ditambah keterangan yang ada dalam relief di dinding candi Prambanan. Ketika itu tari Bedhaya digunakan sebagai salah satu usaha legitimasi kekuasaan seorang raja.
Informasi lain mengenai tari Bedhaya ada pada Babad Ian Mekaring Djoged Jawa, ciptaan Gusti Bandara Pangeran Harya Soeryodiningrat. Dalam bukunya itu ia mengatakan bahwa pada masa Kerajaan Pajang, sekitar abad ke-16, sudah ada tari Bedhaya.
Hal itu berdasarkan dari adanya Manggung Bedhaya dan Srimpi yang mengiringi Sultan Pajang ketika di kerajaan ada sebuah perayaan pisowanan. Namun dalam tulisannya itu tidak disebutkan penjelasan lebih jauh mengenai bentuk tarian yang ada ketika itu.
ADVERTISEMENT
Secara umum hal pertama yang harus diperhatikan sebelum melakukan tari Bedhaya adalah sebuah upacara khusus. Salah satunya para penari harus berupasa terlebih dahulu sebagai bagian dari membersihkan diri untuk persiapan menghadapi tugas suci. Selain itu, mereka juga harus melakukan ziarah ke beberapa tokoh penting.
Tari Bedhaya dipertunjukan dalam beberapa upacara penting, seperti penobatan raja baru, tumbuk ageng raja, pernikahan kerajaan, dan menyambut tamu penting kerajaan.
Tari Bedhaya diciptakan ketika seseorang sedang menjabat sebagai raja, sehingga setiap kepemimpinan akan menciptakan sebuah tari Bedhaya. Setiap raja, selain mempertahankan keaslian tari Bedhaya, mereka pun melakukan beberapa perubahan sesuai dengan kondisi kerajaan ketika mereka berkuasa.
Oleh karena itu, tari Bedhaya digunakan sebagai alat kekuasaan seorang raja. Selain itu juga tari Bedhaya dianggap sebagai pusaka kerajaan yag dapat menambah kewibawaan seorang raja. Maka tidak heran jika keberadaannya sangatlah penting dan selalu dijaga.
ADVERTISEMENT
Di dalam pertunjukan tari Bedhaya, peran utamanya adalah tokoh Batak dan tokoh Endhel. Kedua tokoh ini melambangkan peperangan antara akal pikiran dan jiwa manusia dengan nafsu manusia. Konflik antara keduanya merupakan gambaran dari dua sisi manusia yang selalu saling bertentangan, yaitu sisi baik dan sisi buruk.
Terdapat 9 tokoh dalam tari Bedhaya, yakni batak, Endhel, Ajeg, Jonggo, Apit Mburi, Dhadha, Endhel Weton, Meneng, dan Buntil. Sembilan penari Bedhaya memiliki perannya masing-masing, dan ketika sudah memegang satu peran mereka tidak bisa merubah perannya itu selama melakukan pertunjukan.
Walau memiliki peran yang berbeda, tetapi riasan yang dipakai ketika pertunjukan seluruhnya sama. Hal itu sebagai simbol, bahwa setiap manusia terlahir dalam wujud dan keadaan yang sama, hanya saja dalam perkembangan selanjutnya yang membuat setiap manusia berbeda.
ADVERTISEMENT
Sumber: warisanbudaya.kemendikbud.go.id