Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Tradisi Basing Masyarakat Kajang dalam Menghadapi Kematian
9 April 2018 9:57 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masyarakat Kajang adalah salah satu suku bangsa di Indonesia yang mengasingkan diri dari perkembangan dan pengaruh dunia luar. Awalnya masyarakat Kajang menganut kepercayaan Animisme, namun abad ke-17 Islam masuk dan menyebarkan pengaruhnya di sana.
ADVERTISEMENT
Islam masuk melalui seorang Datuk yang berasal dari Semenanjung Melayu, yang datang ke Pattiro di pantai selatan Pulau Sulawesi. Datuk itu oleh masyarakat Sulawesi dikenal sebagai Datuk di Tiro. Ia berhasil mengislamkan masyarakat Kajang, namun tidak secara tuntas mengajarkan ajarannya.
Akibat dari ketidaktuntasan ajarannya itu, masyarakat Kajang masih mempraktekkan beberapa ajaran dari kepercayaan sebelumnya. Salah satunya adalah ketika menghadapi dan mengurusi sebuah upacara kematian.
Masyarakat Kajang mengenal tradisi lisan yang menggambarkan perjalanan kehidupan manusia mulai dari alam rahim hingga ke alam setelah kematian. Tradisi lisan tersebut dikenal dengan nama Basing.
Syair-syair yang dilantunkan dalam tradisi Basing adalah bentuk ekspresi kesedihan dari keluarga yang ditinggalkan ketika seseorang telah meninggal. Tradisi Basing ini dilakukan oleh 4 orang, terdiri dari 2 orang perempuan dewasa yang menyanyikan lagu-lagu duka, dan 2 orang laki-laki dewasa yang meniup seruling bambu dengan panjang 1 meter, yang disebut dengan basing.
ADVERTISEMENT
Keempat orang itu yang melakukan basing itu berada di salah satu sudut ruangan, tidak jauh dari posisi jenazah ditempatkan. Suara nyanyian vokal dan seruling saling beriringan membentuk irama yang mendayu-dayu, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan dalam tradisi basing tersebut.
Diketahui, masyarakat Kajang ketika sedang berada dalam suasana duka, tidak diperkenankan memakai pakaian. Mereka hanya boleh menutupi tubuhnya dengan sebuah sarung berwarna hitam, baik laki-laki maupun perempuan. Demikian halnya dengan para pemain basing yang melakukan hal serupa sebagai bagian dari tradisi yang harus dijalani.
Tradisi basing dilakukan untuk menghibur keluarga yang sedang berduka dengan menghadirkan kembali kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan oleh mereka yang telah meninggal semasa hidupnya, dan membayangkan kehidupan yang akan dijalani setelah memasuki alam kematian, yang dipercaya akan berada di tempat yang baik.
ADVERTISEMENT
Sumber : warisanbudaya.kemendikbud.go.id