Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Wacana Musik Dangdut Era 1970-an
1 November 2017 7:59 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Menjamurnya orkes melayu di Indonesia, ditambah dengan masuknya musik India pada dekade 1950-an membuat sebuah kolaborasi dengan alat musik pengiring yang kelak melahirkan sebuah genre baru yang diklaim sebagai musik asli negeri ini.
ADVERTISEMENT
Perpaduan budaya yang tidak bisa terlepas dari musik Melayu, Timur Tengah, dan India ini kemudian pada awal 1970-an mengkristal menjadi “dangdut”. Nama dangdut sendiri sering disebut-sebut berasal dari bunyi irama kendang yang meninggalkan suara “dut”.
Mereka para penggiat dangdut macam Ellya Khadam, Elvy Sukaesih, Rhoma Irama, A.Rafiq, dll menjadi rentetan nama-nama yang menjadi penyanyi legendaris awal, bahkan hingga saat ini
Dangdut pada kenyataannya selalu di identikan dengan “musik kalangan bawah” yang kurang gaul, dan kampungan. Namun berbicara mengenai stereotipe yang muncul dalam pelabelan musik dangdut, ternyata memang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan budaya populer pada masa rezim Orde Baru.
Seperti yang sering dibahas di postingan sebelumnya, bahwa hal yang paling membedakan antara masa kepemimpinan Soekarno dan Soeharto, salah satunya adalah pelegalan masuknya musik Barat ke Indonesia. terisolasinya Indonesia dari pengaruh musik Barat pada masa Soekarno, menjadi faktor mengapa ketika Soeharto melegalkan musik Barat, masyarakat Indonesia seolah ‘keranjingan’ sehingga dengan mudahnya menjadi sebuah dominasi musik barat di negeri ini kala itu.
ADVERTISEMENT
Musik pop Indonesia, rock, jazz, atau genre lain tampil sebagai ciri musik Indonesia yang terlalu kental impor-nya, bukan lagi karya murni tapi semuanya hampir berkiblat ke Eropa dan Barat. Budayawan Emha Nadjib (1979) pernah secara gamblang menegur masyarakat Indonesia yang kehilangan jatidirinya dalam bermusik.
Dangdut kemudian tercipta ditengah gempuran masyarakat yang tengah dibuai musik asing. Pada 1970-am, kalangan pendengar dangdut menempati lapisan bawah dalam struktur politik dan ekonomi, serta digambarkan dalam berbagai artikel majalah dan koran pada masa itu sebagai “rakyat kecil”, “rakyat jelata”, “kaum pinggiran”, dll
Dangdut berkembang di lingkungan-lingkungan urban yang terpinggirkan secara sosial dan ekonomi pada 1960-an dan awal 1970-an, termasuk Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Dangdut berhasil menarik para tukang becak, sopir angkot, tukang bakso, tukang bajaj, para pedagang asongan, mereka yang tak sempat mendapat hiburan mahal di kawasan berduit.
ADVERTISEMENT
Meski terkadang didentikan dengan sebuah musik “perlawanan” terhadap budaya populer pada masa populer yang didominasi oleh musik impor, namun dangdut bukan lagi wacana remeh temeh saat itu. Pada 1972, album-album Ellya Khadam terjual lebih banyak daripada para pesaingnya di genre pop Indonesia. selang tiga tahun kemudian dangdut menguasai 75% dari seluruh musik rekaman, yang diproduksi oleh para pencetak hit pop pada masanya.
Dangdut pada era 1970-an membuat wacana besar dengan mengusung “dangdut sebagai rakyat”, sebuah bentuk representasi kalangan menengah kebawah tentang cara menikmati musik tanpa harus mengikuti arus dominasi musik barat. Lebih dari itu dangdut era 70-an dipakai sebagi sebuah identitas rakyat Indonesia.
Sumber : Weintraub, Andrew N. 2012. Dangdut: Musik.Identitas, dan Budaya Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
ADVERTISEMENT