Godzilla Nggak ada Matinya

Pradna Aqmaril Paramitha
Saya lulusan Sastra Inggris Universitas Padjadjaran yang gemar menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Saat ini aktif menulis artikel sejarah untuk Neo Histeria.
Konten dari Pengguna
1 Maret 2021 16:46 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pradna Aqmaril Paramitha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Foto: Chris Favero, Flickr)
zoom-in-whitePerbesar
(Foto: Chris Favero, Flickr)

Dari zaman film hitam putih sampai zaman CGI, apa yang membuat Godzilla, Raja para Monster digandrungi dari zaman ke zaman?

ADVERTISEMENT
Dalam trailer Godzilla vs Kong, terlihat King Kong dirantai di atas sebuah kapal. Dia terlihat berbaring, seolah tidak bersemangat.
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba dia bangkit dan meraung ke lautan. Ia langsung disambut oleh makhluk raksasa yang keluar dari air diiringi ledakan dahsyat. Beberapa detik kemudian, Godzilla merangkak ke atas kapal induk.
Fans turut menahan napas menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Siapa yang jadi juaranya? ‘Raja’ Kong? Atau Raja para Monster sendiri, Godzilla?
Sayangnya, fans harus menunggu sampai 31 Maret 2021 untuk menonton Godzilla vs Kong.
Aksi Godzilla, sang ‘Raja para Monster’, terus menarik perhatian movie-goer dari tahun ke tahun. Semenjak tahun 50-an hingga 2021, Godzilla terus meninggalkan jejak yang besar dalam sejarah perfilman.
Pada 1954, produser Tomoyuki Tanaka sedang dalam perjalanan pulang dari Jakarta. Dia baru saja gagal meneken kontrak dengan pemerintah Republik Indonesia. Tadinya, Toho berencana mengajak kerjasama untuk membuat film tentang penjajahan Jepang di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tanaka kebingungan mencari ide untuk film berikutnya. Ia tahu Toho harus menjaring perhatian dengan memanfaatkan tren dan peristiwa terkini.
Saat itu, Jepang tengah dilanda kepanikan massal. Sebuah kapal pemancing Jepang terkena paparan radiasi dari senjata nuklir Amerika Serikat di Bikini Atoll, Samudera Pasifik. Salah satu awak kapal tersebut menjadi manusia pertama yang menjadi korban pengujian bom nuklir.
Kejadian tersebut mengilhami Tanaka. Ia telah menyaksikan dahsyatnya film monster Hollywood seperti King Kong dan The Beast from 20,000 Fathoms. Bedanya, Tanaka ingin membayangkan monster kadal raksasa yang melambangkan bencana nuklir.
Monster barunya diberi nama Gojira, yang juga dijadikan judul film. Konon, 'gojira' merupakan kombinasi dari bahasa Jepang untuk paus (kujira) dan gorila (gorira).
ADVERTISEMENT
Setibanya di Jepang, Tanaka menunjuk Ishiro Honda dan Takeo Murata untuk menulis film barunya. Nantinya, Ishiro Honda akan terus menyutradarai semua film Godzilla hingga tahun 1970.
Honda tidak hanya ingin menghasilkan film yang memberi untung. Ia membayangkan film monster yang berkiblat pada genre horor sekaligus sci-fi (sains-fiksi). Melalui arahannya, Ishiro ingin menghasilkan film mengingatkan penonton pada tragedi bom atom yang menimpa Hiroshima dan Nagasaki.
Untuk itu, digandenglah Eiji Tsuburaya, pionir special effects dari Jepang. Tsuburaya membantu Honda mewujudkan visinya dengan membangun miniatur rumah dan bangunan yang dibuat sedemikian rupa sehingga menambah kesan realistik pada film.
Selain itu, Tsuburaya juga mencanangkan dan menyempurnakan teknik ‘suitmation’ dalam film Gojira. Teknik ini melibatkan aktor yang memerankan monster dengan mengenakan kostum. Tugas aktor kostum diberikan pada Haruo Nakajima, yang akan terus ‘memerankan’ Gojira hingga 1972.
ADVERTISEMENT
Kostum yang dipakai tentu tidak sembarangan. Beratnya melebihi seratus kilogram dan temperatur di dalamnya bisa mencapai 60 derajat Celcius. Nakajima sendiri bahkan sering pingsan ketika berada di set.
Tetapi, Nakajima memang bukan ‘aktor memakai kostum’ biasa. Ia meniru cara gajah melangkah untuk menambahkan kesan masif pada Gojira. Terlebih lagi, rangka kostum yang terbuat dari kawat, bambu, latex, dan kawat ayam membuat gerak Gojira terkesan lambat seperti monster sungguhan.
Film tragedi yang dicanangkan Tanaka tentu tidak akan lengkap tanpa drama manusia. Karenanya, dipilih aktor-aktor pendatang seperti Akihiko Harata (yang memainkan karakter ikonik Dr. Serizawa). Ada juga Takashi Shimura, aktor veteran yang banyak tampil di film direktur terkenal Akira Kurosawa.
Gojira juga didukung oleh musik gubahan Akira Ifukube. Karya-karyanya yang dramatis menaikkan ketegangan di sepanjang film. Nantinya, franchise Godzilla terus menggunakan karya Ifukube di setiap film mereka, terutama musik ikonik yang selalu mengiringi kemunculan sang monster.
ADVERTISEMENT
Toho tidak ingin karyanya terus menetap di Jepang. Mereka membawa Gojira ke seberang lautan. Di Amerika, Gojira dirilis dengan judul Godzilla: King of the Monsters.
Film disunting sedikit sebelum ditayangkan di bioskop Amerika. Beberapa adegan film dipotong dan digantikan adegan-adegan baru yang dibintangi aktor kawakan Raymond Burr. Beberapa elemen film seperti radiasi dan senjata nuklir juga dihilangkan.
Godzilla alias Gojira memang menemui ajalnya dalam film. Namun, pada 1955, ‘Raja para Monster’ bangkit dari kuburnya untuk membintangi Godzilla Raids Again.
Sambutan Godzilla Raids Again tidak sebombastis film sebelumnya. Tetapi, Godzilla Raids Again mencetak sejarah karena pertama kali menampilkan Godzilla melawan monster lain. Kali ini, Godzilla menghadapi monster bertanduk bernama Anguirus.
Godzilla Raids Again kembali diputar di Amerika, kali ini dengan nama Gigantis the Fire Monster. Sayangnya, film ini tidak berhasil meraih kesuksesan yang dicapai King of the Monsters.
ADVERTISEMENT
Setelahnya, Godzilla diistirahatkan selama beberapa tahun. Sementara itu, Toho terus mengeluarkan film bergenre kaiju (monster) lain. Diantaranya adalah Rodan (1955), yang menceritakan dua reptil terbang. Nantinya, karakter Rodan akan hadir kembali di film garapan Legendary Pictures tahun 2019.
Toho kembali melahirkan monster ikonik melalui film Mothra (1961). Monster ngengat yang dinamakan Mothra berlanjut jadi monster Toho paling populer kedua setelah Godzilla sendiri. Mothra juga akan kembali sebagai karakter berulang dalam film-film Godzilla berikutnya.
Namun, setahun sebelumnya, Hollywood dan Toho bergandengan tangan untuk menghidupkan kembali dua monster favorit mereka: King Kong dan Godzilla.
Willis O’Brien adalah seniman stop motion yang menjadikan King Kong (1933) begitu revolusioner. Ia berencana menghidupkan King Kong kembali setelah nyaris tiga dekade. Sayangnya, teknik stop motion yang Ia niatkan untuk film barunya terlalu mahal dan memakan waktu.
ADVERTISEMENT
Tanpa produser yang bisa membantu visinya, akhirnya O’Brien membawa idenya ke hadapan Toho.
Trio Honda, Ifukube, dan Tsuburaya kembali untuk mewujudkan King Kong vs. Godzilla. Untuk pertama kalinya, Godzilla dan King Kong hadir di layar berwarna.
Meski tidak mendapat pengakuan sebaik Gojira, King Kong vs Godzilla menjadi film Toho yang paling sukses secara finansial pada 1962. Pencapaian tersebut memotivasi Honda dkk untuk membuat Mothra vs Godzilla pada 1964.
Suksesnya Mothra vs Godzilla menghasilkan amunisi untuk proyek ambisius Toho berikutnya. Di tahun yang sama, Toho merilis Ghidorah, the Three Headed Monster. Film ini bisa dibilang penting karena mengenalkan Ghidorah, naga berkepala tiga yang menjadi musuh bebuyutan Godzilla di film-film berikutnya.
Lebih penting lagi, Toho berhasil mengembalikan Mothra dan Rodan ke dalam franchise Godzilla. Sejak setengah abad yang lalu, Toho telah mengeksekusi konsep cinematic universe yang sekarang dipopulerkan oleh Marvel.
ADVERTISEMENT
Selama 65 tahun, Toho terus mengeluarkan film demi film dalam franchise Godzilla. Pada tahun 2015, Guinness World Records menobatkan Godzilla sebagai franchise film yang berjalan paling lama.