Konten dari Pengguna

Meningkatkan Self-Esteem dan Self-Efficacy untuk Mencegah Academic Burnout

Arya Ramadhani putra pratama
Mahasiswa baru psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9 Juni 2024 14:00 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arya Ramadhani putra pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi seorang pria keletihan belajar. Sumber: Pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi seorang pria keletihan belajar. Sumber: Pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bagaimana self-esteem memengaruhi persepsi individu terhadap diri mereka sendiri, dan bagaimana hal itu berkaitan dengan mencegah academic burnout? Self-esteem adalah pondasi psikologis utama yang membentuk persepsi individu terhadap diri mereka sendiri. Evaluasi positif, di mana seseorang merasa berharga, mampu, dan memiliki nilai, dapat meningkatkan self-esteem, sementara evaluasi negatif cenderung menurunkan tingkatnya.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks mencegah academic burnout, peran self-esteem sangat signifikan. Individu dengan self-esteem tinggi memiliki keyakinan diri yang kuat, motivasi tinggi, sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain, serta kemampuan mengatasi tantangan sehari-hari, termasuk tekanan akademik.Di sisi lain, individu dengan self-esteem rendah lebih rentan terhadap academic burnout. Mereka cenderung merasa tidak berharga, kurang percaya diri, menghindari tantangan, dan rentan terhadap stres dan masalah emosional lainnya, yang dapat menghambat motivasi dan kemampuan mereka dalam menghadapi tugas-tugas akademik.
Konsep Self-Esteem: Evaluasi Diri dan Dampaknya
Ilustrasi Konsep self esteem. Sumber: pngtree
Self-esteem memiliki dampak yang signifikan pada kehidupan seseorang. Ketika seseorang memiliki self-esteem yang tinggi, mereka cenderung memiliki keyakinan diri yang kuat, motivasi yang tinggi untuk mencapai tujuan, sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, serta kemampuan untuk mengatasi tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, self-esteem rendah dapat menyebabkan individu merasa tidak berharga, kurang percaya diri, cenderung menghindari tantangan, dan rentan terhadap stres dan masalah emosional lainnya.
ADVERTISEMENT
Konsep self-esteem juga sangat relevan dalam konteks pembentukan identitas individu. Ketika seseorang memiliki self-esteem yang sehat, mereka cenderung memiliki pandangan yang lebih positif terhadap diri sendiri, memiliki hubungan sosial yang baik, dan mampu menghadapi tekanan dan tantangan kehidupan dengan lebih baik. Sebaliknya, self-esteem yang rendah dapat menyebabkan individu mengalami kesulitan dalam membentuk hubungan yang sehat, merasa tidak layak mendapatkan kesuksesan, dan cenderung merasa terisolasi atau tidak dihargai oleh orang lain(Delamater & Myers yang dikutip dalam Hasanati & Afiyani, 2020)
Pentingnya membangun self-esteem yang positif tidak hanya berlaku bagi individu secara pribadi, tetapi juga dalam konteks sosial dan profesional. Individu dengan self-esteem yang tinggi cenderung lebih sukses dalam mencapai tujuan mereka, lebih percaya diri dalam berinteraksi dengan orang lain, dan lebih mampu mengatasi tantangan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk secara aktif membangun dan merawat self-esteem yang positif melalui pemahaman diri yang mendalam, pengakuan akan nilai-nilai dan kekuatan pribadi, serta kerja keras dalam mengatasi ketidakpastian dan hambatan yang mungkin timbul dalam perjalanan hidup mereka.
ADVERTISEMENT
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self-Esteem
ilustrasi jenis kelamin sebagai faktor self esteem. Sumber: pngtree
Menurut McLoed, Owens, Powell, dan Ghufron (2016), ada berbagai faktor yang dapat memengaruhi tingkat self-esteem seseorang. Pertama adalah usia, di mana perkembangan self-esteem terjadi dari masa kanak-kanak hingga remaja. Selain itu, faktor ras, etnis, dan pubertas juga berperan dalam membentuk self-esteem. Selanjutnya, faktor berat badan, keterlibatan dalam kegiatan fisik, dan jenis kelamin juga memengaruhi self-esteem seseorang.
Proses Pembentukan Self-Esteem
ilustrasi mengobrol yang merupakan proses interaksi sosial self esteem. Sumber: pngtree
Pembentukan self-esteem dimulai sejak usia pertengahan kanak-kanak dan terus berkembang hingga remaja akhir. Papalia dan Ghufron (2016) mengatakan bahwa harga diri mulai terbentuk dari interaksi sosial dan pengalaman hidup, baik yang menyenangkan maupun tidak. Proses ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti usia, lingkungan sosial, dan pengalaman pribadi. Seiring bertambahnya usia, self-esteem cenderung tetap stabil meskipun responsif terhadap pengalaman yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Self-Efficacy: Kunci Keberhasilan di Bidang Akademik
ilustrasi seseorang mendapatkan piala terhadap self efficacy. Sumber: pngtree
Dalam dunia akademik yang kompetitif dan penuh tantangan, konsep self-efficacy atau efikasi diri memegang peran utama dalam menentukan tingkat kesuksesan seseorang. Self-efficacy adalah keyakinan pribadi terhadap kemampuan diri untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pentingnya konsep ini dalam konteks akademik dapat dipahami lebih dalam melalui definisi yang diberikan oleh Bandura, seorang ahli psikologi yang sangat dihormati. Konsep ini tidak sekadar mencakup keyakinan diri, tetapi juga mencakup evaluasi terhadap kemampuan individu dalam menghadapi berbagai tugas dan tantangan yang ada di lingkungan akademik.
Dalam proses belajar dan perkuliahan, self-efficacy memiliki pengaruh yang signifikan terhadap motivasi, strategi belajar, dan pencapaian akademis. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung memiliki motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan akademiknya. Mereka mungkin lebih percaya diri dalam menghadapi ujian, presentasi, atau proyek akademik karena yakin memiliki kemampuan yang diperlukan untuk sukses. Selain itu, self-efficacy juga memengaruhi strategi belajar yang dipilih oleh seseorang. Individu dengan self-efficacy yang tinggi cenderung menggunakan strategi belajar yang efektif, seperti membuat jadwal belajar terorganisir, mengambil catatan yang sistematis, dan mencari sumber informasi tambahan untuk mendukung pemahaman mereka.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, self-efficacy juga berdampak pada pencapaian akademis secara keseluruhan. Studi yang dilakukan oleh Anggraini & Chusairi pada tahun 2017 menunjukkan bahwa mahasiswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung mencapai prestasi akademis yang lebih baik daripada mereka yang meragukan kemampuan diri mereka sendiri. Dengan demikian, pengembangan self-efficacy menjadi kunci penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang produktif dan memfasilitasi kesuksesan akademik, yang juga merupakan aspek penting dari strategi pendidikan yang efektif.
Tipe Efikasi Diri: Pengaruhnya terhadap Kinerja Akademik
ilustrasi seseorang pria rajin menulis yang merupakan self efficacy tinggi. Sumber: Pexels.com
Efikasi diri akademik merupakan konsep yang berdampak besar dalam kinerja dan kesuksesan seseorang di lingkungan akademik. Yuliyani et al. (2017) membedakan dua tipe efikasi diri dalam konteks ini, yaitu efikasi diri akademik rendah dan tinggi. Efikasi diri akademik rendah ditandai oleh ketidakpercayaan pada kemampuan diri sendiri. Ini mencakup perasaan kurang yakin dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik, keraguan terhadap kemampuan untuk mencapai tujuan, dan merasa tidak mampu mengatasi tantangan yang sulit. Selain itu, individu dengan efikasi diri akademik rendah cenderung memiliki evaluasi negatif terhadap diri sendiri, yang bisa menghambat motivasi dan kinerja akademis mereka. Kurangnya komitmen terhadap tujuan juga menjadi ciri dari efikasi diri akademik rendah, di mana individu mungkin tidak merasa terdorong untuk mencapai prestasi tertentu karena merasa tidak mampu.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, efikasi diri akademik tinggi menunjukkan pola pikir yang berbeda dan lebih positif. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki keyakinan yang kuat pada kemampuan diri mereka. Mereka yakin bahwa mereka mampu menyelesaikan tugas-tugas akademik dengan baik dan berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan. Keyakinan ini didukung oleh motivasi yang tinggi, yang mendorong individu untuk bekerja keras dan menghadapi tantangan dengan sikap yang positif. Selain itu, individu dengan efikasi diri akademik tinggi cenderung memiliki pemikiran strategis dalam menghadapi tugas-tugas sulit. Mereka mampu mengidentifikasi strategi yang efektif dan berkomitmen untuk mencapai hasil yang optimal, yang mendukung kinerja akademis yang baik.
Dengan demikian, perbedaan antara efikasi diri akademik rendah dan tinggi sangat signifikan dalam konteks prestasi akademis dan kesejahteraan psikologis. Pengembangan efikasi diri akademik yang tinggi menjadi tujuan penting dalam mendukung kesuksesan individu di lingkungan pendidikan. Ini mencakup upaya untuk meningkatkan keyakinan diri, mengembangkan motivasi yang kuat, dan mengajarkan strategi-strategi efektif dalam menghadapi tugas-tugas akademik yang menantang.
ADVERTISEMENT
Academic Burnout: Dampak Stres di Lingkungan Akademik
ilustrasi frustasi pada dampak academic burnout. Sumber: Istockphoto.com
Mahasiswa yang tidak mampu mengelola stres akademik dengan efektif, ini dapat mengakibatkan academic burnout, sebuah fenomena yang sering diidentifikasi di lingkungan pendidikan tinggi. Menurut Orpina & Prahara (2019), mahasiswa yang kurang efisien dalam menangani tuntutan perkuliahan dan pekerjaan cenderung lebih rentan terhadap berbagai dampak buruk, termasuk burnout. Academic burnout adalah kondisi yang dijelaskan oleh Schaufeli (2009) sebagai perasaan kelelahan, frustrasi, dan kehilangan motivasi yang signifikan, yang dapat mengganggu kinerja akademis dan kesejahteraan psikologis seseorang.
Dalam konteks akademik, academic burnout dapat memiliki dampak yang serius pada mahasiswa. Hal ini karena burnout dapat mengurangi motivasi belajar, menurunkan kinerja akademis, dan meningkatkan risiko mengalami gangguan kesehatan mental. Mahasiswa yang mengalami burnout cenderung mengalami penurunan minat dan keterlibatan dalam kegiatan akademik, serta kesulitan dalam mempertahankan konsentrasi dan fokus pada tugas-tugas yang diberikan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, academic burnout juga dapat memengaruhi aspek emosional dan fisik mahasiswa. Mereka mungkin merasakan gejala seperti kelelahan yang berlebihan, perasaan frustasi yang persisten, kehilangan minat pada hal-hal yang sebelumnya menyenangkan, dan bahkan depresi atau kecemasan yang lebih serius. Semua ini dapat mengganggu kesejahteraan umum mahasiswa dan menghambat kemampuan mereka untuk belajar dan berfungsi dengan baik di lingkungan akademik.
Dimensi Academic Burnout: Emotional Exhaustion, Cynicism, dan Low Personal Accomplishment
ilustrasi seseorang yang kelelahan emosional akademik. Sumber: pngtree
Menurut Maslach (dalam Mufliha & Savira, 2021), academic burnout adalah suatu kondisi yang memiliki tiga dimensi utama yang saling terkait. Dimensi pertama adalah emotional exhaustion, yang mengacu pada perasaan kekurangan energi dan sumber daya emosional. Mahasiswa yang mengalami emotional exhaustion seringkali merasa terkuras secara emosional dan kehilangan semangat dalam menjalani tugas-tugas akademik mereka. Mereka mungkin merasakan kelelahan yang berlebihan, kesulitan dalam mempertahankan fokus, dan penurunan motivasi yang signifikan.
ADVERTISEMENT
Dimensi kedua dari academic burnout adalah cynicism, yang mencerminkan sikap sinis dan terasing dari pembelajaran. Mahasiswa yang mengalami cynicism cenderung memiliki pandangan yang negatif terhadap lingkungan akademik dan kehilangan minat pada proses belajar-mengajar. Mereka mungkin merasa frustrasi, kecewa, dan cenderung menghindari keterlibatan dalam aktivitas akademik karena sikap sinis dan kurangnya antusiasme.
Dimensi ketiga adalah low personal accomplishment, yang menunjukkan persepsi diri yang negatif terhadap kemampuan dalam menyelesaikan tugas akademik. Mahasiswa yang mengalami low personal accomplishment sering merasa tidak percaya diri, meragukan kemampuan mereka, dan mengalami kegagalan dalam mencapai tujuan akademik yang telah ditetapkan. Mereka mungkin merasa tidak kompeten dan kurangnya pencapaian pribadi yang memuaskan dalam konteks akademik.
Dengan memahami konsep-konsep ini, diharapkan individu dapat mengembangkan self-esteem yang kuat, meningkatkan self-efficacy dalam menghadapi tugas-tugas akademik, dan menghindari risiko academic burnout melalui manajemen stres yang efektif. Pengembangan self-esteem yang positif dapat membantu mahasiswa untuk menghadapi tekanan akademik dengan lebih baik, sementara meningkatkan self-efficacy dapat memperkuat keyakinan mereka dalam mengatasi tantangan akademik. Manajemen stres yang efektif juga penting untuk mencegah terjadinya burnout dan memastikan kesejahteraan mental dan emosional mahasiswa tetap terjaga selama proses pembelajaran.
ADVERTISEMENT
Gejala dan Konsekuensi Kesehatan Fisik akibat Academic Burnout
ilustrasi seseorang pusing dalam akademik. Sumber: pngtree
Menurut Caputo (1991), kondisi burnout tidak hanya memiliki dampak psikologis, tetapi juga berdampak pada kesehatan fisik individu. Individu yang mengalami burnout sering mengalami berbagai kondisi fisik yang mengganggu kesejahteraan mereka sehari-hari. Sakit kepala, demam, dan sakit punggung adalah beberapa gejala fisik yang sering dialami oleh orang-orang yang mengalami burnout. Selain itu, mereka juga rentan terhadap penyakit lain karena sistem kekebalan tubuh yang melemah akibat stres yang berkepanjangan.
Khususnya dalam konteks akademik, mahasiswa yang mengalami academic burnout seringkali menghadapi masalah kesehatan fisik yang mengganggu kegiatan perkuliahan mereka. Mereka mungkin mengeluhkan kelelahan yang berlebihan, kesulitan tidur, serta sering mengalami sakit yang membuat mereka sulit berkonsentrasi dan berpartisipasi secara optimal dalam proses pembelajaran. Hal ini dapat menghambat kemampuan mereka untuk menyelesaikan tugas-tugas akademik dengan baik dan bahkan mendorong mereka untuk menunda beberapa tanggung jawab akademik.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi kesehatan fisik yang terjadi akibat academic burnout juga dapat mempengaruhi kinerja akademik secara keseluruhan. Mahasiswa yang mengalami berbagai kondisi fisik yang mengganggu dapat mengalami penurunan energi fisik, keletihan terus menerus, dan merasa tubuhnya lemah. Hal ini dapat menghambat kemampuan mereka untuk belajar dengan optimal, berpartisipasi aktif dalam diskusi kelas, dan menyelesaikan tugas-tugas dengan kualitas yang baik. Oleh karena itu, penting bagi mahasiswa untuk mengelola stres dengan baik dan memperhatikan kesehatan fisik mereka agar dapat menjalani kehidupan akademik dengan lebih baik dan efektif.
Strategi Mencegah dan Mengelola Gejala Kesehatan Fisik akibat Academic Burnout
ilustrasi meditasi yang merupakan strategi mencegah academic burnout. Sumber: pngtree
Pentingnya strategi dalam mencegah dan mengelola gejala kesehatan fisik akibat academic burnout menuntut pendekatan yang holistik, yang melibatkan perhatian pada aspek-aspek kesehatan mental dan fisik. Ketika berada di lingkungan akademik yang kompetitif, individu perlu menyadari bahwa tekanan dan stres akademik bisa berdampak negatif pada kesejahteraan secara menyeluruh. Oleh karena itu, mengembangkan strategi untuk mengatasi gejala kesehatan fisik akibat academic burnout menjadi sangat penting dalam menjaga keseimbangan dan produktivitas.
ADVERTISEMENT
Salah satu strategi utama adalah dengan memprioritaskan pola tidur yang sehat dan teratur. Telah terbukti melalui penelitian bahwa kurang tidur dapat meningkatkan risiko academic burnout dan berdampak negatif pada kesehatan fisik secara keseluruhan. Oleh karena itu, pentingnya tidur yang memadai untuk menjaga kesehatan mental dan fisik individu di lingkungan akademik (Orpina dan Prahara,2019).
Selain itu, perlu memperhatikan pola makan yang seimbang dan nutrisi yang mencukupi. Untuk mencapai kesehatan fisik yang optimal, diperlukan asupan nutrisi yang baik, termasuk konsumsi makanan sehat dan menghindari makanan yang mengandung gula dan lemak berlebihan. Caputo(1991) menyoroti pentingnya mengatur pola makan yang sehat untuk menjaga energi fisik dan mengurangi risiko gejala fisik akibat burnout.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, rutinitas olahraga atau aktivitas fisik yang teratur juga penting. Aktivitas fisik telah terbukti dapat meningkatkan kesehatan fisik dan mental, serta mengurangi tingkat stres dan kecemasan. Melakukan olahraga atau aktivitas fisik secara teratur dapat membantu mengurangi tekanan akademik dan menjaga kesehatan fisik secara keseluruhan.
Dalam mengelola stres dan kesehatan mental, dukungan sosial dan psikologis juga sangat diperlukan. Berbicara dengan teman, keluarga, atau konselor dapat membantu mengurangi beban emosional dan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang strategi yang efektif dalam mengelola stres akademik. Teknik relaksasi seperti meditasi, yoga, atau pernapasan dalam juga dapat membantu mengatasi stres dan menjaga kesehatan mental.
Menerapkan strategi-strategi ini secara konsisten, diharapkan individu dapat mengelola gejala kesehatan fisik akibat academic burnout dengan lebih baik dan menjaga kesejahteraan secara menyeluruh. Seperti yang disampaikan oleh Hasanati & Afiyani (2020), menjaga kesehatan fisik dan mental merupakan bagian integral dari strategi pencegahan academic burnout dan memastikan individu dapat tetap produktif dan sehat di lingkungan akademik yang menantang.
ADVERTISEMENT
Dengan mempertimbangkan pentingnya self-esteem dan self-efficacy dalam mencegah academic burnout serta strategi untuk kesejahteraan akademik dan kesehatan fisik, dapat disimpulkan bahwa pengembangan kedua konsep ini memegang peranan krusial dalam menjaga keseimbangan dan produktivitas individu di lingkungan akademik yang kompetitif. Self-esteem yang kuat, yang dipengaruhi oleh evaluasi positif terhadap diri sendiri, mampu meningkatkan keyakinan diri, motivasi, dan kemampuan individu dalam menghadapi tekanan akademik. Sementara itu, self-efficacy yang tinggi memperkuat keyakinan pada kemampuan diri dalam mencapai tujuan akademik, mendorong motivasi yang kuat, dan mengarah pada strategi belajar yang efektif.