Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Guru dan Siswa: Kemerdekaan untuk Mereka
19 Februari 2023 16:25 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari LOCAL HISTORY EDUCATION RESEARCH GROUP (2) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kata mencerdaskan dipilih tentu saja bukan tanpa alasan. Pertanyaannya, mengapa bukan kata "memintarkan" yang dipakai, misalnya? Kata mencerdaskan mempunyai makna yang lebih tinggi daripada memintarkan. Siswa-siswa di sekolah seharusnya dididik bukan hanya diajar. Mereka harus dibimbing untuk menemukan kesejatiannya sebagai manusia—bukan binatang tak berperasaan, bukan pula dibentuk sebagai mesin penghasil uang di masa depan.
Pengertian-pengertian dan tujuan-tujuan dasar pendidikan semacam ini harus lebih dipahami oleh seluruh stakeholder pendidikan. Artinya, sebelum melangkah jauh pada persoalan pengembangan dengan segala tetek bengek-nya, pendidikan harus dipahami dulu secara mendasar. Jika tidak, arah pendidikan Indonesia akan mengalami disorientasi.
Kembali kepada pernyataan awal, bahwa siswa seharusnya dibimbing untuk cerdas, bukan hanya pintar. Perbedaan kedua kata ini sangat besar, paling tidak menurut penulis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata "pintar" hanya didefinisikan dengan kata "cakap" yang jika ditelusuri berarti sanggup melakukan sesuatu. Sedangkan kata "cerdas" dalam KBBI berarti sempurna perkembangan akal budinya.
ADVERTISEMENT
Maka dapat dipahami bahwa "pintar" hanya mengacu pada ranah kognitif saja sedangkan "cerdas" memiliki pengertian yang lebih sempurna. Orang cerdas adalah orang yang cakap secara kognitif serta sadar akan keberadaan dan bisa membawa dirinya untuk bersikap, bertindak dan berbicara dengan menggunakan pikiran, hati dan perasaannya. Inilah amanat Undang-undang Dasar 1945 yang harus dipahami dan diupayakan secara sungguh-sungguh.
Ujung tombak utama dari perwujudan manusia cerdas melalui pendidikan adalah guru . Dan guru tidak boleh direcoki oleh hal-hal yang non-subtansial semisal urusan administrasi yang ribet atau aturan-aturan tidak penting lainnya. Ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru saja dipilih, Nadiem Makarim, dalam sambutan hari Guru Nasional.
Sambutan Pak Nadiem sedikit memberikan angin segar pada guru-guru yang selama ini memang lebih banyak mengurus persoalan-persoalan administratif kurang jelas dan memang dirasa kurang bermanfaat. Guru butuh kemerdekaan mendidik.
ADVERTISEMENT
Adalah hal yang tidak bijak jika guru, yang sudah banyak menanggung beban mendidik sekumpulan anak manusia, harus ditambahi beban mengurus berkas-berkas administrasi atau bahkan laporan RPP yang tebalnya bisa setebal buku. Menjadi lucu, guru membuat RPP tebal yang dicetak berulang-ulang sedang pelaksanaan pengajaran di kelas banyak mendapat situasi-situasi tak terduga yang akhirnya membuat guru harus berimprovisasi sendiri mengacuhkan RPP yang sudah dibuatnya.
Maka ada benarnya Pak Menteri mengatakan bahwa RPP itu cukup 2 atau 3 lembar saja. Bukan setebal buku babon. Berilah guru kemerdekaan mengajar, maka siswa akan mendapatkan kemerdekaan belajar.
Pengelolaan Guru dan Siswa Secara Benar
Saat Jepang di ambang kehancuran karena luluh lantaknya Hiroshima dan Nagasaki oleh bom atom yang dikirim oleh Amerika, Kaisar Hirohito mengumpulkan segenap Jenderal yang tersisa dan menanyakan: Berapa jumlah guru yang masih tersisa?
ADVERTISEMENT
Hal itu menggambarkan betapa penting peran guru dalam kehidupan suatu bangsa. Ujung tombak pendidikan yang paling utama adalah guru. Maka negara harus berhati-hati dalam pengelolaan guru. Sebab guru yang akan menentukan cerah atau gelapnya masa depan suatu bangsa di hari depan.
Di Indonesia, persoalan yang sering dibahas mengenai pengelolaan guru adalah masalah penjaminan terhadap kesejahteraan hidupnya. Memang, pemerintah sudah menerapkan kebijakan sertifikasi guru yang dianggap oleh banyak pihak sebagai upaya nyata peningkatan kesejahteraan guru.
Namun masih ada persoalan-persoalan yang belum tuntas penanganannya. Guru-guru di Indonesia bisa dikategorikan paling tidak menjadi tiga klasifikasi yaitu guru bersertifikat, guru tidak bersertifikat, dan yang terakhir adalah guru honorer atau kontrak.
Pengertian sertifikasi guru menurut Masnur Muslich (2007) adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru yang sudah memenuhi persyaratan tertentu, berupa kualifikasi akademik, kompetensi, sehat jasmani dan rohani, dan juga mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yang diiringi dengan meningkatnya kesejahteraan yang layak.
ADVERTISEMENT
Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa program sertifikasi guru memang mempunyai tujuan yang baik. Namun, harus dipahami juga berapa jumlah guru yang telah bersertifikat?
Sampai Maret 2019, menurut Sekjen Kementerian Pendidikan dan kebudayaan waktu itu menyatakan bahwa dari 3,01 juta guru yang ada di Indonesia, baru 1,39 juta guru yang sudah bersertifikasi. Artinya, belum separuh dari jumlah keseluruhan. Lantas, bagaimana dengan sisanya yang masih berjumlah sekitar 1,61 juta itu?
Jika sertifikasi adalah tolok ukur dari kesejahteraan guru, bukankah dapat diambil kesimpulan bahwa sejumlah 1,61 juta guru yang belum sertifikasi itu belum sejahtera? Bagaimana pemerintah bisa menuntut guru-guru yang belum bersertifikat itu sedangkan kesejahteraannya saja belum dipenuhi? Pertanyaan-pertanyaan ini akan terus menjadi persoalan yang meminta uraian nyata selama belum dipecahkan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, hal yang juga menjadi pekerjaan rumah bagi stakeholder pendidikan di Indonesia adalah masalah membantu siswa menemukan dirinya. Siswa tidak boleh dijadikan ‘barang’ cetakan seragam yang hanya disiapkan untuk kepentingan industri semata. Siswa adalah manusia yang punya bakat atau keahlian yang berbeda-beda. Masalahnya, banyak di antara siswa yang masih belum paham kesejatian dirinya. Tugas kita adalah membantu mereka untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan bakat dan minatnya masing-masing.
Sistem evaluasi yang mengujikan seluruh mata pelajaran sebagai syarat kenaikan siswa, rasanya sudah tidak cocok lagi. Menjadi hal yang sangat memberatkan bagi siswa untuk paham semua mata pelajaran, sebab guru pun sifatnya spesialisasi. Agaknya tidak adil menuntut siswa paham semua mata pelajaran sedang gurunya sendiri paham salah satunya saja.
ADVERTISEMENT
Sekolah harusnya menjadi wadah siswa mengembangkan potensi terbaik dirinya tanpa dituntut terlalu keras dalam memahami sesuatu yang mereka sendiri tidak memiliki minat. Sistem evaluasi juga sebaiknya mengutamakan proses daripada hasil. Evaluasi semester bisa ditinjau ulang.
Jika memang tidak terlalu perlu, bisa ditiadakan sebab nilai proses akan lebih baik digunakan. Masing-masing guru harus punya etos yang baik dalam membimbing siswa dalam proses pembelajaran. Guru harus memahami bahwa siswa akan dibentuk sebagai manusia seutuhnya, bukan sekadar "barang" siap pakai.
Penulis: Hasan Basri