Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Menelusuri Jejak Sejarah: Prasasti Congapan dan Warisan Klasik Jember
1 Agustus 2024 16:05 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari LOCAL HISTORY EDUCATION RESEARCH GROUP (2) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di ujung timur Provinsi Jawa Timur, terdapat sebuah kabupaten yang menyimpan kisah-kisah kuno dan misteri-misteri sejarah, yaitu Kabupaten Jember. Dengan luas sekitar 3.293 kilometer persegi, Jember adalah wilayah yang kaya akan keanekaragaman dan keindahan alam. Menyusuri kabupaten ini, seseorang dapat merasakan kesejukan udara pegunungan, mengagumi hamparan sawah hijau yang membentang luas, serta menikmati suara ombak Samudera Hindia yang tak pernah berhenti bergelora.
ADVERTISEMENT
Jember dibagi menjadi 31 kecamatan, masing-masing memiliki karakter dan keunikan tersendiri. Di sebelah utara, Jember berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Probolinggo, sementara di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lumajang. Sebelah selatannya membentang Samudera Hindia, memberikan sentuhan magis pada pesona pantai-pantainya, sedangkan di timur, kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi.
Wilayah ini, meskipun dikenal dengan keindahan alamnya, juga merupakan tempat yang sarat dengan warisan sejarah. Dari zaman prasejarah hingga masa klasik, Jember adalah saksi bisu perjalanan panjang peradaban manusia. Di antara banyak peninggalan sejarah yang ada, satu yang sangat menarik perhatian adalah Prasasti Congapan, sebuah peninggalan dari era klasik yang menyimpan berbagai misteri dan makna yang mendalam.
Prasasti Congapan terletak di Dusun Congapan, Desa Karangbayat, Kecamatan Sumberbaru, Kabupaten Jember. Untuk sampai ke lokasi ini, seseorang harus menempuh perjalanan sekitar 50 kilometer ke arah barat dari pusat Kota Jember. Jalan menuju prasasti ini bukanlah jalan yang biasa. Untuk sampai ke sana, pengunjung harus menempuh perjalanan kaki sejauh 300 meter dari rumah warga terdekat. Medannya yang terjal membuat perjalanan ini lebih menantang dan penuh petualangan. Namun, setelah menapaki jarak tersebut, pemandangan prasasti yang berdiri megah di tengah area persawahan akan menjadi hadiah yang sangat berharga.
ADVERTISEMENT
Prasasti Congapan, dengan tinggi 128 cm, panjang 280 cm, dan lebar sekitar 268 cm, adalah sebuah monumen yang tidak hanya mengesankan dari segi ukuran, tetapi juga dari segi makna. Terletak di tengah sawah dan berdekatan dengan kali Sampean, prasasti ini menawarkan pemandangan yang menenangkan dan menyegarkan, sekaligus memberikan nuansa magis yang sulit dijelaskan. Keberadaannya di lokasi yang tenang ini menambah aura misterius yang melingkupi prasasti tersebut.
Dari segi arsitektur, Prasasti Congapan merupakan peninggalan dari era Hindu-Buddha, yang bisa dilihat dari pahatan huruf Pallawa di sisi prasasti. Pada bagian atas prasasti terdapat dua tonjolan yang misterius, di sisi selatan terdapat pahatan dua wadah, dan di sebelah timur terdapat pahatan lubang pancuran. Semua detail ini memberikan kesan bahwa prasasti ini bukan sekadar monumen, tetapi juga sebuah karya seni yang penuh makna.
ADVERTISEMENT
Penelitian tentang Prasasti Congapan dilakukan oleh Dr. W. F. Stutterheim, seorang arkeolog Belanda yang terkenal dengan karyanya dalam bidang sejarah dan arkeologi. Dalam jurnalnya yang berjudul “Oudheidkundige Aanteekeningen”, Stutterheim mendalami berbagai peninggalan sejarah di Indonesia, khususnya di Jawa. Sub bahasan nomor 47 dalam jurnal tersebut memberikan fokus khusus pada Prasasti Congapan, mengungkap berbagai aspek penting tentang prasasti ini. Penelitian Stutterheim menambahkan dimensi baru pada pemahaman kita mengenai prasasti ini, membuka tabir misteri yang selama ini menyelimuti monumen kuno ini.
Salah satu fitur menarik dari Prasasti Congapan adalah tulisan yang terukir di sisi utaranya. Tulisan tersebut menggunakan huruf Pallawa, sebuah jenis aksara yang digunakan pada masa Hindu-Buddha. Tulisan pertama yang berposisi vertikal terdiri dari empat aksara bergaya kuadrant Kediri yang berbunyi "Sarwwa Hana" yang dapat diartikan sebagai "Serba ada" dan juga mengindikasikan Dewa Siwa. Tulisan kedua, yang berposisi horizontal, berbunyi "Tlah Sanak Pangilanganku" yang diterjemahkan sebagai "Habis saudara pangilanganku".
ADVERTISEMENT
Tulisan kedua ini juga dapat dibaca sebagai kronogram atau Candrasengkala, yang merupakan metode penanggalan kuno yang digunakan untuk menandai tahun pembuatan prasasti. Dalam hal ini, "Tlah" berarti "Habis" yang melambangkan angka 0, "Sanak" berarti "Saudara" yang melambangkan angka 1, "Ilang" berarti "Hilang" yang melambangkan angka 0, dan "Aku" melambangkan angka 1. Dengan demikian, angka yang dihasilkan adalah 0101. Dalam kronogram, susunan angka ini harus dibaca terbalik, sehingga menghasilkan tahun 1010 Saka atau 1088 Masehi.
Tahun pembuatan prasasti ini memberikan petunjuk bahwa Prasasti Congapan dibuat sebelum berdirinya Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit. Dengan demikian, prasasti ini menjadi salah satu bukti tertulis tertua di Kabupaten Jember, setelah prasasti Batu Gong yang terletak di Kecamatan Rambipuji. Keberadaan Prasasti Congapan sebagai saksi sejarah yang lebih tua menunjukkan bahwa wilayah ini telah lama menjadi pusat peradaban dan aktivitas manusia.
ADVERTISEMENT
Meneliti Prasasti Congapan sama halnya dengan membuka sebuah buku sejarah yang usang, di mana setiap goresan dan pahatan mengungkapkan kisah dan narasi dari masa lalu. Setiap elemen dari prasasti ini—dari huruf Pallawa hingga pahatan-pahatan di permukaannya—merupakan bagian dari sebuah cerita yang menghubungkan masa lalu.
Bagi para peneliti, arkeolog, dan pecinta sejarah, Prasasti Congapan adalah sebuah permata yang harus dijaga dan dilestarikan. Keberadaannya tidak hanya menambah kekayaan sejarah Kabupaten Jember, tetapi juga memberikan pelajaran berharga tentang kehidupan dan kepercayaan masyarakat di masa lampau. Mengunjungi prasasti ini, selain mendapatkan pengalaman yang memuaskan, juga memungkinkan kita untuk merenung sejenak tentang perjalanan panjang yang telah dilalui oleh umat manusia, dan bagaimana jejak-jejak yang mereka tinggalkan masih bisa kita nikmati hingga saat ini.
ADVERTISEMENT