Konten dari Pengguna

#JusticeForGamma: Representasi Publik di Media Sosial Melawan Brutalitas Aparat

Pradipta Arya Arsensa
Mahasiswa S1 Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada
9 Desember 2024 12:23 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pradipta Arya Arsensa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi aparat keamanan dengan pistol dalam holster di pinggang (Foto oleh Kindel Media/Pexels)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi aparat keamanan dengan pistol dalam holster di pinggang (Foto oleh Kindel Media/Pexels)
ADVERTISEMENT
Kehilangan seorang anak akibat tindakan brutal aparat negara adalah tragedi yang mengguncang rasa keadilan. Gamma Rizkynata Oktavandy, seorang pelajar SMKN 4 Semarang, menjadi korban peluru aparat memunculkan banyak pertanyaan. Tragedi ini tidak hanya memicu kesedihan, tetapi juga kemarahan publik yang menuntut keadilan melalui berbagai saluran. Salah satu saluran yang paling menonjol adalah media sosial.
ADVERTISEMENT
Di era digital, duka dan kemarahan tidak lagi terbatas di ruang privat. Media sosial memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi, membangun solidaritas, dan menuntut pertanggungjawaban dari institusi formal. Tagar #JusticeForGamma menjadi simbol perlawanan kolektif terhadap narasi aparat yang dinilai tidak transparan dan menyimpang dari fakta.
Menurut Johansson (2016), media sosial memungkinkan masyarakat untuk menciptakan dan menyebarkan konten politik secara independen. Di Indonesia, di mana institusi formal sering kali gagal merepresentasikan kebutuhan rakyat, media sosial hadir sebagai ruang vital untuk memastikan suara masyarakat tidak hanya terdengar tetapi juga diperhitungkan.
#JusticeForGamma: Ketika Tagar Menjadi Narasi Perlawanan
Tagar #JusticeForGamma bukan sekadar ekspresi kemarahan spontan publik. Tagar ini adalah alat penting untuk membangun narasi alternatif yang menantang klaim resmi aparat. Ketika bukti lapangan, seperti rekaman CCTV yang disita tanpa transparansi, memunculkan kecurigaan publik, media sosial menjadi ruang bagi masyarakat untuk mengumpulkan informasi, mengeksplor fakta, dan membangun narasi alternatif.
ADVERTISEMENT
Menurut Boomgaarden (2017), media memiliki peran besar dalam membentuk opini publik melalui framing dan agenda setting. Dalam kasus Gamma, media sosial memainkan peran tersebut dengan membingkai kejadian sebagai bentuk ketidakadilan dalam institusi negara. Lebih dari itu, tagar ini juga merefleksikan bagaimana media sosial berfungsi sebagai "narasi tandingan" yang tidak hanya mengungkap fakta alternatif tetapi juga menggerakkan emosi kolektif masyarakat untuk bersolidaritas.
Model partisipasi ini berbeda dengan media tradisional, yang sering kali bersifat satu arah dan dipengaruhi oleh kepentingan pemilik modal. Media sosial memungkinkan dialog interaktif yang menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Dalam konteks representasi politik, hal ini mencerminkan konsep representasi informal yang dijelaskan oleh Wendy Salkin (2021), di mana individu atau kelompok tanpa otoritas formal dapat bertindak atas nama pihak lain. Dalam kasus ini, publik yang mendukung tagar #JusticeForGamma bertindak sebagai representatif tidak langsung bagi keluarga korban, membangun tekanan kolektif yang memaksa institusi formal untuk merespons. Proses ini menunjukkan bahwa media sosial bukan hanya saluran komunikasi, tetapi juga instrumen untuk membangun kekuatan politik baru yang berbasis partisipasi langsung masyarakat.
ADVERTISEMENT
Media Sosial Sebagai Representasi Politik Alternatif
Media sosial telah merevolusi cara masyarakat memahami, mendefinisikan, dan berpartisipasi dalam politik. Sebagai ruang yang dialogis dan inklusif, media sosial memungkinkan siapa saja untuk menyuarakan pendapat tanpa batasan geografis atau hambatan institusional. Dalam konteks representasi politik, media sosial membuka pintu bagi bentuk representasi substantif yang mengutamakan kepentingan langsung masyarakat, sebagaimana dijelaskan oleh Pitkin. Dalam kasus #JusticeForGamma, media sosial berfungsi sebagai ruang di mana suara yang sebelumnya terpinggirkan mendapatkan panggung nasional. Keluarga korban, aktivis, dan masyarakat umum mampu menggunakan media sosial untuk menuntut keadilan dengan cara yang tidak mungkin dilakukan melalui jalur formal.
Selain itu, media sosial juga memainkan peran penting dalam menyampaikan informasi yang sering kali sulit diakses melalui media tradisional. Johansson (2016) mencatat bahwa di negara-negara dengan media yang terkonsentrasi pada kepentingan oligarki seperti Indonesia, media sosial menjadi alat yang vital untuk menciptakan kebebasan informasi yang lebih besar. Hal ini menjadikan media sosial sebagai alat penting untuk mengimbangi jalur formal yang kerap kali tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun, potensi besar ini juga menghadapi ancaman serius seperti penyebaran hoaks, bias, dan manipulasi oleh buzzer politik menjadi penghalang yang dapat melemahkan efektivitasnya sebagai ruang representasi. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan literasi digital yang lebih baik di kalangan masyarakat, serta regulasi yang memastikan media sosial tetap menjadi ruang yang demokratis. Masyarakat juga perlu lebih kritis dalam memanfaatkan media sosial agar tetap menjadi alat yang mendukung demokrasi yang inklusif. Tanpa langkah-langkah ini, potensi media sosial untuk mendorong perubahan sosial yang nyata dapat terancam.
Kegagalan Jalur Formal dan Krisis Kepercayaan Publik
Kasus Gamma Rizkynata Oktavandy adalah contoh nyata dari kegagalan jalur formal dalam menegakkan keadilan. Institusi seperti kepolisian, yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat, justru menjadi objek ketidakpercayaan publik. Ketika jalur formal gagal memberikan respons yang memadai, masyarakat beralih ke media sosial untuk mencari keadilan dan membangun tekanan politik.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana dijelaskan oleh Törnquist, Webster, dan Stokes (2009), demokrasi sering kali mengalami penurunan karena institusi formal lebih mengutamakan kepentingan elite dibandingkan rakyat. Dalam kasus ini, media sosial menjadi ruang alternatif untuk mengisi kekosongan tersebut. Tagar #JusticeForGamma adalah bukti nyata bagaimana masyarakat dapat menciptakan ruang representasi alternatif ketika jalur formal tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Namun, kegagalan jalur formal ini juga menyoroti perlunya reformasi mendalam dalam institusi negara. Media sosial dapat menjadi katalis untuk mendorong perubahan, tetapi keberlanjutan perjuangan membutuhkan keterlibatan semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, dan lembaga formal.
Dari Dunia Digital ke Aksi Nyata
Gerakan digital seperti #JusticeForGamma tidak hanya berhenti di dunia maya. Tagar ini telah memicu aksi nyata berupa demonstrasi di berbagai kota. Hal ini mencerminkan bagaimana solidaritas yang dibangun melalui media sosial dapat diterjemahkan ke dalam tindakan nyata yang memberikan tekanan langsung kepada institusi formal. Menurut konsep substantive representation Pitkin, keberhasilan representasi diukur dari sejauh mana tindakan yang dilakukan benar-benar mewakili kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, aksi nyata yang dipicu oleh media sosial adalah bukti konkret dari representasi substantif yang berhasil. Namun, penting untuk memastikan bahwa aksi-aksi ini tetap terorganisasi dan terarah agar tidak kehilangan fokus perjuangan.
ADVERTISEMENT
Media Sosial dan Masa Depan Politik Representasi
Tagar seperti #JusticeForGamma menunjukkan potensi besar media sosial sebagai alat representasi politik. Namun, potensi ini tidak lepas dari tantangan. Bias, disinformasi, buzzer, dan risiko manipulasi menjadi ancaman yang harus dihadapi dengan kritis. Untuk memastikan media sosial tetap menjadi ruang yang inklusif dan akuntabel, diperlukan langkah-langkah strategis, termasuk kolaborasi antara masyarakat sipil, platform media sosial, dan pemerintah. Reformasi kebijakan formal juga diperlukan untuk mengintegrasikan hasil dari representasi digital ke dalam sistem politik yang lebih inklusif.
Penutup
Kasus Gamma Rizkynata Oktavandy adalah cerminan dari tantangan besar yang dihadapi sistem hukum dan demokrasi di Indonesia. Tagar #JusticeForGamma membuktikan bahwa suara kolektif masyarakat dapat menjadi kekuatan yang tidak dapat diabaikan. Namun, perjuangan ini tidak boleh berhenti di media sosial. Reformasi nyata membutuhkan sinergi antara aksi digital dan dunia nyata. Dengan memanfaatkan potensi media sosial secara bijak, masyarakat Indonesia dapat mendorong terciptanya sistem yang lebih adil, transparan, dan inklusif.
ADVERTISEMENT
Sumber:
Boomgaarden, H. G. (2017). Media representation: Politics. Dalam P. Rössler, C. A. Hoffner, & L. van Zoonen (Eds.), The International Encyclopedia of Media Effects. John Wiley & Sons.
Detik.com. (2024). Diwarnai aksi bakar poster, massa tuntut usut tuntas penembakan pelajar Semarang. Diakses pada 8 Desember 2024, dari https://www.detik.com/jateng/berita/d-7661983/diwarnai-aksi-bakar-poster-massa-tuntut-usut-tuntas-penembakan-pelajar-semarang
Jawa Pos Radar Semarang. (2024). Keluarga Gamma Rizkynata Oktafandy: Nyawa kok dibuat mainan, peluru kok dibuat mainan.
Johansson, A. C. (2016). Social media and politics in Indonesia. Stockholm School of Economics Asia Working Paper No. 42. Stockholm School of Economics.
Kindel Media. (2021). Ilustrasi aparat keamanan dengan pistol. Pexels. Retrieved from https://images.pexels.com/photos/7715249/pexels-photo-7715249.jpeg.
Pitkin, H. F. (1967). The concept of representation. University of California Press.
ADVERTISEMENT
Salkin, W. (2021). Informal political representation: Theory and practice. Oxford University Press.
Törnquist, O., Webster, N., & Stokke, K. (2009). Rethinking popular representation. Palgrave Macmillan.