Konten dari Pengguna

Fiberisasi Desa dan ESG: Membangun Konektivitas yang Setara dan Berkelanjutan

Pradipta Prayoga Nugraha
Mahasiswa S-2 Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada
31 Mei 2025 18:51 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Fiberisasi Desa dan ESG: Membangun Konektivitas yang Setara dan Berkelanjutan
Mendorong fiberisasi desa berbasis ESG untuk konektivitas adil, ramah lingkungan, dan tata kelola kolaboratif demi transformasi digital yang inklusif di seluruh Indonesia.
Pradipta Prayoga Nugraha
Tulisan dari Pradipta Prayoga Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami percepatan pembangunan infrastruktur digital, terutama di kota-kota besar. Namun, ketika kota terhubung dengan internet berkecepatan tinggi, desa-desa justru tertinggal dalam kesenjangan digital yang makin menganga. Akses internet yang lambat atau tidak tersedia sama sekali masih menjadi kenyataan bagi banyak wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika per 2023, terdapat lebih dari 12.000 desa dan kelurahan yang belum terjangkau akses internet memadai. Beberapa contohnya adalah wilayah seperti Kepulauan Talaud di Sulawesi Utara, Pegunungan Bintang di Papua, dan beberapa desa terpencil di Nusa Tenggara Timur. Ketimpangan infrastruktur digital ini menciptakan jurang akses informasi dan layanan publik yang semakin lebar antara desa dan kota.
ADVERTISEMENT
Salah satu solusi yang sering dibicarakan, tetapi belum banyak diterapkan secara merata, adalah fiberisasi desa: membangun jaringan serat optik hingga ke pelosok. Namun di tengah realitas komersial dan keterbatasan fiskal, muncul pertanyaan: siapa yang harus membiayainya? Apa manfaatnya? Dan bagaimana fiberisasi desa bisa selaras dengan prinsip keberlanjutan yang digaungkan dalam agenda Environmental, Social, and Governance (ESG)?

Fiberisasi Sebagai Solusi Lingkungan (E)

Photo by Pixabay: https://www.pexels.com/photo/electrician-fixing-an-opened-switchboard-257736/
Dalam konteks Environmental (E), fiberisasi membawa berbagai manfaat lingkungan yang tidak hanya terbatas pada efisiensi energi. Pertama, serat optik memiliki umur pakai panjang dan jarang perlu diganti, sehingga menghasilkan lebih sedikit limbah jaringan selama masa operasionalnya. Kedua, material utama fiber yang berupa kaca (silika) bersifat inert dan lebih ramah lingkungan dibandingkan bahan logam berat, sehingga lebih aman bagi tanah dan air jika terjadi kerusakan jaringan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, fiberisasi mendukung digitalisasi desa yang dapat mengurangi kebutuhan mobilitas fisik, seperti perjalanan untuk mengakses layanan administrasi, pendidikan, atau pasar, sehingga secara tidak langsung menurunkan emisi dari transportasi. Keempat, jaringan fiber juga membuka jalan bagi pemasangan sensor dan perangkat pemantau lingkungan (IoT) seperti pengawasan kualitas udara, kelembaban tanah, atau deteksi kebakaran hutan — yang krusial untuk pelestarian alam di wilayah pedesaan.
Dengan strategi perencanaan yang tepat, pembangunan jaringan fiber dapat memanfaatkan infrastruktur eksisting seperti tiang listrik atau jalur utilitas, menghindari pembukaan lahan baru dan meminimalkan gangguan terhadap ekosistem lokal.
Selain itu, pengembangan jaringan fiber dapat dilakukan dengan memanfaatkan infrastruktur eksisting seperti saluran utilitas bawah tanah, tiang listrik, atau jalur transportasi, sehingga meminimalkan kebutuhan pembukaan lahan baru yang berpotensi merusak lingkungan. Dalam konteks pedesaan, strategi ini juga menghindari eksploitasi ruang hijau dan kawasan hutan yang rentan terhadap degradasi ekologis. Dengan pendekatan yang tepat, fiberisasi dapat dilaksanakan tanpa menimbulkan dampak ekologis besar, bahkan justru mendukung pelestarian bentang alam dan habitat lokal.
ADVERTISEMENT

Fiberisasi Sebagai Solusi Keadilan Sosial (S)

Photo by Pavel Danilyuk: https://www.pexels.com/photo/people-on-a-business-meeting-8112177/
Aspek Sosial (S) dari ESG menyangkut keadilan akses, pemberdayaan masyarakat, dan pengurangan kesenjangan antarwilayah. Fiberisasi desa berpotensi menghapus hambatan struktural yang selama ini membatasi kemajuan sosial dan ekonomi wilayah non-perkotaan. Akses internet stabil membuka peluang:
• Pendidikan daring berkualitas bagi anak-anak desa.
• Telemedicine dan layanan kesehatan jarak jauh bagi daerah terpencil.
• Akses pasar digital untuk UMKM desa, koperasi, dan produk pertanian lokal.
• Inklusi finansial melalui layanan keuangan digital dan dompet elektronik.
Lebih dari itu, konektivitas digital memungkinkan penguatan kapasitas kelembagaan desa melalui e-government, transparansi dana desa, dan partisipasi warga dalam perencanaan pembangunan. Dengan jaringan internet yang handal, desa dapat terlibat aktif dalam rantai nilai digital nasional, mulai dari ekonomi kreatif, wisata berbasis komunitas, hingga ekosistem startup lokal.
ADVERTISEMENT
Tanpa konektivitas andal, desa akan terus tertinggal dari sisi ekonomi, pelayanan publik, dan kualitas hidup. Fiberisasi adalah pondasi sosial untuk memastikan bahwa transformasi digital tidak menjadi hak istimewa kota saja, tetapi menjadi hak semua warga negara tanpa terkecuali.

Fiberisasi Sebagai Ujian Tata Kelola (G)

Photo by Bilal Ahmed: https://www.pexels.com/photo/telecommunication-towers-among-trees-12023279/
Masuk ke aspek Governance (G), fiberisasi desa menuntut kolaborasi lintas sektor dan tata kelola yang baik. Proyek infrastruktur digital seringkali terganjal karena perizinan yang lambat di daerah, kurangnya koordinasi antar instansi, atau ketidakjelasan pembiayaan.
Oleh karena itu, pemerintah perlu menetapkan kerangka regulasi dan insentif yang memungkinkan:
• Kemitraan publik-swasta dalam pembangunan fiber.
• Pelibatan BUMDes atau koperasi lokal dalam pengelolaan jaringan.
• Skema subsidi silang atau universal service obligation (USO) yang transparan.
ADVERTISEMENT
• Platform interoperabilitas antar penyedia untuk menghindari duplikasi.
Lebih lanjut, strategi tata kelola juga perlu mendorong penerapan infrastructure sharing dan network sharing agar pembangunan infrastruktur tidak dilakukan secara terpisah oleh tiap operator. Infrastruktur seperti ducting, tiang, atau perangkat akses bisa dimanfaatkan bersama untuk mengurangi biaya investasi dan mempercepat penetrasi layanan. Selain itu, perlu dipertimbangkan pembentukan konsorsium fiberisasi desa, yang melibatkan operator, pemerintah daerah, investor sosial, dan masyarakat sipil untuk berbagi risiko dan pembiayaan secara kolaboratif. Dengan begitu, fiberisasi desa tidak hanya menjadi proyek teknis, tetapi juga gerakan kolektif yang mencerminkan semangat gotong royong dalam membangun masa depan digital Indonesia.

Kesimpulan

Memang benar bahwa dari sisi bisnis, membangun fiber di desa bukanlah langkah yang menarik secara langsung. Kepadatan penduduk rendah dan daya beli terbatas membuat operator ragu berinvestasi. Namun jika hanya mengandalkan hitungan ROI murni, maka desa akan selamanya tertinggal. Di sinilah ESG menjadi jembatan moral dan strategis. Perusahaan telekomunikasi bisa memanfaatkan proyek fiberisasi desa sebagai bagian dari komitmen keberlanjutan mereka. Investor global juga kini lebih menyukai perusahaan yang memiliki portofolio infrastruktur hijau dan berdampak sosial tinggi. Fiberisasi desa bukan hanya proyek infrastruktur, tetapi komitmen terhadap masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Dengan memasukkan prinsip ESG ke dalam kebijakan dan praktik pembangunan jaringan, kita dapat memastikan bahwa tidak ada warga negara yang tertinggal dari revolusi digital. Kini saatnya menjadikan fiberisasi desa sebagai prioritas nasional. Tidak hanya demi koneksi cepat, tetapi demi koneksi yang adil, hijau, dan bermartabat. Fiberisasi desa bukan hanya proyek infrastruktur, tetapi komitmen terhadap masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan. Dengan memasukkan prinsip ESG ke dalam kebijakan dan praktik pembangunan jaringan, kita dapat memastikan bahwa tidak ada warga negara yang tertinggal dari revolusi digital.

REFERENSI

World Bank. (2022). Digital Dividends in Rural Development.
GSMA. (2021). Environmental Impact of Telecom Infrastructure.
Kementerian Kominfo. (2023). Laporan Transformasi Digital Indonesia.
Perpres No. 131 Tahun 2022 tentang Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas.
ADVERTISEMENT