Konten dari Pengguna
Pemerintahan oleh AI: Masa Depan Layanan Publik atau Masalah Baru?
1 Juni 2025 14:18 WIB
·
waktu baca 5 menitKiriman Pengguna
Pemerintahan oleh AI: Masa Depan Layanan Publik atau Masalah Baru?
Artikel ini membahas peran AI seperti Grok dalam birokrasi, dampaknya terhadap demokrasi, ekonomi digital, dan implikasinya bagi masa depan pemerintahan di Indonesia.Pradipta Prayoga Nugraha

Tulisan dari Pradipta Prayoga Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bayangkan Anda mengajukan izin usaha, bantuan sosial, atau layanan kesehatan melalui platform digital. Dalam hitungan detik, sistem memberi keputusan: diterima atau ditolak. Tak ada petugas yang dapat ditanya. Tak ada meja pengaduan. Semua berdasarkan hasil analisis algoritma.
ADVERTISEMENT
Itulah gambaran masa depan pemerintahan yang dijalankan oleh kecerdasan buatan (AI). Di banyak negara, pemerintah mulai menerapkan AI untuk mempercepat layanan, mengurangi beban birokrasi, dan meningkatkan efisiensi. Namun, bersamaan dengan itu, muncul kekhawatiran: apakah kita sedang menciptakan negara yang efisien, atau negara yang tidak lagi manusiawi?

Pada awal 2025, Elon Musk diberi peran tidak resmi oleh pemerintahan Trump untuk memimpin lembaga baru bernama Department of Government Efficiency (DOGE). Di sinilah Musk membawa Grok, chatbot AI dari perusahaannya xAI, ke dalam sistem birokrasi AS. Grok tidak hanya digunakan untuk menyusun laporan, tetapi juga memantau email pegawai, mengukur sentimen terhadap kebijakan, dan bahkan menyarankan pemangkasan anggaran serta penutupan lembaga negara.
Menurut Wired (2025), Grok menyisir komunikasi internal untuk mendeteksi istilah-istilah seperti "keberagaman", "inklusif", hingga kata-kata yang dianggap menentang agenda politik tertentu. Penggunaan Grok tidak hanya menimbulkan kritik karena pelanggaran privasi, tetapi juga karena pemerintah menyerahkan kendali fungsi strategis kepada entitas swasta.
ADVERTISEMENT
Efisiensi vs Demokrasi dalam Perspektif Technorealism
Pendukung AI dalam birokrasi berargumen bahwa sistem ini menghemat waktu, biaya, dan mengurangi korupsi. Pemerintah tidak perlu merekrut ribuan pegawai untuk menyortir dokumen atau menjawab keluhan. Semua bisa otomatis, real-time, dan berbasis data.
Namun dari sudut pandang technorealism, teknologi seperti AI tidak pernah benar-benar netral. Ia diciptakan oleh manusia, dilatih oleh data yang bias, dan dijalankan oleh institusi dengan kepentingan tertentu. Maka, efisiensi tidak bisa dijadikan ukuran tunggal keberhasilan teknologi dalam pemerintahan.
Technorealism menekankan pentingnya mempertanyakan: siapa yang mengontrol teknologi ini, untuk tujuan apa, dan dengan mekanisme akuntabilitas seperti apa? Dalam kasus Grok, algoritma AI digunakan untuk menilai loyalitas pegawai berdasarkan kata kunci dalam email mereka, praktik yang mengancam kebebasan berpendapat dan transparansi lembaga negara.
ADVERTISEMENT
Studi Brookings Institution (2023) menunjukkan bahwa penggunaan AI dalam sektor publik berisiko memperkuat bias yang sudah ada. Sistem bisa tanpa sadar mendiskriminasi warga miskin, perempuan, atau kelompok minoritas karena model yang digunakan dilatih dari data historis yang tidak setara.
Kasus Grok di Amerika Serikat hanyalah awal dari tren global. Estonia sudah memulai digitalisasi layanan publik sejak 2000-an. Uni Emirat Arab meluncurkan inisiatif "AI Government" untuk mengotomatisasi kebijakan publik. Bahkan India menggunakan AI untuk menyaring ratusan juta data penerima bantuan sosial. Namun berbeda dari pendekatan yang bertahap dan transparan, pendekatan Musk yang privat dan tertutup justru membuka ruang bagi dominasi algoritmik terhadap lembaga publik.
Dampak terhadap Ekonomi Digital
Penerapan Grok dalam birokrasi tidak hanya soal tata kelola pemerintahan, tetapi juga mencerminkan perubahan mendasar dalam ekosistem ekonomi digital. Ketika data warga dan aktivitas birokrasi diproses oleh AI milik perusahaan swasta, maka negara secara tidak langsung menyerahkan kontrol atas salah satu sumber daya paling berharga dalam ekonomi digital: data.
ADVERTISEMENT
Model bisnis seperti Grok membuka ruang bagi platformisasi negara—di mana layanan pemerintahan berjalan layaknya layanan berbasis aplikasi, dengan sistem tertutup dan lisensi milik swasta. Ini menandai pergeseran fungsi negara dari penyedia layanan publik menjadi pengguna layanan komersial. Dalam jangka panjang, ini bisa menciptakan ketergantungan struktural pada korporasi teknologi besar, dan memperlebar kesenjangan dalam ekosistem inovasi lokal.
Selain itu, dominasi AI privat dalam pemerintahan juga bisa menyulitkan pertumbuhan ekonomi digital dalam negeri. Inovator lokal dan startup teknologi bisa terpinggirkan jika infrastruktur utama digital negara hanya terbuka untuk segelintir pemain global. Jika dibiarkan, ini bisa membatasi kedaulatan digital negara dan mempersempit ruang kemandirian ekonomi nasional di era data-driven.
Apa Artinya Bagi Indonesia?
Lantas, bagaimana penerapan AI dalam pemerintahan global ini berdampak bagi Indonesia?
ADVERTISEMENT
Indonesia sedang berada di jalur menuju transformasi digital pemerintahan: e-budgeting, e-office, Satu Data Indonesia, hingga rencana pemanfaatan AI dalam pengawasan ASN. Semua ini membuka peluang besar—seperti peningkatan efisiensi birokrasi, deteksi dini terhadap fraud anggaran, serta perluasan akses terhadap layanan publik. Namun di sisi lain, langkah ini juga menuntut kewaspadaan dan kesiapan institusi publik.
Bayangkan jika di masa depan, seleksi CPNS dilakukan oleh algoritma tanpa ruang banding. Atau jika sistem bansos otomatis menolak warga karena kesalahan input data. Apakah masyarakat siap menerima keputusan mesin yang tidak bisa diajak bernegosiasi? Apakah pemerintah punya kapasitas teknis dan etika untuk mengelola sistem semacam ini secara adil dan transparan?
Lebih dari sekadar adopsi teknologi, Indonesia membutuhkan kerangka kebijakan yang menjamin agar penggunaan AI tidak melanggar hak asasi warga negara, tidak meminggirkan kelompok rentan, dan tetap tunduk pada nilai-nilai demokrasi.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks inilah technorealism menjadi sangat relevan. Pendekatan ini mendorong kita untuk tidak hanya mengejar efisiensi, tetapi juga memastikan bahwa teknologi publik dirancang dengan nilai-nilai kemanusiaan, keterbukaan, dan pengawasan demokratis. AI bukan sekadar alat teknis, melainkan instrumen kekuasaan yang harus diatur dengan cermat agar tidak berubah menjadi alat eksklusi sosial atau dominasi segelintir elite teknologi.
Kesimpulan: Siapa yang Mengendalikan AI, Mengendalikan Negara
Pemerintahan oleh AI bukanlah hal yang sepenuhnya buruk. Justru sebaliknya, jika digunakan dengan benar, AI bisa menjadi alat untuk mempercepat layanan publik yang selama ini lambat dan rentan korupsi. Tapi syaratnya jelas: regulasi yang ketat, audit terbuka, partisipasi warga, dan keterlibatan etika dalam desain sistem.
Organisasi seperti OECD telah menyusun prinsip AI untuk sektor publik: transparansi, akuntabilitas, inklusivitas, dan keamanan. Indonesia bisa mengadopsi standar ini, sembari membangun AI publik yang bersifat open-source, bebas dari konflik kepentingan, dan diarahkan untuk kepentingan sosial, bukan sekadar efisiensi fiskal.
ADVERTISEMENT
Pemerintahan masa depan akan melibatkan mesin, tidak bisa dihindari. Namun jangan sampai kita menciptakan sistem yang melayani data, bukan manusia. AI bisa membantu kita membangun negara yang lebih tanggap, adil, dan modern, tapi hanya jika ia dikendalikan oleh nilai-nilai publik, bukan diserahkan begitu saja kepada segelintir elite teknologi.