Dongeng Anak dari Jawa Barat: Legenda Situ Bagendit

Prameshwari Sugiri
Sesembak, buk, jeng, yu, sis, yang sesekali menulis.
Konten dari Pengguna
19 Februari 2024 12:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Prameshwari Sugiri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto udara objek wisata Situ Bagendit di Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Minggu (11/9/2022). Foto: Adeng Bustomi/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Foto udara objek wisata Situ Bagendit di Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Minggu (11/9/2022). Foto: Adeng Bustomi/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Dahulu kala, di sebuah desa di daerah Garut, hiduplah seorang perempuan kaya raya bernama Nyai Endit. Ia memiliki rumah yang sangat megah bak istana. Sawahnya terbentang luas dari Selatan ke Utara. Kereta kudanya puluhan, hewan ternaknya ratusan. Nyai Endit juga memiliki banyak perhiasan bertabur berlian dan permata. Setiap hari, belasan pembantu penjaga siap melayaninya.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, Nyai Endit terkenal pelit, kikir dan suka pamer kekayaan. Ia tidak pernah mau menggunakan uangnya untuk membantu mereka yang membutuhkan.
“Kenapa aku harus memikirkan kesulitan mereka? Memang aku ini Ibunya? Neneknya? Lagi pula, siapa suruh miskin? Kalau memang perlu uang, ya sana cari sendiri. Ataaauu… mereka boleh pinjam dariku, tapi bayar bunga!” Demikian kurang lebih Nyait Endit kerap berkata.
Karena harus membayar bunga yang besar, orang-orang yang meminjam uang ke Nyai Endit malah jadi tambah susah dan menderita. Kalau mereka tidak membayar, Nyai Endit akan menyuruh para penjaga menyakiti mereka.
Sampai suatu ketika, kemarau panjang melanda. Semua panen gagal, penduduk desa kelaparan. Namun Nyai Endit tetap tidak peduli dan tidak mau membantu sama sekali. Ia malah menggelar pesta besar untuk memamerkan kekayaannya.
ADVERTISEMENT
Saat Nyai Endit asyik berpesta, datang lah seorang pengemis tua. Ia berjalan tertatih-tatih dengan sebuah tongkat kayu. Pakaiannya compang-camping, tubuhnya tampak renta. Dengan suara bergetar, ia memohon bantuan,
“Permisi, Nyai. Perutku lapar sekali. Sudah berhari-hari aku tidak makan.”
Mendengar permintaan sang pengemis tua, Nyai Endit murka.
“Berani-beraninya kau datang merusak pestaku! Dasar pengemis kotor tak tahu diri! Sana pergi! Mataku sakit melihatmu,” hardik Nyai Endit.
“Tolonglah Nyai. Aku hanya minta nasi dan air. Sedikiiiit… saja.
ADVERTISEMENT
"Tentu tidak akan mengurangi kekayanmu,” ratap sang pengemis tua.
“Enak saja!" Nyai Endit tetap tidak tergerak hatinya, "Penjagaaaa!!! Seret keluar pengemis hina ini!!!”
Para penjaga segera menyeret pengemis tua itu keluar rumah. Namun di luar rumah, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Sang pengemis tua tiba-tiba menjadi kuat dan bisa melawan para penjaga. Ia lalu menancapkan tongkatnya ke tanah.
“Bila kau memang kaya dan berkuasa, coba cabut tongkat ini!” ujarnya lantang.
Nyai Endit semakin geram, “Begitu saja? Ah, gampang. Penjagaaaa!!! Cabut tongkatnya!!!”
Tapi tidak ada penjaga yang sanggup mencabut tongkat itu. Nyai Endit bingung melihatnya.
“Sekarang aku akan mencabut tongkat ini dan lihat lah apa yang terjadi!” tukas sang pengemis disertai tawa.
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba dari lubang bekas tongkat dicabut, keluar air dengan deras tanpa henti. Sementara sang pengemis, dengan ajaib menghilang!
“Lho? Ke mana pengemis tadi? Air apa ini? Bagaimana menghentikannya?” Nyai Endit memekik kebingungan.
Air tetap keluar deras tanpa henti. Membanjiri rumah, halaman dan sawah Nyai Endit. Penduduk desa yang melihat kejadian itu pun ketakutan.
“Ayooooo… cepat pergi! Ayo lariiiiii! Selamatkan diri!!!” seru mereka.
Meski semua penduduk desa ramai-ramai mengungsi, Nyai Endit tetap diam tidak mau pergi.
“Kalau semua hartaku kutinggal di sini, aku bisa jadi orang miskin.
Ah, tidak mau! Aku tidak mau jadi orang miskin! Aku mau jadi orang kaya selama-lamanya! Semoga airnya cepat berhenti dan surut.”
Namun harapan Nyai Endit tidak terjadi. Air terus meninggi dan merendam semuanya.
ADVERTISEMENT
“Aduh bagaimana ini? Tolooong…tolooong!!! Yang menolong akan kuberi sebagian hartaku! Tolooong…tolooong!!!”
Tidak ada lagi yang bisa menolong Nyai Endit. Penduduk desa juga para pembantu dan penjaga sudah pergi. Akhirnya, perempuan pelit itu tenggelam. Sementara rumah, halaman serta sawahnya yang luas berubah jadi sebuah danau yang dikenal dengan nama Situ Bagendit.
Situ artinya danau. Bagendit diambil dari nama Nyai Endit. Masyarakat Garut percaya, di dasar danau itu ada seekor lintah besar yang merupakan jelmaan Nyai Endit. Akibat sifatnya yang pelit, ia tidak bisa lagi menikmati harta kekayaannya dan harus hidup di sana selama-lamanya.