Konten dari Pengguna

Banyaknya Turis Asing Maupun Lokal yang Sembarangan Memasuki Areal Sakral Pura

Desak Putu Prami Utami
Mahasiswi S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Pendidikan Ganesha
3 Desember 2024 10:01 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Desak Putu Prami Utami tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi orang sedang sembahyang (sumber: https://pixabay.com/id/)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi orang sedang sembahyang (sumber: https://pixabay.com/id/)
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita ketahui, Bali dijuluki dengan Pulau Seribu Pura. Julukan tersebut merujuk pada beribu-ribu tempat pemujaan yang tersebar di seluruh pulau Bali. Bali memiliki ribuan pura yang menjadi pusat spiritual dan budaya masyarakat Bali, dari pura kecil di rumah-rumah penduduk hingga pura besar yang menjadi pusat persembahyangan bersama. Setiap pura memiliki fungsi khusus, mulai dari pura keluarga, pura desa, hingga pura besar yang digunakan untuk upacara-upacara penting. Pura-Pura di Bali tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai simbol harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan, yang disebut konsep Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan).
ADVERTISEMENT
Selain itu, Bali dikenal dengan tradisinya yang khas turun-temurun, tradisi tersebut yang menjadi daya tarik pulau Bali hingga menarik perhatian dari para pengunjung lokal maupun mancanegara. Salah satu tradisi yang sedang dilaksanakan saat ini adalah upacara Pedudusan Agung Desa Ubud yang datangnya 30 tahun sekali. Upacara ini dimaknai dengan pemasangan penjor-penjor disepanjang jalan Ubud hingga pementasan calonarang. Upacara ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menyucikan manusia dan lingkungan agar selalu diberi keselamatan oleh Ida sang Hyang Widhi Wasa. Tradisi inilah yang menjadi salah satu alasan banyak turis mancanegara maupun lokal datang berbondong-bondong ke Bali untuk menyaksikan setiap prosesi upacara yang dilakukan setiap 30 tahun sekali ini.
Namun sangat disayangkan, banyak dari mereka yang tidak mematuhi beberapa aturan yang sudah dibentuk, contohnya adalah memasuki areal sakral Pura. Seharusnya, para pengunjung hanya diperbolehkan masuk sampai di jaba tengah (halaman) Pura saja. Bahkan ada yang berani masuk kedalam Pura tanpa mengenakan kain dan selendang. Kita sebagai umat Hindu pasti sudah mengetahui Pura adalah tempat yang sangat dihormati dan disucikan. Hal ini sudah menyimpang bahkan ada yang sampai mengikuti persembahyangan di dalam Pura dan ikut nunas tirta suci seetelah upacara persembahyangan selesai. Adanya wisatawan di dalam pura memang dapat memberikan dampak positif. Namun, hal ini juga menimbulkan tantangan, seperti risiko terjadinya ketidaksopanan akibat kurangnya pemahaman wisatawan akan aturan adat dan norma setempat.
ADVERTISEMENT
Kita sebagai umat Hindu yang lebih mengetahui aturan yang ada harus memberikan sebuah edukasi tentang etika berkunjung ke Pura. Pecalang (polisi adat Bali) juga sebagai orang yang bertugas menjaga ketertiban di sekitar pura harus lebih diperketat penjagaanya agar hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi dan upacara dapat terlaksana dengan lancar. Selain itu, pengelola wisata dan pemandu tur juga memiliki peran penting untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya menghormati adat dan budaya Bali, termasuk di dalam Pura. Mereka dapat mengedukasi wisatawan sebelum masuk ke pura, sehingga wisatawan lebih paham tentang etika berkunjung dan bagaimana menghormati kesakralan Pura. Ini semua perlu dilakukan agar nilai kesakralan Pura tetap terjaga dan wisatawan tetap dapat menikmati pengalaman wisata mereka dengan penuh rasa hormat terhadap budaya Bali.
ADVERTISEMENT
Desak Putu Prami Utami, Mahasiswi S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Pendidikan Ganesha