Konten dari Pengguna

'Saya Sudah Memberikan Semuanya kepada Indonesia'

Pramoedya Ananta Toer
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”
15 Agustus 2017 16:53 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pramoedya Ananta Toer tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Quote Pramoedya Ananta Toer (Foto: Canva)
zoom-in-whitePerbesar
Quote Pramoedya Ananta Toer (Foto: Canva)
ADVERTISEMENT
Jika bukan karena ‘magnum opus’ Tetralogi Buru, bangsa ini barangkali akan kesulitan melacak bagaimana sejarah keterbentukan nasionalisme pada masa awal Kebangkitan Nasional. Besar kemungkinan pula bangsa ini tak dapat mengenal sosok Tirto Adhi Soerjo--tokoh perintis pers nasional yang digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer di Bumi Manusia dengan nama Minke.
ADVERTISEMENT
Pram mengabadikan lebih dari separuh hidupnya untuk bangsa ini. Kuartet ‘Buru’ karyanya bahkan telah diterjemahkan ke nyaris 40 bahasa asing dan di banyak negara dan dijadikan menu bacaan wajib anak-anak sekolah.
Begitu dihormatinya Pram, hingga pada Februari 2017 lalu, Google Doodle sampai membuat sebuah perayaan ulang tahun ke-92 untuknya, kendati sastrawan ini telah tutup usia akibat komplikasi diabetes serta penyakit jantung sejak 31 April 2006 lalu.
Pram merupakan salah satu menara literasi dunia, tapi namanya justru lindap ditelan sejarah bangsa sendiri. Pram memang dianggap masalah bagi tiga rezim pemerintah di Indonesia: Pemerintah Belanda, di masa masih menjajah Indonesia, pernah memenjarakan Pram. Rezim Soekarno pun tak akur dengannya.
Dengan rezim Soeharto, Pram dianggap liyan, sebagian besar menganggapnya setan karena “dosa” politiknya. Maka seluruh karyanya pun dibakar, sebagian disensor, termasuk memenjarakannya di Pulau Buru selama 30 tahun. Hingga akhir hayat, Pram dituding komunis--tuduhan yang tak pernah benar-benar terbukti selain hanya asumsi dan stigmatisasi.
ADVERTISEMENT
Dalam suratnya kepada Goenawan Mohammad, Pram menulis:
Saya tidak mudah memaafkan orang karena sudah terlampau pahit menjadi orang Indonesia. Buku-buku saya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di Amerika, tapi di Indonesia dilarang. Hak saya sebagai pengarang selama 43 tahun dirampas habis. Saya menghabiskan hampir separuh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan, dan penganiayaan. Keluarga saya mengalami penderitaan yang luar biasa.
"Salah satu anak saya pernah melerai perkelahian di sekolah, tapi ketika tahu bapaknya tapol justru dikeroyok. Istri saya berjualan untuk bertahan hidup, tapi selalu direcoki setelah tahu saya tapol. Bahkan sampai ketua RT tidak mau membuatkan KTP. Rumah saya di Rawamangun Utara dirampas dan diduduki militer, sampai sekarang. Buku dan naskah karya-karya saya dibakar.
ADVERTISEMENT
Basa-basi baik saja, tapi hanya basa-basi. Selanjutnya mau apa? Maukah negara mengganti kerugian orang-orang seperti saya? Negara mungkin harus berutang lagi untuk menebus mengganti semua yang saya miliki...
Saya sudah memberikan semuanya kepada Indonesia. Umur, kesehatan, masa muda sampai setua ini. Sekarang saya tidak bisa menulis-baca lagi. Dalam hitungan hari, minggu, atau bulan mungkin saya akan mati, karena penyempitan pembuluh darah jantung. Basa-basi tak lagi bisa menghibur saya."
Pram, terlepas dari segala dosa politiknya, berhak menerima penghargaan lebih atas apa yang telah ia perbuat untuk Bumi Manusia bernama Indonesia ini. Sebab ia telah berjuang sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya, untuk Indonesia.
Pram: Tetralogi Pulau Buru (Foto: abighifari.files.wordpress.com)
zoom-in-whitePerbesar
Pram: Tetralogi Pulau Buru (Foto: abighifari.files.wordpress.com)