Konten dari Pengguna

Jejak Haji Masa Silam dalam Syair Rihlah Alminangkawiyah

Pramono
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas dan Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA) Komisariat Sumatera Barat.
29 Mei 2024 11:40 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pramono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari ini, lebih dari setengah jemaah haji Indonesia telah tiba di Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Berdasarkan jadwal, pada 10 Juni 2024, sebanyak 241.000 jemaah haji akan tiba di Tanah Suci. Keberangkatan mereka dibagi menjadi 554 kloter (kelompok terbang) yang diberangkatkan dari 13 bandara, mewakili 14 embarkasi di seluruh Indonesia. Di antara ratusan ribu jemaah tersebut, terdapat 4.331 jemaah asal Sumatera Barat. Penyebutan jemaah dari Sumatera Barat ini mengingatkan kita pada catatan sejarah di awal abad ke-20 mengenai perjalanan haji orang Minangkabau.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarahnya, perjalanan haji orang Minangkabau mengalami lonjakan yang signifikan, terutama pada akhir abad ke-18. Pada masa itu, menurut Christine Dobbin (2008), terjadi peningkatan perdagangan kopi di beberapa wilayah Minangkabau. Peningkatan perdagangan ini telah membuka peluang besar bagi sebagian masyarakat Minangkabau untuk naik haji ke Makkah. Kopi sebagai komoditas primadona terus berlanjut dan menciptakan kemakmuran baru. Bahkan, menurut Elizabeth E. Graves (2007), perdagangan kopi telah menjadikan Raja Mangkuto (Koto Gadang) sangat kaya dan bisa menyewa kapal untuk naik haji sekaligus perjalanannya ke Holland.
Pada masa itu, pergi haji tidak semata-mata hanya menjalankan rukun iman kelima. Akan tetapi, sebagian di antara mereka pergi haji juga sekaligus untuk menuntut ilmu agama. Sekembalinya dari Mekkah, beberapa di antara mereka menjadi ulama berpengaruh di Minangkabau. Dampak yang paling sederhana dari ritual haji tersebut adalah penukaran nama. Dalam konteks ini, Hamka (1982), penukaran nama setelah orang menjadi haji lazim dilakukan pada masa lampau.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, kisah naik haji dan dinamika yang menyertainya yang ditulis oleh orang-orang Minangkabau pada masa itu tidak banyak ditemukan. Syair Mekah Madinah yang ditulis Syekh Daud Sunur (1785-1855) dan Min Makkah Ila Mishra oleh Syekh Muhammad Arsyad Batuhampar (1849-1924) merupakan dua catatan ulama lokal yang penting yang mengisahkan perjalanannya ke Makkah. Kedua catatan ini merupakan salinan tangan (manuscript).
Beberapa tahun setelah itu barulah ditemukan Syair Al-Rihlah Al-Minangkãbawiyah ilã Al-Baqã’ Al-Makiyah yang ditulis oleh Syekh Muhammad Amin bin Abdullah (1795-1927) atau yang juga dikenal dengan sebutan Syekh Mato Aia Pakandangan. Berbeda dengan kedua catatan di atas, syair ini sudah dalam bentuk salinan cetakan (printed book). Dari segi isi, syair ini juga jauh lebih panjang dari kedua catatan perjalanan ke Makkah yang ditulis oleh Syekh Daud Sunur dan Syekh Muhammad Arsyad di atas.
ADVERTISEMENT
Siapa sesungguhnya Syekh Muhammad Amin bin Abdullah alias Syekh Mato Aia Pakandangan itu? Sejauh ini belum ditemukan laporan sarjana tentang biografi dan sejarahnya. Dari informasi lisan diketahui bahwa Syekh Mato Aia lahir di Kampuang Pandan, Padang Pariaman pada 1795 dan meninggal pada 1927. Ibunya benama Anduang Pudi dan ayahnya bernama Abdullah. Pada 1900, ia berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu.
Syekh Mato Aia juga berguru kepada beberapa ulama Minangkabau yang masyhur pada masa itu, yakni kepada Syekh Tuangku Baukia, Uwai Limo Puluah, Syekh Jangguik Itam. Kepada ulama ini, ia belajar berbagai ilmu keagamaan seperti tasawuf, tauhid, tafsir Alquran, dan ilmu alat (bahasa Arab).
Pada masanya, Syekh Mato Aia cukup berperan dalam dakwah dan pendidikan. Ia mendirikan Surau Mato Aia dan Surau Batu di Sicincin. Surau ini didirikannya setelah kembali mengajar di Surau Buya Lembak Pasang Kamumuan, Surau Sasak Pasaman. Kesan pendidikan yang dikembangkannya masih dapat dilihat hingga sekarang melalui naskah-naskah yang masih tersimpan di Surau Mato Aia Pakandangan.
ADVERTISEMENT
Syair Perjalanan Haji yang Cukup Panjang
Syair Al-Rihlah Al-Minangkãbawiyah ilã Al-Baqã’ Al-Makiyah berisi 724 bait ini ditulis dalam aksara Arab Melayu (Jawi). Di bagian sampul disebutkan: Al-Rihlah Al-Minangkabawiyah ilã Al-Baqã’ Al-Makiyah, Nuzima al-‘Alim al-Fadil al-Shaykh Muhammad Amin Bin ‘Abd Allah al-Mudarris bi-masjid Mato Air Pakandangan Al-Minangkabaw al-Jawi, Ghafara Allah lah wa Li-walidayh, Wa Al-Muslimin, Aamiin, Huquq Al-Tubu’ Mahfuzah lilmuallif, Al-Tabi’ah Al-Ula, Bi-Matbu’ah Al-Tarqi Al-Majidiyah bi-Makkah Al-Mahmiyyah, ‘Ala Nafaqah Muallifiha Al-Madhkur, Sanah 1328 Hijriyyah. Dari keterangan ini diperoleh informasi bahwa syair tersebut diterbitkan oleh penerbit Al-Tarqi Al-Majidiyah bi-Makkah Al-Mahmiyya pada 1328 H (1910 M) dengan biaya penulisnya sendiri.
Halaman Pertama Syair Al-Rihlah Al-Minangkãbawiyah ilã Al-Baqã’ Al-Makiyah Karya Syekh Mato Aia Pakandangan (Sumber Foto: Koleksi Pribadi Pramono)
Di bagian awal, di dalam syair ini dikisahkan permulaan berangkat dari Mato Aia Pakandangan.
ADVERTISEMENT
Sampailah bulan dua puluh dua / kami berjalan bersama-sama / ke Negeri Padang mula pertama / hati di dalam banyak nan hiba
Pada hari Ahad kami berjalan / seribu tiga ratus bilangan Sembilan / Hijrah Nabi kita tatkala dizahirkan / begitu nasib takdir Tuhan
Wa ‘alaa al-naas hiij al-bayt dalam Quran / naik haji itu kuasa badan / siapa kanai saru hendak perkenankan / menjalang Baitullah janganlah enggan
Kami berjalan pada hari Ahad / di surau Mata Air namanya tempat / berhimpunlah orang pula sesaat / kanan dan kiri semuanya kerabat
Melepas kami hendak berjalan / harilah tinggi pukul Sembilan / dihantarkan orang separo jalan / tiba di Padang harilah malam
ADVERTISEMENT
Kisah dilanjutkan dengan peristiwa-peristiwa selama perjalanan di atas kapal. Berbagai peristiwa digambarkan oleh pengarangnya, termasuk meninggalnya jemaah di atas kapal, dikisahkan dalam bait syair berikut ini:
Berlayarlah kapal sehari semalam / wafatlah orang seorang perempuan / negerinya Mengkung orang himbaukan / sudah begitu takdir Tuhan
Hari siang itu jadilah susah / mengerjakan mayat sudah pelentah / mandi sembahyang sampailah sudah / kuburnya itu laut bahru Allah
Mayat berkubur hatipun hiba / kuburnya laut ombaknya rata / sudah takdir Tuhan yang Esa / ambil pengajar kepada kita
Syair dilanjutkan dengan kisah selamat di Makkah dan ditutup dengan kepulangan Syekh Mato Aia Pakandangan ke Minangkabau. Namun, sayangnya tidak ada cerita yang rinci tentang peristiwa perjalanan pulang ke kampungnya.
ADVERTISEMENT
Di dalam kitab sudah terkata / mufti Makkah mekhabarkan pula / mengambil kitab kalau tidak ada / sekalian amalan jadi binasa
Di Negari Makkah dijalang Syafii / beliau menyuruhkan pulang ke negeri / membayar hutang dalam negeri / baitu nan suruh Tuhan Ilahi
Tatkala di Makkah maksud hati / hendaklah tetap pula mengaji / tetapi belum gerak Ilahi / bahagian buruk sawah terjali
Sudahlah pula takdir Allah / pulang ke negari berhati susah / mengemang kitab fardhu kifayah / tidak mencari riya dan megah
Pada bagian akhir disebutkan: Tamat kalam pada hari Ahad tiga belas hari bulan Safar pada tahun dal akhir sanah 1913. Telah sempurna cap pada matbu’ah al-taraqqiy al-majidiyah al-kainah bi-Makkah al-Muhammiyah. Syair Al-Rihlah Al-Minangkãbawiyah ilã Al-Baqã’ Al-Makiyah karya Syekh Mato Aia Pakandangan merupakan memori penting tentang bagaimana orang-orang Minangkabau berhaji pada masa silam. Sebuah perjalanan ibadah penuh dengan dinamika dan darinya kita banyak mengambil faedah. Sebuah kisah perjalanan yang tidak hanya mengetengahkan ibadah individual, tetapi juga ibadah sosial.
ADVERTISEMENT