Konten dari Pengguna

Naskah Cerita 'Rajo Ageh Dihukum Gantung' Pemerintah Kolonial

Pramono
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas dan Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA) Komisariat Sumatera Barat.
30 Mei 2024 7:24 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pramono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebuah Kisah Nyata yang Diabadikan dalam Karya Sastra
Cerita Rajo Ageh dihukum gantung oleh pemerintah kolonial ini adalah satu cerita Minangkabau yang belum diketahui oleh khalayak luas. Cerita tersebut terekam dalam naskah beraksara Jawi berbahasa Melayu-Minangkabau. Naskah ini merupakan koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan kode ML. 541. Naskah setebal 53 halaman ini telah dialihaksarakan oleh Pramono dan Cahirullah (2021) dan diterbitkan oleh Perpusnas Press.
ADVERTISEMENT
Cerita yang disampaikan dengan gaya bahasa kaba ini berdasarkan kisah nyata. Hal ini diketahui dari pemberitaan Soerabaijasch Handelsblad (27 Desember 1901 dan 8 Maret 1902) yang memberitakan tentang perjalanan kasus pembunuhan dan berujung pada hukuman gantung. Disebutkan, De Raad van justitie alhier heft doodvonnis, uitgesproken over de 6 moordenaars van Malie, met name Siman, Hasan, Oedin, Radjab, Doelah, en Radjo Ageh, bekrachtigd, en zoo zullen wij eerstdaags getuige kunnen zijn van een executie op ongewoon groote schaal 'Dewan Yudisial di sini memiliki menjatuhkan hukuman mati, yang dijatuhkan kepada 6 pembunuh Pembunuh Ma&lie, yaitu Siman,Hasau, Oedin, Radjab, Doelah, dan Radjo Ageh, telah disahkan, dan dengan demikian kita akan segera dapat menyaksikan sebuah eksekusi dalam skala yang luar biasa besar’. (Nederlandsch-Indië. SOERABAIA, 27 December 1901. "Soerabaijasch handelsblad". Soerabaja, 27-12-1901).
ADVERTISEMENT
Naskah Cerita 'Rajo Ageh Dihukum Gantung' (Sumber Foto: Koleksi Perpustakaan Nasional RI)
Dalam bagian awal, disebutkan judul naskah dengan sangat panjang: "Inilah Cerita Rajo Ageh Bergantung Berenam Orang dalam Negeri Padang Tatkala Masa Dahulunya Digantung Iyo Rajo Ageh di Muka Tangsi Militer di Tanah Lapang Tahun 1901 Pada 27 Februari Hari Sabtu Terkarang oleh Baginda Malin Orang Pariaman, Barang Siapa yang Mendengar Hiba Kasihan Adanya." Cerita dibuka dengan lima pantun sebagai berikut ini.
Limau puruik tapi nagari
Tumbuh di lereang kampung Cina
Dawat sujut kalam menari
Kabar dikarang dagang hina
Terung nameng? masak serumpun
Cakur serumpun jo sipadeh
Dikarang kabar dengan pantun
Cerita tuan nan redeh
Karang jari di baruh tampat
Salasih tanah jo sambilu
Dikarang barang nan dapat
Lebihnya untuk rang nan tahu
ADVERTISEMENT
Dari Lumong? ka Simakarna?
Berhenti tantang tanda taban
Bohong orang hamba tak sato
Kabar orang hamba kabarkan
Disusuk kabun dilimau
Manggih sutan berpagar duri
Disusuk kabar nan lamo
Ka camin manarang nagari
Ceritanya bermula ketika Rajo Ageh dituduh membunuh seorang pria Cina di Teluk Bayur. Rajo Ageh kemudian ditangkap dan dipenjara dalam ruang gelap selama tiga bulan. Selama masa penahanannya, ia menerima kunjungan dari sanak saudara, termasuk ibunya dan istrinya, yang menangis dan meratap melihat kondisi Rajo Ageh. Akhirnya, tiba waktunya untuk persidangan.
Persidangan Rajo Ageh dihadiri oleh berbagai pejabat, termasuk tuan Presiden, Tuan Regen, Jaksa, Rajo, Penghulu, dan Qadi. Rajo Ageh dituduh membunuh, tetapi ia tidak mengakui tuduhan tersebut. Para saksi yang dihadirkan semuanya orang Cina, yang menjelaskan bahwa Rajo Ageh kalah bermain dadu dan meminta uang kepada pria Cina yang mengalahkannya. Ketika pria tersebut menolak memberikan uang, Rajo Ageh merampasnya dan terjadilah perkelahian, di mana Rajo Ageh akhirnya membunuh pria itu dengan kerambit.
ADVERTISEMENT
Setelah mendengarkan kesaksian, para pejabat merasa heran mengapa Rajo Ageh tidak mengaku. Mereka meminta para saksi untuk bersumpah atas keterangan mereka. Setelah semua saksi bersumpah, Rajo Ageh diberi kesempatan untuk menjelaskan. Dalam penjelasannya, Rajo Ageh mengakui bahwa ia meminta uang karena kelaparan setelah kalah berjudi. Saat pria Cina tersebut menolak memberikan uang, terjadilah perkelahian. Teman-teman pria Cina yang berjumlah sekitar 100 orang datang membantu, dan Rajo Ageh membela diri dengan kerambit, yang berujung pada kematian pria Cina tersebut.
Hakim menilai bahwa Rajo Ageh telah mengakui pembunuhan, tetapi karena ia membela diri dari pengeroyokan, hukumannya adalah diasingkan ke Pulau Jawa selama satu setengah tahun. Setelah beberapa hari, Rajo Ageh dibawa ke Pulau Jawa dengan kapal, dikawal oleh komandan opas dan beberapa opas lainnya. Keberangkatan ini diiringi tangisan keluarganya.
ADVERTISEMENT
Di Cilacap, Rajo Ageh diserahkan kepada sipir penjara. Suatu hari, Rajo Ageh diperintahkan untuk mengangkat tong berisi semen, tetapi ia tidak kuat. Meminta tong yang lebih ringan membuat komandan opas marah dan mencambuk serta mengancamnya dengan pisau. Rajo Ageh yang ahli silat berhasil menghindar dan melawan. Pertarungan ini dihentikan oleh sipir penjara yang kemudian menawarkan Rajo Ageh menjadi komandan opas karena kekagumannya pada kemampuan bela dirinya. Rajo Ageh menerima tawaran tersebut dan penjara menjadi damai selama ia menjabat.
Setelah masa hukumannya berakhir, Rajo Ageh diizinkan kembali ke Padang. Kembali ke Kampung Jawa, ia disambut dengan gembira oleh ibunya dan istrinya. Rajo Ageh kemudian bertemu dengan murid-muridnya dan membentuk sebuah perkongsian dengan moto kebersamaan.
ADVERTISEMENT
Suatu ketika, Rajo Ageh pergi ke Sungai Pagu untuk mengajar tari dan silat tuo. Saat di sana, ia menerima surat dari Hasan yang mengabarkan bahwa Mak Ali melanggar aturan perkongsian. Rajo Ageh kembali ke Padang untuk menyelesaikan masalah ini. Namun, sebelum bisa bertemu Mak Ali, Mak Ali ditemukan tewas terbunuh. Orang tua Mak Ali melaporkan kejadian ini kepada tuan Regen, yang memerintahkan penyelidikan.
Rajo Ageh, Hasan, Dulah, Seman, Rajob, dan Mudin akhirnya dituduh melakukan pembunuhan berencana terhadap Mak Ali. Mereka dijatuhi hukuman gantung pada hari Sabtu, 27 Februari 1901. Peristiwa ini ditulis oleh Baginda Malin orang Pariaman pada 15 Oktober 1924 berdasarkan berbagai informasi dan kesaksian, diakhiri dengan kata-kata penuh kerendahan hati dan permohonan maaf atas segala kekurangan dalam penulisannya.
ADVERTISEMENT