Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Difabel dalam Lanskap Sinema: Mengurai Stigma & Keterwakilan di Lintas Spektrum
2 September 2024 11:25 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Lintang Pramudia Swara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di bawah sinar cahaya bulan yang jatuh di penghujung Agustus, udara lembab melapisi selatan Kota Jogja. Bunyi melodi alam menyeruak di antara sepinya malam minggu. Hamparan sawah membentang luas, pilar-pilar pendopo berbinar terang dibersamai aroma wedang jahe dan celoteh hangat sekumpulan manusia. Layar tancap juga dibentangkan, memproyeksi tajuk bertuliskan ‘Suara Nada: Diskusi Disabilitas, Stigma, dan Sinema’. Malam itu, kolektif ‘Layarin Aja’ menggelar pemutaran film di Balai Budaya Karang Kitri, letaknya di Desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Seni dan disabilitas menjalin pertautan erat, terutama di Kota Jogja dan sekitarnya. Sejak Yayasan Jogja Disability Arts berdaulat, ragam aktivasi dan ekshibisi seni lintas disiplin mengemuka di berbagai ruang. Terkhusus malam itu, tepatnya 31 Agustus 2024, isu disabilitas turut menggaung lewat kancah sinema.
ADVERTISEMENT
Beberapa tikar dibentangkan, saya mengambil posisi duduk lesehan tak jauh dari layar. Pendopo menggelap dengan sendirinya, menandai pemutaran film resmi dimulai. Sang pengaba ansambel angklung tampak tegas mengayunkan tangan, pertanda isyarat untuk mengatur jalannya sesi latihan. Dengan khusyuk, saya merasakan betapa jernih kualitas suara yang terproduksi dalam pemutaran film malam itu. Sebuah tempat bernama Sanggar Warna berpusat sebagai latar cerita, menjadi tempat mengasah keterampilan seni dan mengolah emosi estetis para penghuninya.
Nada, perempuan gigih yang ditempa di Sanggar Warna kelak akan menjadi penerus yang memimpin sanggar. Ia seorang penari bertalenta dan punya semangat juang yang tinggi dalam berkesenian. Saya rasa pada dirinya, menggerakan tubuh dalam tarian tak ubahnya ekspresi, suara dan katalis untuk mengenal diri.
Seusai sesi latihan, Nada mengutarakan kegelisahannya pada Uwak menggunakan bahasa isyarat. Sebagai seorang tunarungu, Nada tidak yakin dirinya mampu. Termasuk dalam sesi tertentu, ketika Uwak meminta Nada menggantikannya sebagai pemimpin sesi latihan, Nada sering mengalami kesulitan. Cerita terus berlanjut, rupanya wabah pandemi covid menjadi salah satu sumber konflik. Pentas gabungan drama, tari dan musik bertajuk ‘Bima Sakti’ yang sudah dipersiapkan oleh sanggar terancam dibatalkan. Nada menanggung kekecewaan, ia ingin pertunjukan tetap dilanjutkan. Sementara itu Uwak pulang kampung, meninggalkan sanggar dan berpasrah pada lumpuhnya ekosistem seni pertunjukan.
ADVERTISEMENT
Ketika Nada bertelepon dengan sang kakak, saya terpukul mendengar percakapan mereka. Sang kakak meminta Nada cari pekerjaan lain. Namun dengan ekspresi getir dan gerak tangan, sang adik menyampaikan bahwa yang ia bisa hanya berkesenian. Saya sadar, panggung pertunjukan menjelma sektor yang paling terdampak kala bentuk interaksi langsung dan bersifat fisik tak lagi memungkinkan. Sebagai seorang pegiat seni, saya juga turut merasakan beratnya hidup di masa-masa pandemi sebagaimana Nada yang berkarya di Sanggar Warna.
Bersikeras agar pertunjukan bisa dilanjutkan, Nada berniat menjual angklung legendaris kepunyaan sanggar agar dapat membiayai proses produksi. Sayangnya, tidak semua personil sanggar punya keberanian yang sama untuk melanjutkan persiapan. Masing-masing perlahan mundur, termasuk penari, aktor, pemusik, dan penata panggung yang tidak merasa puas dilatih oleh Nada, baik karena keterbatasan komunikasi maupun metode latihannya yang berbeda dari Uwak. Tokoh seperti Cahyo, Asa, dan Ruth memegang peran penting bagi jatuh bangunnya Nada. Asa yang dulu pernah belajar di sanggar memperkenalkan Nada kepada Ruth, sang investor yang bersedia membiayai pementasan. Sementara itu, Cahyo adalah satu-satunya teman di sanggar yang lancar berbahasa isyarat dan setia mendampingi Nada.
ADVERTISEMENT
Di pertengahan film, satu demi satu konflik silih berdatangan. Ruth tidak melihat kemajuan dalam persiapan pentas, sehingga ‘Eneng’, sang angklung legendaris kepunyaan sanggar harus direnggut sebagai kompensasinya. Uwak marah dan kecewa, menganggap Nada tak mengerti apa-apa soal Sanggar Warna sampai tega melepas ‘Eneng’ hanya demi ambisi pribadinya. Asa yang semula menaruh kepercayaan begitu besar pada mimpi Nada, perlahan menuntut Nada agar bersikap realistis. Ketika beradu argumen di rumah, Dini sang kakak kandung dengan amat tega berkata, bahwa orang tuli tidak perlu punya cita-cita menjadi penari.
Babak terberat terjadi seolah tak kenal ampun. Selang beberapa waktu, Nada pun mengerti betapa egois keinginannya selama ini. Sanggar Warna berencana dijual untuk mengatasi krisis ekonomi akibat pandemi. Tak ada lagi harapan maupun masa depan cerah bagi seni pertunjukan di tempat itu. Di bawah langit malam dan pekatnya kesendirian, Nada mengambil posisi di atas panggung. Tubuhnya bergerak memandu tangan untuk mengayun halus, merenungi berbagai peristiwa yang menerpa dari waktu ke waktu sejak pandemi berlangsung. Secara tiba-tiba Cahyo datang, meyakinkan Nada bahwa ia mendukungnya.
ADVERTISEMENT
Film kian berlanjut, ide pertunjukan daring tercetus kala Dini mendatangi Sanggar. Ia meminta maaf kepada Nada, satu-satunya adik yang sepanjang hidup ini berusaha dipahaminya. Terpantik oleh ide konser virtual, Cahyo mengajak Asa untuk terlibat. Mereka merancang konsep pertunjukan tari diiringi gitar akustik. Asa memainkan gitar, mengiringi gerakan tari yang dibawakan Nada dalam sebuah konser virtual. Kabar soal konser ini kemudian tersiar ke telinga para musisi terkenal, termasuk Reza Artamevia, Gilang Ramadhan, dan Purwacaraka yang turut berkolaborasi. Masing-masing saling memberi respons dan menyelaraskan musiknya untuk pertunjukan tari yang dipentaskan Nada secara live. Uwak tiba-tiba datang, memeluk Nada dan memimpin jalannya pertunjukan sekaligus mengakhiri film Suara Nada yang disambut riuh tepuk tangan dari audiens.
Sebagai akademisi yang banyak berkiprah bersama yayasan seni disabilitas, Budi Irawanto membaca film ini sebagai sebuah proyeksi kecemasan non difabel. Pemutaran film ini memotret tragedi dan ketidakberdayaan seorang difabel. Dalam sesi diskusi, Budi selaku pembicara yang mengemban predikat sebagai presiden dari Jogja Netpac Asian Film Festival juga mencatat bahwa difabel selama ini belum menjadi subjek utama di dalam film, sehingga film ini menawarkan kebalikannya. Namun di sisi lain ada inkonsistensi yang mengemuka, terutama pemilihan sang aktor yang di dunia nyata bukan seorang difabel. Pelibatan difabel dinilai masih minim dalam kancah sinema, baik sejak di depan hingga ke balik layar.
ADVERTISEMENT
Merujuk pada kata kunci ‘stigma’ dalam diskusi film malam itu, apakah para produser film yang beredar di industri masih menstigma mereka sebagai individu yang tidak berdaya dan tak bisa melakukan apa pun? Menurut Budi, bukan hanya sebatas representasi dalam film namun teman-teman difabel juga seharusnya bisa dilibatkan dalam proses produksi film. Sejalan dengan itu, Bangkit selaku pimpinan pedukuhan Sawit, desa Panggungharjo mengupayakan agar desa dapat membersamai dan memberdayakan teman-teman difabel dalam berbagai sektor dan forum, termasuk dalam rapat warga hingga kegiatan pengolahan sampah.
Salah satu audiens melihat imaji difabel di dalam film sebagai sosok yang selalu butuh pertolongan dan ditinggalkan, termasuk Nada yang perkembangan karakternya dibentuk orang-orang terdekatnya. Belum ada film atau representasi yang menampilkan difabel sebagai sosok otonom dan agen perubahan. Seorang teman netra turut memberi komentar seraya menceritakan pengalamannya. Sebagai pegiat film, ada cemoohan yang mengatakan bahwa untuk apa membuat film ketika mata mereka tidak dapat melihat.
ADVERTISEMENT
Teman netra yang lain juga berbagi pengalaman kala dirinya menjadi aktor di sebuah panggung teater, namun memerankan sosok non difabel. Apakah mungkin membuat karya film dengan tokoh non difabel namun diperankan oleh difabel? Merespons itu, Budi mengatakan bahwa film itu bersifat multi sensoris, teman netra berhak membuat film dan menikmati film. Termasuk mendapatkan fasilitas penunjang seperti narator yang mendeskripsikan peristiwa visual dalam film. Dunia keaktoran sendiri belum melibatkan difabel untuk memerankan dirinya. Harapannya tentu kondisi lambat laun berubah seraya banyak film independen mulai melibatkan mereka.
Ada kekhasan budaya yang spesifik dari teman-teman difabel. Diperlukan riset kuat untuk menampilkan seaktual mungkin kondisi mereka dalam layar sinema. Dialog dua arah dan kolaborasi yang tidak eksploitatif menjadi kunci penting agar kegelisahan dan pengalaman difabel tersuarakan seutuhnya. Kadangkala, seorang pembuat film terbentur oleh segmentasi dan profit, sehingga wilayah eksplorasi menjadi sempit. Film ini pada akhirnya hanya setia mewakili sepenggal saja kisah hidup difabel, dan secara dominan hanya ditujukan bagi audiens yang tidak difabel.
ADVERTISEMENT
Malam itu saya kembali mengingat pengalaman setahun ke belakang. Kala menjalankan riset tentang seni dan disabilitas, saya berkesimpulan bahwa seni menjadi medium terhalus dalam bernarasi dan berekspresi. Individu dengan disabilitas tak ingin dilihat dari kekurangannya atau membuat orang menangis haru. Mereka ingin dipandang dari karyanya, sebagaimana Leonardo Da Vinci yang juga memiliki disabilitas, namun diakui dunia karena karena lukisannya yang mendunia. Apakah melalui seni, difabel kemudian dapat mencapai kesetaraan dan kesempurnaan diri? Melalui diskusi sinema yang saya ikuti, saya rasa kita masih bisa menyongsong peluang dan harapan itu. Bukan sekadar menerima mereka sebagai bagian dari kita, namun turut ambil bagian untuk menarasikan diri mereka.