Konten dari Pengguna

Mengabarkan Sisi Dunia yang Tak Terlihat: Ekshibisi Jurnalisme Visual Sedunia

Lintang Pramudia Swara
Lulus dari Jurusan Musik, ISI Yogyakarta, kini mengasuh toko buku independen, mengajar cello, dan menulis lepas.
25 Oktober 2024 18:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lintang Pramudia Swara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tak ubahnya bentuk pertaruhan, kerja jurnalistik juga ibarat menjemput ancaman. Berbagai peristiwa dunia terkabarkan, bahkan dari tempat-tempat yang sulit dijamah. Saya diperdengarkan bercuplik pengalaman, tentang para fotografer di daratan penuh konflik yang mengabadikan potret kegetiran dengan penuh keberanian.
ADVERTISEMENT
Mengutip Seni dan Kondisi Post-Human, ada pembacaan yang menarik dari Mardohar atas gagasan Leslie Stevenson. Ia menulis bahwa tidak ada medium lain yang memiliki kekuatan untuk menyatakan kenyataan dan kausalitas, selain fotografi. Sang penulis juga merujuk Maynard tentang sang mata kedua yang memberi ruang. Maknanya bisa multi interpretatif, saya menafsirnya sebagai lensa, berikut tongkat estafetnya lewat pembekuan melalui peran tombol rana pada kamera.
Kembali membuka rekaman atas hadirnya hati dan pikiran saya, semalam sedang dirayakan “World Press Photo Exhibition 2024”, perhelatan yang memperingati kekuatan karya foto dalam menyuarakan kebenaran. Tepatnya Kamis (24/10/2024), Pendhapa Art Space, Yogyakarta dijadikan tempat bersemayamnya monumen yang menangkap bidikan lensa dari para fotografer jurnalistik di seantero bumi.
Persiapan panggung Orkes Rumah Opet (dok. pribadi)
Sebelum membuka pintu ruang pamer, diadakan panggung pembukaan yang meresmikan ekshibisi untuk berlangsung dalam kurun satu bulan ke depan. Pembukaan dimeriahkan kelompok Orkes Keroncong Rumah Opet yang sudah cukup lama absen pentas di selatan Jogja. Beberapa tamu utama mengenakan batik dan tampak beresonansi dengan busana para musisi maupun panitia yang beredar mengawal perhelatan.
ADVERTISEMENT
Barisan terdepan di hadapan panggung diisi oleh sosok-sosok penting, termasuk perwakilan dari Kedutaan Besar Kerajaan Belanda, hadir juga Franz Sartono sang jurnalis senior yang dipercaya menjadi kurator pameran, dan yang tak kalah mengundang kejutan, Zainal Arifin Mochtar, sang pakar hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada yang belakangan banyak tampil di media.
Pidato dari perwakilan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda (dok. pribadi)
Sebagaimana yang diucapkan Zilla Boyer, Sekretaris Kedua Bidang Politik Kedutaan Besar Kerajaan Belanda, kekuatan foto jurnalistik mengajak kita untuk melihat kebenaran. Ada pertaruhan nyawa di balik hasil foto yang terabadikan. Para fotografer terjun ke wilayah konflik di daratan Ukraina, Palestina, merekam tiap peristiwa melalui lensa yang jernih dan hati yang terbuka.
Menyebut terma ‘monumen’, saya menggaris bawahi pidato pembukaan yang terucap dari Zainal Arifin Mochtar. Dalam pandangannya memaknai relasi antara fotografi jurnalistik dan seni, foto ia definisikan selayaknya monumen. Tak hanya monumen kebahagiaan, namun juga monumen kesedihan, kepedihan dan kegetiran. Merefleksikan disrupsi media sosial dan arus komunikasi yang begitu dinamis, pandangan saya terhadap dunia foto perlahan bergeser.
ADVERTISEMENT
Hari ini, pengguna media sosial berlomba-lomba mengunggah foto terbaik, mengabadikan momen indah untuk dikabarkan pada dunia. Sementara di luar sana, ada manusia-manusia yang mempertaruhkan nyawanya. Tak hanya mengabadikan dengan komposisi yang estetis, namun juga meminta kita untuk berefleksi, merenungkan bahwa masih berlangsung krisis kemanusiaan yang belum kita ketahui seutuhnya. Hari-hari di mana mereka kelaparan, menderita karena direnggut hak-hak dasarnya dalam hidup, sementara hari-hari yang begitu nyaman ada di genggaman kita.
Penyampaian pidato Zainal Arifin Mochtar (dok. pribadi)
Kembali mengutip Zainal, ia ingin mematahkan stigma bahwa para ahli hukum atau pengacara adalah sosok yang tuna seni dan budaya. Membaca kuratorial dan perjalanan panjang World Photo Press, Zainal memandang bahwa hukum punya potret yang sama. Memiliki irisan kecil dengan diskursus yang kita semua sedang bicarakan. Hukum juga tak ubahnya monumen, dan ia belum tentu menjadi monumen kebaikan. Keputusan hukum dapat menjadi monumen kegetiran, membuat terhenyak dan seringkali menampilkan keinginan para pembuatnya.
Meresmikan secara simbolis dibukanya pameran World Photo Press 2024 (dok. pribadi)
Semalam di pembukaan ekshibisi, dunia sedang merayakan keberanian. Langkah demi langkah dihimpun, tiap pasang mata mengedarkan pandangnya. Melalui karya-karya foto yang terpajang di tiap panel, banyak peristiwa pahit yang terkabarkan dan mengetuk pintu hati dunia. Nyawa dan bahaya yang menjadi taruhan tak pernah sia-sia, lebih dari itu memanjangkan nafas, menyuarakan yang tak terdengar dari mereka yang terus berjuang.
Potret ruang pameran World Press Photo 2024 (dok. pribadi)
Menurut Walden (2008) dampak fotografi tidak terletak pada proses mekanisnya, pengaruh kuat dari fotografi justru terletak pada kemampuannya memberikan sebuah artikulasi baru dalam kosa kata rasionalitas kita, bahwa kebenaran empiris itu mungkin. Dengan mata persepsinya yang tak terbatas, manusia memanifestasikan kehadiran lewat foto, bukan menghadirkan kehadiran lewat foto.
Dokumentasi dari beberapa karya fotografi di pameran World Press Photo 2024 (dok. pribadi)
Foto di sebelah kiri menampilkan sosok ibu menggendong seorang anak yang telah tutup usia. Begitu kuatnya kepedihan yang diabadikan sampai karya tersebut dinobatkan sebagai yang terbaik dalam perhelatan World Photo Press di tahun ini.
ADVERTISEMENT
Ada keragaman perspektif dan suara global yang disuarakan dalam perhelatan dari tahun ke tahun. Sebagaimana misi mulia yang digulirkan terus menerus, World Press Photo menunjukan komitmennya untuk menghubungkan dunia, melalui kebebasan pers dan kekuatan jurnalisme visual.