Konten dari Pengguna

Perempuan dan Kancah Sinema: Sebuah Ulasan Diskusi Bentang Layar di Jejak Imaji

Lintang Pramudia Swara
Lulus dari Jurusan Musik, ISI Yogyakarta, kini mengasuh toko buku independen, mengajar cello, dan menulis lepas.
29 Juli 2024 16:47 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lintang Pramudia Swara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Panggung gelap tanpa sorot lampu, meminta pantulan cahaya memproyeksi spektrum warna dan bentuk. Langgam Jawa terdengar memburu hawa dingin, menyelimuti lewat tiap jalur pengeras suara yang terpasang di sisi timur dan barat layar tancap. Malam itu diadakan pemutaran film dokumenter, saya duduk menempati kursi merah di barisan kedua, dibersamai sekumpulan manusia yang tak sabar merayakan penghujung malam minggu.
ADVERTISEMENT
Yogyakarta dan penghuninya tak pernah rela beristirahat. Begitu banyak ruang yang menunjukan daya hidup pergerakan komunitas. Termasuk distrik Wirokerten, Kabupaten Bantul yang dihuni para pegiat seni, sastra dan musik dalam naungan Jejak Imaji, sebuah kelompok yang sah berdaulat satu dekade lamanya. Pergantian usia mendorong kedewasaan, juga meninggalkan banyak warisan berharga bagi para penerusnya. Sepuluh tahun Jejak Imaji dirayakan lewat peluncuran album musik puisi, ekshibisi seni, serta forum diskusi dari lintas disiplin sastra dan seni yang turut mewacanakan kiprah dan karya penyair terkemuka Joko Pinurbo.
Pemutaran film saya kira menjadi satu-satunya agenda yang terfragmentasi dari tema besar yang diusung. Kuratorial pameran ‘Membaca Jokpin’ diperkuat oleh slogan ‘Langgeng’ yang menjadi cita-cita keluarga Jejak Imaji. Saya melihat bahwa keabadian bisa dicapai lewat pendokumentasian. Sebagaimana adagium Pram yang mengatakan bahwa menulis itu bekerja untuk keabadian, film juga digarap melalui proses panjang penulisan naskah. Termasuk pemutaraannya pada Sabtu (27/08/2024) di program ‘Bentang Layar’ Jejak Imaji.
ADVERTISEMENT
Dibutuhkan energi yang besar untuk menggarap sebuah film dokumenter. Dewi Prasti ningrum tercatat sebagai satu dari sekian banyak sutradara perempuan yang berani melakukannya. Dari pantulan gambar proyektor, saya diperlihatkan sosok ibu yang setiap pagi harus berangkat mencari nafkah, lalu kembali pulang keesokan paginya. Perempuan tangguh yang setiap hari mengendarai motor Supra, mengantar anaknya sekolah tanpa menghapus riasan wajah.
Hidup sebagai seorang pesinden dan aktor pertunjukan ketoprak sudah dilakoni sejak bertahun-tahun. Wido nama panggilannya, ia bertumbuh di keluarga berdarah seniman - akar pertama yang merekatkan dirinya kepada seni dan budaya lokal sedari belia. Sang sutradara mengajak kita melihat keseharian, begitu juga suka dan duka kehidupan sang pesinden melalui ‘Wido’, sebuah nama yang juga menjadi judul filmnya.
Pemutaran Film Dokumenter ‘Wido’ (Foto: Manik Wijatmiko).
Perempuan acapkali diobjektifikasi secara visual. Dalam film, Wido bercerita pengalaman pahit menyoal stigma perempuan penghibur, serta perlakuan buruk para lelaki kepadanya. Terhitung sangat sedikit perempuan yang konsisten mempelajari kesenian tradisi, termasuk untuk pentas dari panggung ke panggung di Jawa Tengah dan sekitarnya. Pesinden asal Magelang ini begitu kuat menjalani beratnya hidup sebagai seniman perempuan, sekaligus memikul tanggung jawab untuk membesarkan dan mendidik anak-anaknya.
ADVERTISEMENT
Tanpa terasa waktu terus bergerak, membawa saya dan audiens kian terlarut. Dari pantulan layar, Wido tampak menimang bayi, menyanyikan lagu pengantar tidur yang menenangkan, menutup film dengan begitu manis dan penuh haru. Film selesai disambut riuh tepuk tangan yang memecah keheningan.
Selain film dokumenter, Bentang Layar menyiapkan satu buah film fiksi untuk diputar. Seperti film sebelumnya, tema masih berkutat pada persoalan perempuan. Film berjudul ‘Rahim Puan’ memotret pengalaman seorang buruh jahit bernama Ningrum yang dipaksa menjadi istri kedua sebagai syarat pelunasan hutang sang ayah. Ningrum merasakan getirnya menjadi tawanan yang juga harus mengandung bayi tidak atas kehendaknya. Berbeda dari film dokumenter, begitu minim dialog yang hadir.
Pemutaran Film ‘Rahim Puan’ (Foto: Manik Wijatmiko).
Para tokoh berbicara lewat sorot mata dan gestur yang kuat. Kepedihan Ningrum tergambar jelas dari garis wajahnya, dipertebal dengung musik latar gesekan cello yang mengaksentuasi suasana traumatis. Sang sutradara meninggalkan teka-teki yang menggantung di penghujung film. Tidak membuat kesimpulan atau pun akhir yang bersifat final.
ADVERTISEMENT
Bergerak ke sesi diskusi, Miftachul Arifin hadir bertugas untuk memandu acara. Diskusi dimulai dengan pertanyaan soal proses kreatif pembuatan film. Dewi sang sutradara film ‘Wido’ menghabiskan waktu sampai satu setengah tahun, baik untuk riset dan syuting. Wido dan Dewi memiliki kedekatan secara personal. Tidak hanya itu, mereka sama-sama lahir mewarisi darah keluarga seniman. Waktu yang panjang dalam penggarapan film disebabkan oleh penyesuaian jadwal pentas dan keseharian sang pesinden. Ada musim-musim yang aktif menggelar pementasan ketoprak maupun karawitan, sehingga Dewi ingin mengabadikan tiap momen itu dengan sebaik mungkin meski butuh begitu banyak waktu.
Mewakili sosok-sosok di balik pembuatan film ‘Rahim Puan’, Wildan Ma’arij hadir sebagai pembicara kedua, namun bukan sebagai sutradara. Produksi film fiksi tidak memakan waktu lama. Dalam kurun tiga hingga enam bulan baginya cukup, terlebih untuk sebuah film pendek yang dibintangi oleh aktor profesional. Sebagai laki-laki yang menjalani profesi penata suara dan pekerja film, Wildan sempat ragu bahwa laki-laki bisa mendapat keabsahan untuk mengangkat isu perempuan. Meski begitu, diskusi ‘Bentang Layar’ menjawab kegelisahannya.
ADVERTISEMENT
Saya dan seluruh audiens menyadari ada penokohan antagonis yang dilekatkan ke semua sosok laki-laki dalam film ‘Rahim Puan’. Tidak ada keberpihakan pada Ningrum yang teraniaya dan menderita sebagai seorang perempuan. Menurut Wildan, ketika penonton terganggu dengan perwatakan yang dikonsep maka film ini berhasil mencapai tujuannya. Ningrum diposisikan dan dipotret apa adanya sebagai perempuan yang subordinat dan tidak dibela haknya oleh siapa pun.
Film mewujud sebagai manifestasi kerja interdisiplin. Termuat dimensi antropologis, humaniora, dan gender yang dialihwahanakan ke dalam medium rupa berbentuk audio-visual. Tak mau kehilangan kesempatan, saya bertanya kepada Dewi terkait rujukan dan pembacaan apa yang ia lakukan untuk menjaga karyanya tetap relevan. Apakah ketika mengangkat isu perempuan, seorang sutradara harus khatam membaca pemikir gender seperti Julia Kristeva dan Judith Butler? Atau harus memiliki modal kultural yang kuat sebagaimana Dewi yang memahami jagat sinden dan ketoprak? Rujukan seperti apa yang dibutuhkan?
Dewi Prasti Ningrum bercerita proses kreatif sebagai sutradara (Foto: Manik Wijatmiko).
Secara personal, rujukan yang Dewi terima menubuh dalam keseharian sebagai seorang perempuan yang besar di kalangan keluarga seniman. Ia dibentuk oleh pengalaman itu, begitu juga kerja pencatatan terhadap persebaran seniman perempuan di Jawa Tengah yang dijadikan rujukan. Butuh keberanian yang luar biasa untuk menjadi seniman perempuan, termasuk melakoni profesi sebagai sutradara film dokumenter. Dalam sebuah forum dan ajang kompetisi festival film dokumenter yang dimenangkan, Dewi menjadi satu-satunya sutradara perempuan yang menjadi nominasi dan berhasil meraih penghargaan. Ini menjadi kebanggaan dan penanda bahwa perempuan punya kesempatan yang sama untuk berprestasi di kancah film.
ADVERTISEMENT
Begitu banyak yang bisa dibicarakan dari karya film. Tidak melulu soal aspek teknis, namun disertai konteks dan wacana kemanusiaan yang bergerak dari waktu ke waktu. Saya jadi teringat kalimat yang dikutip Bambang Sugiharto dari Jean Luc Nancy ‘Dunia ini sinematik, rangkaian tampilan tanpa henti’. Mengalami sinema artinya mengalami hakikat ada. Film menghadirkan dunia sebagai yang terberi melalui imaji yang bergerak. Hari itu, kami diajak memasuki dunia yang dialami dua tokoh perempuan lewat karya cipta seni media rekam. Ada jarak fisik sekaligus kedekatan emosional yang muncul berkat kepiawaian sosok-sosok yang bekerja di baliknya.
Kehadiran perempuan di jagat industri film membuka peluang yang besar. Karir di industri film bukan lagi milik domain maskulin. Sebagaimana Dewi Prasti Ningrum yang melakoni profesi sebagai sutradara, begitu juga Wildan Ma’arij yang aktif terlibat bersama banyak kru film perempuan dalam banyak proyek yang dikerjakan. Layar yang terbentang malam itu menjadi katalis yang berhasil menyatukan pandangan bahwa kita semua setara dalam berkarya dan berkesenian.
ADVERTISEMENT