Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengapa di Vorstenlanden Tidak Diberlakukan Kebijakan Tanam Paksa?
4 Agustus 2024 12:13 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Shinta Dwi Prasasti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebuah pertanyaan yang disampaikan oleh seorang guru dari sebuah SMP kala saya bertugas sebagai narasumber di Workshop Penelusuran Sejarah Lokal, Kabupaten Klaten. Pertanyaan yang wajar mengingat dalam pelajaran sejarah selalu ada penjelasan bahwa pada tahun 1830-1870 adalah masa penerapan kebijakan Tanam Paksa.
ADVERTISEMENT
Kebijakan yang muncul untuk menutup kerugian Belanda akibat adanya Perang Jawa (1825 – 1830). Sistem ini disebut diinisiasi oleh Van De Bosch, Gubernur Jenderal yang bertugas pada periode tersebut.
Keberadaan narasi ini menyebabkan setiap siswa dan (mantan) siswa di Indonesia, akan meyakini bahwa kebijakan tanam paksa berlaku di seluruh Nusantara. Kebijakan ini faktanya hanya berlaku di Jawa, dengan pengecualian Vorstenlanden dan beberapa daerah lainnya.
Sewa Tanah di Vorstenlanden
Vorstenlanden adalah sebutan untuk sejumlah wilayah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan di daerah Jawa Tengah. Wilayah tersebut berada di Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran dan Pakualaman. Pada tulisan ini, Vorstenlanden lebih menitikberatkan pada Yogyakarta dan Surakarta.
Sewa tanah kepada orang Eropa telah dimulai jauh sebelum perang Jawa meletus. Tepatnya sejak tahun 1816. Vincent J.H. Houben dalam bukunya Keraton dan Kompeni Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870 menyebutkan jika sudah sejak lama penguasa dan para aristokrat Jawa menyewakan tanah kepada orang-orang Eropa dan Cina.
ADVERTISEMENT
Orang-orang Eropa menyewa berhektar-hektar tanah yang subur untuk jangka waktu yang panjang. Mereka menanaminya dengan tanaman-tanaman komersial. Mereka kemudian membuka perkebunan. Salah satu tokoh Belanda yang sangat mendukung sewa tanah adalah Residen Yogya Nahuys van Burgst (menjabat 1816 - 1822). Salah satu alasan dukungan tersebut karena Nahuys adalah salah satu penyewa tanah.
Kebijakan sewa tanah ini juga sempat mendapat tentangan dari sejumlah pihak, khususnya pemerintah Hindia Belanda sendiri. Salah satunya adalah H. van de Graaf, Inspektur Kepala untuk Urusan Keuangan. Perbedaan pendapat tentang sewa tanah antara Nahuys dan de Graaf kerap terjadi. Akhirnya pada 1822, pemerintah Hindia Belanda untuk sementara memutuskan bahwa tidak akan ada lagi penyewaan tanah di kedua kerajaan tanpa izin sebelumnya dari pemerintah.
ADVERTISEMENT
Kala itu pemerintah beralasan bahwa kebebasan raja-raja Jawa menyewakan tanah mereka bisa menjadikan kerajaan berakhir di tangan swasta. Ini adalah hal yang tidak diinginkan pemerintah Belanda. Meski, pendapatan dari menyewakan tanah memang dapat meningkatkan kekuasaan dan kekuatan raja-raja tersebut.
Pemerintah Hindia Belanda juga mengkhawatirkan rakyat. Upaya para pengusaha perkebunan untuk meraup keuntungan dikhawatirkan dapat merusak kemakmuran rakyat.
Mengapa penyewaan tanah di kedua wilayah tersebut begitu populer? Sebab keuntungan yang diperoleh pemilik lahan — yang notabene adalah para birokrat dan pejabat tinggi di lingkungan kerajaan — cukup besar nilainya. Keuntungan tersebut adalah daya tarik yang luar biasa bagi mereka. Sementara para penyewa lahan / pemilik perkebunan juga mendapat keuntungan yang luar biasa dari hasil perkebunan.
ADVERTISEMENT
Sistem sewa tanah ini kembali berlaku di Vorstenlanden pada 17 Mei 1827. Keputusan ini ditetapkan oleh Komisaris Jenderal (commisaris-general) P.J. du Bus de Gisignies. Gisignies menekankan kewajiban dari para penyewa lahan untuk menghormati lembaga-lembaga Jawa.
Kebijakan Tanam Paksa di Pulau Jawa
Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo dalam buku Sejarah Perkebunan di Indonesia : Kajian Sosial Ekonomi menuliskan bahwa kebijakan Tanam Paksa di Pulau Jawa dilaksanakan di daerah yang berada langsung di bawah pemerintahan administratif pemerintah Hindia Belanda yang disebut dengan daerah gubernemen. Daerah gubernemen tersebut mencakup 18 karesidenan, yaitu Banten, Priangan, Kerawang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara, Rembang, Surabaya, Pasuruan, Besuki, Pacitan, Kedu, Bagelen, Banyumas, Madiun, dan Kediri.
Tanam paksa tidak berlaku di Batavia (Jakarta), Bogor, dan daerah tanah partikelir (Partikuliere Landerijen). Kebijakan tanam paksa ini juga tidak berlaku di Vorstenlanden (Surakarta dan Yogyakarta). Di Vorstenlanden, sesuai penjelasan di atas, sewa tanah telah berlangsung sebelum tanam paksa diterapkan.
ADVERTISEMENT
Sewa tanah sebenarnya memiliki kemiripan dengan tanam paksa. Keduanya sama-sama menitikberatkan pada penanaman tanaman komersil. Misalnya kopi, tembakau, indigo dan tebu. Tanaman tersebut memang laris di pasar masa itu.
Perbedaannya hanya kepada siapa keuntungan kedua kebijakan tersebut diberikan. Jika tanam paksa, keuntungan disetorkan kepada pemerintah. Maka keuntungan dari sewa tanah / perkebunan diperoleh penyewa lahan atau pemilik perkebunan. Biasanya mereka adalah pihak swasta.