Mengenal Sejarah Hari Purbakala

Shinta Dwi Prasasti
Penyuka Sejarah, Arkeologi dan Heritage, bekerja di Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X
Konten dari Pengguna
14 Juni 2022 13:34 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shinta Dwi Prasasti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Candi Prambanan, cagar budaya nasional yang telah menjadi warisan budaya dunia. Dokumen Kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Candi Prambanan, cagar budaya nasional yang telah menjadi warisan budaya dunia. Dokumen Kumparan.
ADVERTISEMENT
Tanggal 14 Juni selama ini diperingati sebagai hari Purbakala. Peringatan Hari Purbakala secara nasional dilakukan untuk menandai upaya pelestarian dari peninggalan purbakala yang ada di Indonesia. Peninggalan purbakala di Indonesia berasal dari berbagai periode, dari masa klasik hingga masa kolonial.
ADVERTISEMENT
Penyebutan peninggalan purbakala saat ini adalah warisan dan cagar budaya. Definisi cagar budaya menurut Undang-undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Sementara kategori tinggalan purbakala yang belum terdaftar sebagai cagar budaya juga mendapat perlakuan yang sama di mata hukum. Mereka disebut sebagai Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB). Penjelasan ini dimuat dalam Undang-undang.
Upaya eksplorasi Cagar Budaya di Indonesia telah dimulai sejak masa kekuasaan VOC, Inggris maupun oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada masa VOC, eksplorasi pada tinggalan arkeologi hanya dilakukan sebagai hobi. Mereka yang melakukan tindakan ini adalah para kolektor Eropa
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1778 didirikan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW). Lembaga ini didirikan oleh para peminat seni dan ilmuwan. Lembaga ini juga yang memelopori eksplorasi dan sejumlah upaya pelestarian pada tinggalan purbakala.
Peninggalan Purbakala pada masa kekuasaan Inggris
Pada masa kekuasaan Inggris (1811 – 1816), peninggalan purbakala juga mendapat perhatian dari pemerintah. Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Hindia Belanda yang mewakili Inggris di Jawa, melakukan sejumlah eksplorasi dan pemeliharaan pada peninggalan-peninggalan purbakala yang ada di Hindia Belanda pada masa itu. Salah satunya adalah eksplorasi pada Candi Prambanan dan sejumlah candi yang ada di Yogyakarta, Jawa Tengah maupun Jawa Timur.
Kunjungan Sultan Hamengku Buwono III ke kompleks Candi Prambanan dan Sewu pada Desember 1812 atas undangan Raffles yang diwakili oleh John Crawfurd, residen Yogya adalah salah satu buktinya. Kunjungan ini tertuang dalam Babad Bedhahing Kutha Yogyakarta karya Bendoro Pangeran Aryo Panular. Babad ini menjadi sumber utama dalam buku Peter Carey yang berjudul Inggris di Jawa.
ADVERTISEMENT
Pada masa ini pula, Raffles melibatkan sejumlah priyayi Jawa untuk penyusunan buku tentang sejarah Jawa. Karya ini kemudian diterbitkan pada tahun 1817, yaitu History of Java. Buku ini salah satunya memuat deskripsi tentang sejumlah peninggalan purbakala di Jawa. Karya ini menunjukkan bahwa pemerintahan Inggris lebih efektif dan efisien dalam menyingkap tabir sejarah Jawa pada masa itu, jika dibanding dengan pemerintahan VOC.
Pelestarian Peninggalan Purbakala pada masa Hindia Belanda
Pada masa Hindia Belanda, catatan tentang tinggalan purbakala banyak ditulis secara mandiri. Pada awal abad 19, organisasi yang khusus berkaitan dengan peninggalan purbakala belum ada. Beberapa orang Belanda melalukan perjalanan dan pencatatan secara mandiri. Salah satunya adalah J.F.G Brumund seorang pendeta yang kerap kali melakukan perjalanan keliling di sejumlah daerah. Brumund dikenal lewat Indiana. Verzameling van stukken van onderscheiden aard, over Landen, Volken, Oudheden en Geschiedenis van den Indischen Archipel. Buku ini terdiri atas dua jilid. Keduanya memuat sejumlah tulisan terkait sejumlah tinggalan Purbakala dan Sejarah di Kepulauan Hindia.
ADVERTISEMENT
Pada pertengahan tahun 1885, sebuah perkumpulan arkeologi didirikan di Yogyakarta. Perkumpulan ini bertujuan mengumpulkan data untuk kepentingan studi arkeologi di Jawa Tengah. Ketua perkumpulan ini adalah J.W. Ijzerman. Karya J.W. Ijzerman yaitu Beschrijving der Oudheden nabij de grens der residenties Soerakarta en Djogdjakarta (1891) memberikan informasi berharga terkait sebaran temuan arkeologi di kawasan Prambanan dan sekitarnya.
Pada tahun 1901, pemerintah Hindia Belanda membentuk Commissie in Nederlandsch-Indie voor oudheidkundig onderzoek op Java en Madoera dengan ketuanya epigraf Jan Laurens Andries Brandes (1857 – 1905). Sepeninggal J.L.A. Brandes, Komisi ini sempat berjalan tanpa pimpinan selama lima tahun.
Baru pada 1910, kepemimpinanya diambil alih oleh guru besar Leiden, Nicolaas Johannes Krom. Pengambilalihan ini sekaligus bentuk persiapan sebuah dinas resmi untuk melaksanakan tugas-tugas arkeologi. Saat itu N.J. Krom membuat sejumlah argumentasi tentang pentingnya keberadaan sebuah dinas resmi untuk tugas-tugas arkeologi.
ADVERTISEMENT
Argumentasi Krom ini diterima oleh pemerintah. Mereka kemudian menyediakan anggaran bagi sebuah dinas urusan kepurbakalaan. Dinas ini ada di bawah Departemen Urusan Agama dan Pendidikan. Berdasarkan Staatsblad van Nederlandsch-Indie tahun 1913 No. 407, Jawatan Purbakala Kolonial (Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie) didirikan pada 14 Juni 1913. N.J Krom diangkat mengepalai Jawatan tersebut. Wilayahnya bukan lagi Jawa dan Madura tetapi juga seluruh wilayah Hindia Belanda.
N.J. Krom kemudian kembali ke Belanda. Posisinya di Jawatan Purbakala digantikan oleh Dr. F.D.K. Bosch. Setelah itu ketua dari lembaga ini adalah Dr. W.F. Stutterheim.
Pelestarian Peninggalan Purbakala pada pasca kemerdekaan
Pada masa Jepang, kegiatan dari Jawatan Purbakala ini tidak menghasilkan usaha yang berarti. Selepas penguasaaan Jepang, Pemerintah Belanda berusaha mengembalikan peran Oudheidkundige Dienst. Kepala Jawatan Purbakala pada 1947 adalah Prof. Dr. A.J. Bernet Kempers. Pada tahun 1951, Jawatan Purbakala menjadi Dinas Purbakala.
ADVERTISEMENT
Baru pada tahun 1953, Dinas Purbakala dipimpin oleh orang Indonesia yaitu R. Soekmono. Dinas Purbakala ini kemudian berubah menjadi menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN). Pada masa ini, Lembaga Purbakala masih mengerjakan dua fungsi yaitu pelestarian peninggalan purbakala dan penelitian arkeologi.
Pada perkembangan selanjutnya, fungsi pelestarian dijalankan Direktorat Sejarah dan Purbakala. Sementara fungsi penelitian berada di Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (P4N). Kedua lembaga ini sempat berganti nama beberapa kali. Kedua lembaga ini juga memiliki sejumlah Unit Pelaksana Teknis (UPT) di sejumlah provinsi. UPT juga mengalami pergantian nama beberapa kali hingga sekarang dikenal sebagai Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB). Sementara fungsi penelitian di provinsi dijalankan oleh Balai Arkeologi (Balar).
ADVERTISEMENT
Di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, pada tahun 2022 ini juga terdapat sejumlah kebijakan. Salah satunya adalah penggabungan organisasi pelestarian cagar budaya (tangible) yang biasa dilakukan BPCB dengan organisasi pelestarian budaya tak benda (intangible) oleh BPNB (Balai Pelestarian Nilai Budaya). Sementara pekerjaan penelitian arkeologi berada di bawah kendali BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Semoga kebijakan tersebut bisa memperkuat pelestarian kebudayaan di Indonesia. Selamat Hari Purbakala ke-109.