Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengungkap Misteri Candi Dieng: Jejak Bersejarah Masa Mataram Kuno
1 Mei 2024 10:57 WIB
·
waktu baca 4 menitDiperbarui 5 Agustus 2024 8:54 WIB
Tulisan dari Shinta Dwi Prasasti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dieng, sebuah nama daerah pegunungan yang memiliki sejumlah peninggalan purbakala. Kunjungan pertama saya baru dimulai pada tahun 2013, beberapa saat setelah menikah. Pada saat itu, saya hanya berkunjung ke rumah saudara. Belum sempat mengunjungi situs candinya.
ADVERTISEMENT
Kunjungan ke candinya baru dilakukan sekitar tahun 2018 an. Kunjungan pertama adalah kompleks Candi Arjuna saja. Kunjungan ke candi selanjutnya dilakukan pada tahun 2022. Selain candi tersebut, saya juga berkunjung ke candi Setyaki dan kompleks museum Kailasa.
Kala itu, saya pribadi belum banyak mencari data tentang candi ini. Baru di tahun 2024 ini secara kebetulan saya kebagian tugas ke Candi Dieng. Tepatnya tugas BPK (Balai Pelestarian Kebudayaan) Mengajar. Sebuah tugas yang memancing keingintahuan saya untuk mengeksplorasi data tentang Candi Dieng. Berikut sejumlah fakta tentang candi Dieng.
1. Merupakan salah satu peninggalan dari masa Mataram Kuno yang tertua
Pendapat bahwa bangunan candi Dieng berasal dari masa Mataram Kuno ini berdasarkan gaya bangunan yang ada pada candi tersebut. Candi Bima, yang letaknya tidak jauh dari kawah Sikidang, merupakan bangunan candi tertua. Pendapat ini telah muncul sejak awal dari penemuan. Catatan dari Raffles maupun N.J Krom senantiasa setia pada pendapat ini.
ADVERTISEMENT
Asumsi ini muncul berdasarkan bentuk atap dari candi Bima. Laman kemdikbud.go.id, menyebut jika atap dari candi ini memadukan gaya dari India Utara dan Selatan. Gaya India Utara dilihat dari Menara tinggi (sikhara), sementara gaya India Selatan ditunjukkan dengan adanya menara-menara di bagian sudut dan relung berbentuk tapal kuda. Relung tersebut dihias dengan arca kudu. Penggabungan gaya tersebut hanya dijumpai pada candi ini saja.
Sementara tentang siapa raja yang membangunnya juga belum diketahui data pastinya. Hal ini karena belum ada data pasti yang menyebutnya.
2. Ditemukan dalam keadaan runtuh dan sebagian terpendam
Kondisi sejumlah candi di Dieng saat ditemukan tentu berbeda dengan kondisi saat ini. Saat ditemukan beberapa candi sudah dalam keadaan runtuh. Bahkan ada ada beberapa candi lagi yang sudah hilang jejaknya. Hal ini lumrah terjadi pada semua candi yang ada di pulau Jawa. Salah satu penyebabnya adalah karena mereka ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya.
ADVERTISEMENT
Sepeninggal masyarakat pendukung dan penggunanya candi, daerah sekitar candi kemudian dihuni masyarakat baru, yang tidak tahu menahu tentang candi. Mereka turut andil dalam “menghilangkan” candi, dengan cara memanfaatkan batu-batu reruntuhan candi untuk bangunan rumah.
Sementara, masyarakat Eropa pada abad 19 juga ikut serta mendukung “hilangnya” candi. Mereka terbiasa memindahkan arca atau sejumlah temuan ke daerah lain maupun menggunakan batu candi untuk pembangunan gedung, jembatan, jalan dan bangunan lainnya. Fakta ini telah banyak diungkap dalam tulisan J.F.G. Brumund maupun Ijzerman pada abad 19.
3. Merupakan candi untuk agama Hindu
Seluruh candi-candi yang ada di Dieng memiliki latar agama Hindu. Meski ada sebutan Ondo Budho, deretan anak tangga yang juga menjadi salah satu peninggalan purbakala. Istilah Budho di kalangan masyarakat Jawa bukanlah merujuk pada agama Buddha saja, tetapi pada agama yang dianut nenek moyang yaitu Hindu - Buddha. Berarti, ini juga termasuk agama Hindu yang sempat dianut masyarakat pembangun candi Dieng.
ADVERTISEMENT
4. Dicatat kembali pada abad 19
Catatan tertulis tertua yang menyebutkan kembali candi ini adalah laporan dari Mayor H.C. Cornelius (1774-1833), seorang insinyur militer Belanda dan Kapten Godfrey Phipps Baker (1786-1850, Perwira Infanteri Ringan Benggala ke-7). Keduanya merupakan utusan dari Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Mereka bertugas di waktu yang berbeda. Cornelius berkunjung lebih awal ke Dieng, yaitu pada 1814, sementara Baker pada 1815. Menariknya laporan Baker lah yang dirujuk Raffles dalam bukunya The History of Java.
Sementara laporan dari Cornelius digunakan lebih kemudian oleh para peneliti Belanda, seperti N.J.Krom. Alasannya, laporan Cornelius lebih detail daripada Baker.
5. Berbahan batu kali
Bahan dari bangunan candi ini adalah batu kali. Ini menyesuaikan dengan ketersediaan bahan. Di sekitar daerah tersebut. Meskipun sama-sama andesit, namun ukurannya berbeda dengan batu yang digunakan di candi lain, misalnya candi Prambanan.
ADVERTISEMENT
Semoga fakta-fakta di atas bisa membuat teman-teman lebih mengetahui tentang candi Dieng. Salam Budaya.