5 Fakta Perbedaan Pemilu di Indonesia dan Amerika Serikat

Prayoga Limantara
Diplomat Indonesia pernah ditempatkan di KBRI Washington, DC. Saat ini tengah menempuh diklat Sesdilu 4.0.
Konten dari Pengguna
2 Juli 2018 6:18 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Prayoga Limantara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di Indonesia baru saja rampung. Dari 171 daerah yang menyelenggarakan Pilkada, hampir seluruhnya berjalan lancar. Suksesnya penyelenggaraan Pilkada semakin meningkatkan citra Indonesia di kancah dunia.
ADVERTISEMENT
Dalam urusan Pemilu, bangsa Indonesia boleh berbangga diri. Pelaksanaan pemilu di Indonesia bisa dibilang tidak kalah canggih dengan negara pionir demokrasi terbesar di dunia, Amerika Serikat.
Namun, ada sejumlah hal yang membedakan terkait dengan pelaksanaan Pemilu di Indonesia dan Amerika. Berikut adalah fakta-faktanya.
1. Sistem Pemilihan
Donald Trump (Foto: EK)
Mirip dengan Indonesia, mayoritas pemimpin dan wakil rakyat di Amerika dipilih secara langsung. Di negeri Paman Sam ini, suara yang masuk dihitung secara proposional. Artinya, jumlah suara yang diperoleh calon berbanding lurus dengan jumlah warga yang memilihnya.
Namun, hal ini tidak berlaku untuk Pemilihan Presiden.
Dalam pelaksanaan Pilpres, Amerika masih menggunakan sistem Dewan Pemilih (Electoral College). Alih-alih memilih pasangan capres/cawapres secara langsung, warga negara Amerika diminta memilih sejumlah Dewan Pemilih yang dicalonkan oleh Partai.
ADVERTISEMENT
Dewan Pemilih yang berjumlah 538 orang itulah yang nantinya akan menentukan siapa Presiden terpilih. Guna memudahkan pemilih, biasanya masing-masing anggota Dewan telah terlebih dahulu mendeklarasikan capres pilihannya.
Celakanya, ada banyak kasus di mana Dewan Pemilih melanggar sumpahnya. Mereka mengkhianati kepercayaan pemilih, dan tidak memilih calon yang mereka janjikan.
Sistem Dewan Pemilih ini semakin diperumit dengan adanya mekanisme penghitungan suara secara sapu bersih (Winner Takes All). Artinya, Partai yang memenangkan mayoritas suara akan menyapu bersih seluruh kursi Dewan Pemilih yang diperebutkan di negara bagian tersebut. Hal ini berlaku tanpa kecuali, meskipun selisih perolehan suaranya sangat tipis.
Sistem Dewan Pemilih dan mekanisme penghitungan sapu bersih suara ini telah mengantarkan Donald Trump terpilih menjadi Presiden ke-45 Amerika di tahun 2016.
ADVERTISEMENT
Pada saat itu, Trump memenangkan pemilihan setelah mengamankan 62,9 juta suara yang bernilai 306 kursi Dewan Pemilih. Perolehan suara Trump ini sebenarnya masih lebih sedikit ketimbang lawannya Hillary Clinton yang memperoleh 65,8 juta suara.
Namun, karena nilai suara Hillary tersebut hanya menghasilkan 232 kursi Dewan Pemilih, maka Trump lah yang berhak melenggang ke Gedung Putih.
(Meski peroleh suara lebih sedikit, Donald Trump menang dalam Pemilu AS 2016. Foto: Wikimedia)
2. Waktu Pemilihan
Ilustrasi Presidential Election 2016 (Foto: Pixabay)
Seperti di Indonesia, pemilu di Amerika dilaksanakan serentak. Dalam setiap pemilihan, warga negara Amerika memilih pemimpin dan wakil mereka di tingkat distrik, negara bagian, dan di tingkat pusat (federal).
Bedanya, pemilihan di Amerika diselenggarakan setiap empat tahun sekali, yaitu pada hari Selasa pada minggu kedua di bulan November.
ADVERTISEMENT
Yang unik, pemilihan anggota Senat (DPD) di Amerika tidak dilakukan secara bersamaan. Anggota Senat dipilih dalam 3 gelombang melalui Pemilu yang digelar setiap 2 tahun sekali. Dengan demikian, kinerja anggota Senat tidak akan terganggu meski memasuki tahun pemilu. Dalam setiap siklus, hanya 1/3 anggota Senat yang harus bertarung dalam pemilihan.
3. Partisipasi Pemilih
Election (Foto: pixabay)
Meski tercatat sebagai salah satu negara demokrasi tertua dan terbesar di dunia, tingkat partisipasi pemilih di Amerika tergolong rendah.
Pada tahun 2016, jumlah pemilih yang mengikuti pemilu hanya 59,7%. Bandingkan dengan Indonesia yang pada pilkada serentak 2018 lalu diikuti oleh 73,2% pemilih.
4. Penyelenggara dan Teknologi Pemilihan
US Federal Election Commission (Foto: Wikimedia commons)
Sebagai negara Federal, pemilu di Amerika diselenggarakan oleh Pemerintah Negara Bagian. Fungsi KPU di Amerika, hanya sebatas memastikan bahwa pendanaan kampanye dilakukan secara jujur dan transparan.
ADVERTISEMENT
Setiap negara bagian menyediakan fasilitas teknologi pemilihan yang beragam. Beberapa negara bagian menyedikan alternatif pemilihan melalui pos. Pemilih tidak harus datang langsung ke TPS dan dapat menyampaikan aspirasinya melalui surat.
Ada beberapa TPS yang sudah menggunakan mesin pemilihan elektronik. Untuk menghindari gangguan dan serangan siber, sistem penghitungan antara TPS yang satu dan lainnya tidak terhubung melalui jaringan.
Selain elektronik, ada juga TPS yang masih menggunakan kertas pemilihan manual. Karena calon yang harus dipilih dalam setiap pemilihan banyak, ukuran kertas pemilihan yang digunakan sangat besar, hampir sebesar koran.
5. Kampanye Negatif dan Hoaks
Ilustrasi kampanye hitam (Foto: thinkstock)
Di Amerika, kampanye negatif yang menyerang dan menjatuhkan calon lawan masih diperbolehkan oleh Undang-Undang. Batasannya, materi kampanye tidak menjurus SARA, dan tidak mengandung unsur pembohongan publik.
ADVERTISEMENT
Selama masa kampanye 2016 lalu, masyarakat Amerika heboh. Jumlah kampanye negatif meningkat drastis. Mayoritas adalah berita bohong (hoaks). Usut punya usut, ternyata ada campur tangan negara lain.
Menurut FBI, ada keterlibatan agen mata-mata Rusia. Tidak hanya menyebarkan hoaks, Rusia juga dituduh meng-hack sejumlah situs penting terkait Pemilu di Amerika.
Bagaimana, lebih canggih Pemilu di Indonesia atau di Amerika?