Diplomasi dan Praktik Spionase

Prayoga Limantara
Diplomat Indonesia pernah ditempatkan di KBRI Washington, DC. Saat ini tengah menempuh diklat Sesdilu 4.0.
Konten dari Pengguna
24 Agustus 2018 16:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Prayoga Limantara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam hubungan antar bangsa, praktik spionase bukan sekedar dongeng pengantar tidur. Meski jarang melibatkan aksi akrobatik ala James Bond, praktik intelijen dan kontra-intelijen adalah hal yang lumrah ditemui dalam dunia diplomasi.
ADVERTISEMENT
Bulan separuh tegak berdiri di atas langit Washington, DC. Cahayanya remang menyinari deretan gedung tua di sepanjang jalan Massachusetts. Di pojok sebuah bangunan, sinar putih lampu pijar menyeruak keluar jendela.
Di balik jendela itu, sekitar 20-an orang pria dan wanita berstelan lengkap sibuk rapat. Di tengah kekhidmatan pertemuan, telepon genggam salah satu peserta berbunyi. Ia mendapat panggilan masuk dari pimpinan rapat. Padahal telepon seluler si pemanggil sedang dalam keadaan tidak aktif karena kehabisan batere. Seisi ruangan geger.
Ilustrasi di atas bukanlah penggalan dari cerita horor. Panggilan misterius itu terjadi karena adanya intervensi teknologi. Dalam kasus ini, diduga kuat bahwa ada pihak asing yang berusaha melakukan penyadapan pada saat pertemuan dengan menggunakan media telepon seluler.
ADVERTISEMENT
Diplomat-Intelijen
Sebagai peranti negara, seorang diplomat dituntut untuk memiliki kepekaan intelijen. Bagaimanapun, reporting atau kegiatan mengumpulkan informasi di wilayah akreditasi, merupakan salah satu dari tugas penting seorang diplomat.
Proses pengumpulan informasi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari mengutip sumber terbuka, mengorek keterangan dari pejabat-pejabat kunci, hingga melakukan aksi mengendap-endap ala agen rahasia.
(Seorang diplomat harus selalu jeli mengumpulkan informasi. Sumber: freepik.com)
Informasi yang dikumpulkan pun beragam. Mulai dari tren politik suatu negara, kondisi perekonomian, hingga proyeksi kebijakan luar negeri negara setempat. Jika perlu, seorang diplomat juga dituntut tahu mengenai kasak kusuk gosip dalam kabinet pemerintahan negara penempatan.
Di saat bersamaan, seorang diplomat juga rentan menjadi target operasi intelijen. Dalam hal ini, langkah-langkah preventif rutin dilakukan. Perwakilan asing yang baik akan rutin melakukan penyisiran berkala pada fasilitas perkantoran kedutaan maupun menggunakan penggunaan teknologi panggilan dan penyampaian pesan yang terenkripsi. Sementara bagi masing-masing individu diplomat, harus senantiasa meningkatkan kewaspadaan, misalnya dengan mengambil rute yang berbeda saat berangkat dan pulang kantor.
ADVERTISEMENT
Intelijen-Diplomat
Untuk tugas-tugas intelijen yang lebih spesifik, suatu negara biasanya akan mengirim agen mata-mata terlatih, baik secara tertutup maupun terbuka.
Di era informasi dan saling ketergantungan ini, penugasan misi intelijen secara terbuka biasanya dilakukan melalui fungsi diplomatik. Dalam hal ini, tidak sedikit negara asing yang menempatkan agen mata-mata berkedok sebagai diplomat di kedutaan. Di lain pihak, negara tuan rumah juga umumnya telah mengetahui keberadaan agen-agen intelijen asing 'resmi' tersebut.
(Ilustrasi intelijen diplomat. Sumber: freepik.com)
Penugasan seorang agen rahasia sebagai seorang diplomat di perwakilan semacam ini memiliki kerugian dan keuntungan tersendiri.
Kerugian utamanya tentu saja dari aspek keleluasaan gerak. Sebagai diplomat yang resmi terdaftar, gerak-gerik agen rahasia tersebut akan lebih mudah terpantau. Jika demikian, maka efektivitas pelaksanaan tugas akan sangat tergantung pada keahlian sang agen. Aktivitas intelijen harus dikemas dalam bentuk kegiatan yang tidak mengundang kecurigaan pemerintah dan masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, seorang agen intelijen-diplomat akan dapat dengan mudah menjalin kerja sama formal dengan pemerintah dan badan intelijen setempat. Dalam banyak kasus, kerja sama antar badan intelijen asing dapat saling menguntungkan, terutama saat menghadapi ancaman bersama.
Sebagai diplomat, agen tersebut secara otomatis juga akan memiliki kekebalan diplomatik. Agen yang baik tentunya harus mampu memaksimalkan keistimewaan ini dalam menjalankan tugas utama mereka. Dalam hal ini, mereka harus pandai bermain di ranah abu-abu yang terselip dalam Konvensi Wina, yaitu antara hak memiliki kekebalan diplomatik dengan kewajiban menghormati hukum setempat. Setidaknya jika operasi mereka ketahuan, maka resiko terburuk yang dapat diterima hanyalah sebatas pengungkapan identitas dan pengusiran.
Peristiwa Nyata
Di kancah dunia, peristiwa ini setidaknya sudah dua kali terjadi dalam enam bulan terakhir.
ADVERTISEMENT
Pada bulan Desember tahun lalu, Gedung Putih mengumumkan persona non-grata, atau pengusiran terhadap 35 orang diplomat Rusia di Washington, DC. Presiden Obama saat itu jengkel dengan intervensi Rusia dalam proses pemilihan presiden di tahun 2016. Untungnya insiden yang sempat membuat heboh publik di Amerika Serikat ini tidak menciptakan krisis yang lebih besar.
(Gedung Kedutaan Besar Rusia di Washington, DC. Sumber: wikimedia)
Kejadian serupa juga terjadi di bulan Maret. Lebih dari 20 negara melakukan pengusiran terhadap diplomat Rusia. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk protes atas dugaan keterlibatan Moskow dalam peristiwa terbunuhnya mantan agen rahasia Rusia di Inggris.
Bisa ditebak, mereka yang diusir adalah agen intelijen Kremlin yang menyamar sebagai diplomat.
Kolusi antara dunia diplomatik dan intelijen memang selalu menarik. Lihat saja, pasti sebentar lagi cerita ini akan diangkat oleh Hollywood ke layar lebar.
ADVERTISEMENT
--o0o--