Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Digital Transformation Bukan Sekadar IT Apalagi Website
7 November 2017 15:40 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
Tulisan dari Prayudi Newoto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Siang ini saya kembali mendengarkan keluh-kesah seorang direktur perusahaan besar di industri finansial yang menjadi klien saya. Dia bilang, perusahaannya telah menggelontorkan begitu banyak dana untuk menjalankan digital transformation (dengan konsultan sebelumnya). Tapi apa lacur, bukannya dampak positif yang diterima, malah hasilnya "gak keru-keruan." Boro-boro lonjakan profit, rasanya operasional perusahaan malah semakin semrawut. Istilah dia, "Awut-awutan macam kepalaku dulu waktu masih ada rambutnya."
ADVERTISEMENT
Mendengar keluh-kesah tersebut saya hanya bisa tersenyum. Soalnya terus terang saja, saya belum pernah mengalami masalah kerontokan rambut separah itu. Tapi soal digital transformation perusahaannya yang seolah tak berdampak, saya tentu bisa kasih insight. Toh, saya dan tim dibayar untuk itu.
Sebagai konsultannya, saya menunjuk beberapa poin kritis yang menjadi titik lemah dari digital transformation yang dijalankan perusahaan tersebut. Sebagian di antaranya adalah:
1. Perusahaan, wabil khusus orang-orang yang terlibat intens dalam transformasi tersebut (termasuk konsultannya yang terdahulu) cenderung memandang bahwa digital transformation melulu merupakan masalah IT, teknologi tok, bahkan sekadar "migrasi ke website." Padahal digital transformation sejatinya harus menciptakan value. Dan untuk bisa begitu, digital transformation meniscayakan perubahan atau modifikasi dalam banyak hal, termasuk model bisnis, proses, budaya, SDM, dan lain sebagainya. Jangan sampai, misalnya, sebuah perusahaan asuransi menawarkan fasilitas pengajuan klaim online tapi begitu diajukan, proses klaim malah makin panjang/lama, merepotkan dan menciptakan ketidakpastian.
ADVERTISEMENT
2. Manajemen puncak secara keliru menganggap bahwa digital transformation adalah "proyek ad-hoc" yang ada ujung alias akhirnya. Padahal digital transformation merupakan proses berkelanjutan yang mewajibkan perusahaan memiliki kelincahan serta kelenturan yang memadai sekaligus terus-menerus dalam menghadapi (baca: memanfaatkan) perubahan. Tidak ada yang tahu ujungnya. So when you say it's over, YOU'RE OVER.
3. Terkait dengan poin 2, perusahaan mestinya belajar untuk mandiri setelah masa "kontrak" konsultan digital transformation-nya yg terdahulu berakhir.
Hal-hal lain terlalu spesifik dan kurang etis jika dibeberkan di muka umum.
Yah, demikianlah. Walaupun menjadi berkah bagi saya dan tim karena "kelimpahan proyek," miris juga mengetahui bahwa uang sebegitu banyak terbuang nyaris percuma hanya karena pemahaman yang salah ihwal digital transformation.
ADVERTISEMENT
***
Penulis adalah Senior Consultant di Organization Transformation International (OTI). Email: [email protected]