Konten dari Pengguna

PMKH Merendahkan Profesi Kehakiman

Previn Mohammad Alexander
Kader Klinik Etik dan Advokasi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
8 Agustus 2022 17:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Previn Mohammad Alexander tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Unsplash.com
ADVERTISEMENT
Ketika mendengar kata “hakim” kira-kira apa yang terpikirkan di pikiran teman-teman? Apakah kata itu sekiranya menggambarkan seorang pria paruh baya dengan dandanan yang rapi menggunakan toga dan selalu memegang palu? Apakah teman-teman barangkali membayangkan seorang manusia yang seakan-akan setengah dewa. Sebuah perpanjangan tangan dari Tuhan sendiri untuk membawakan keadilan-Nya di muka bumi ini?
ADVERTISEMENT
Saya rasa wajar jika teman-teman pembaca berpikir demikian. Karena, tak dapat disangkal juga bahwa hakim sendiri merupakan profesi yang memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Saking besarnya hingga hidup dan matinya seseorang pun bisa ia perpanjang, atau akhiri dengan sebuah ketukan palu yang ada ditangannya.
Namun sering kali kebenaran itu ternyata lebih sederhana daripada yang terlihat. Sama halnya seperti profesi yang lain seorang hakim sendiri pada dasarnya adalah seseorang yang hanya menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku mengenai profesinya. Sesuai dengan definisi hakim pengadilan sendiri di dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum "Hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas Kekuasaan kehakiman."
ADVERTISEMENT
Tugas itu pun diatur di dalam Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sehingga, dapat dipastikan bahwa dalam membuat sebuah putusan seorang Hakim selalu memiliki pertimbangan yang terus ia pikirkan. Tidak hanya pertimbangan dari aspek hukum dan rasa keadilan namun juga dari peraturan dan ketentuan mengenai tugasnya sebagai seorang Hakim.
Sekiranya dapat dikatakan bahwa mereka memiliki alasan yang jelas dalam memutuskan suatu putusan. Karenanya, di setiap putusan pengadilan selalu diawali dengan “Demi Keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.” Namun, sayangnya keadilan itu sendiri bersifat relatif. Di dalam sebuah sengketa, pihak yang menang tentu akan merasa bahwa putusan itu adil. Sementara, yang kalah akan merasa bahwa putusan itu tidak adil.
ADVERTISEMENT
Dari rasa ketidakadilan tersebut tak jarang juga masyarakat yang mengamuk. mungkin “mengamuk” merupakan kata yang terlalu kuat tetapi yang pasti tidak jarang kita menemui masyarakat yang menyalurkan amarah mereka terhadap putusan yang “tidak adil” tersebut kepada hakim dan lembaga peradilan itu sendiri. Dan, tindakan-tindakan yang mereka lakukan itu sering kali jatuh kepada kategori PMKH.

Apa itu PMKH? Contoh Kasus dan Risiko Hukumnya

PMKH itu sendiri seperti namanya (Perbuatan Merendahkan Kehormatan Hakim) adalah Perbuatan merendahkan kehormatan dan Keluhuran martabat Hakim. Secara hukum ia didefinisikan oleh Peraturan Komisi Yudisial Nomor 8 Tahun 2012 tentang Advokasi Hakim di dalam Pasal 1 ayat (2) yang menjelaskan bahwa "Perbuatan merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim adalah perbuatan Orang perseorangan, kelompok orang atau Badan hukum yang mengganggu proses Pengadilan atau Hakim dalam memeriksa, Mengadili, memutus perkara, mengancam Keamanan Hakim di dalam maupun di luar Persidangan, menghina Hakim dan pengadilan."
ADVERTISEMENT
Perbuatan PMKH sendiri datang dalam berbagai bentuk, baik verbal secara tatap muka, secara virtual di media sosial dan bahkan secara fisik yang bisa membahayakan diri sang Hakim. Dilansir dari situs web Komisi Yudisial RI komisiyudisial.go.id. Pada Tahun 2021 saja Komisi Yudisial Republik Indonesia Sudah Menangani sebanyak 13 Peristiwa terduga PMKH.
Adapun sebuah contoh PMKH yang dapat penulis paparkan di sini adalah kasus pemukulan hakim yang terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dilansir dari situs berita CNN Indonesia ada seorang pengacara menggunakan ikat pinggangnya untuk menyerang seorang Hakim di Pengadilan (“Kasus Pemukulan Hakim, Polisi Tahan Pengacara Tomy Winata,” 2019) perbuatan tersebut sudah termasuk ke dalam perbuatan PMKH dikarenakan sudah memenuhi unsur-unsur seperti mengancam. Keamanan hakim, dan mengganggu proses persidangan.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya di dalam Peraturan Komisi Yudisial Nomor 8 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim perbuatan tersebut juga diatur oleh Peraturan lainnya seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan. Adapun risiko hukum yang akan dihadapi oleh pelaku PMKH : sesuai Kitab Undang-undang Hukum Pidana di pasal 217 adalah "hukuman penjara selama-lamanya tiga minggu Dan denda paling banyak Rp.1.800-."serta ada risiko atas pencemaran nama baik yang timbul dari tindakan mereka yang berbentuk penghinaan yang membuat mereka terancam "pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp.4.500-." Sesuai dengan pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Dari peraturan dan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa tindakan PMKH itu merupakan tindakan yang tercela dan tidak boleh dilakukan, namun sekiranya tidak hanya itu pokok yang ingin saya bawakan kepada teman-teman pembaca.
ADVERTISEMENT

Alasan Lain Mengapa PMKH Tidak Boleh Dilakukan

Saya pernah mendengar sebuah adagium, atau pepatah hukum yang berbunyi Culpae Poena Par Esto. Peribahasa Latin tersebut memiliki arti “hukuman harus setimpal dengan kejahatannya.” Dari situ kita dapat melihat dan memikirkan lagi apakah tindakan merendahkan dan menghina akan kehormatan hakim itu setimpal? Apakah seorang yang menjalankan tugasnya dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku pantas kita hina, hujat, dan bahkan kita serang baik secara riil maupun virtual?
Bagi saya pribadi, tentu tidak etis melakukan hal-hal tersebut kepada seorang yang hanya menjalankan tugas dengan benar. Meskipun tak dapat disangkal juga ada oknum hakim yang dapat dikatakan merendahkan martabatnya sendiri dengan terlibat kasus hukum. Sebagaimana dilansir dari situs sindonews.com ada dua hakim Pengadilan Negeri (PN) Rangkasbitung, Banten yang memakai narkoba di pengadilan (Rizkia, Riana. 2022)
ADVERTISEMENT
Namun sebagai masyarakat umum kita juga tidak boleh menghina mereka. Karena, sesuai dengan pepatah hukum yang saya sebutkan di atas. Biarkan mereka menjalani hukuman setimpal yang sudah ditentukan untuk mereka. Tidak terlalu lama setelah berita tersebut beredar, mereka sudah mendapatkan akibat dari perbuatan mereka seperti dilansir dari situs berita detik.com Komisi Yudisial sudah memecat kedua oknum yang melakukan perbuatan tercela tersebut (Saputra, Andi. 2022)

Solusi Yang Dapat Diterapkan

Adapun solusi yang menurut saya dapat diterapkan mencakup dua hal : yang pertama agar Lembaga Peradilan berbenah diri, dan yang kedua adalah pemberian edukasi kepada masyarakat mengenai etika dan hukum.
Tak dapat dipungkiri bahwa ada Lembaga Peradilan sendiri tidak sempurna dan memiliki kontribusi atas hilangnya kepercayaan masyarakat kepada mereka. Oleh karena itu, sekiranya mereka dapat berbenah diri dan meningkatkan integritas dari para hakim mereka.
ADVERTISEMENT
Solusi yang kedua adalah edukasi kepada masyarakat tidak hanya etika saja namun juga mengenai hukum. Masyarakat perlu memahami bahwa etika itu sangat penting dalam kehidupan. Karena, manusia sebagai makhluk sosial akan selalu memerlukan manusia lain. Sesama manusia akan lebih mudah berkoeksistensi dan berkoneksi jika kita berinteraksi dengan tutur kata dan etika yang baik. Selain itu, masyarakat juga harus diberi sosialisasi tentang hukum. Karena, saya merasa masyarakat umum perlu mengetahui bahwa di dalam hukum acara ada sebuah upaya hukum seperti banding yang bisa dilakukan jika kita tidak puas dengan putusan hakim di pengadilan tingkat pertama.
Oleh karena itu marilah kita bersama-sama mewujudkan lingkungan Peradilan yang bebas dari PMKH. Sebab, selain tindakan tersebut tidak tepat dan sia-sia tindakan itu juga disertai dengan risiko hukum yang dapat berakibat besar bagi hidup kita. Jangan sampai kita ikut menghakimi mereka yang sudah bekerja mewujudkan keadilan di negeri ini secara tidak adil. Karena jika kita tidak mempercayai sistem peradilan negeri kita sendiri maka kepada siapa lagi kita dapat berharap untuk mendapatkan keadilan?
ADVERTISEMENT