Darurat Kekerasan terhadap Anak

Konten dari Pengguna
11 Januari 2019 3:18 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Prilly Latuconsina Aktris tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak ketakutan. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak ketakutan. (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Kekerasan terhadap anak merupakan salah satu masalah yang memiliki tingkat urgensi tinggi pada kehidupan yang modern ini. Banyaknya masalah yang mendera pada ruang lingkup masyarakat paling kecil seperti keluarga adalah faktor yang paling utama. Kekerasan pada anak sering menjadi alasan klise pada rasa kekecewaan pun kemarahan pelakunya, serta sebuah pelampiasan ego yang tidak mendasar pada objek yang tentunya lebih lemah yaitu anak.
ADVERTISEMENT
Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, salah satunya adalah kurangnya informasi mengenai dampak buruk dari kekerasan terhadap anak. Tidak bisa dipungkiri dengan maraknya media sosial yang menguasai hampir semua lapisan masyarakat, viralnya video tentang kekerasan anak membuat kita membuka mata bahwa hal ini berada pada titik yang menyedihkan dan semua itu ada di sekitar kita.
Sering kali kita mendengar bahasa bahwa anak-anak adalah generasi penerus bangsa yang menentukan negara ini ke depannya karena kelak anak tersebut tumbuh dewasa dan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan kehidupan bernegara. Jangankan untuk membangun bangsa, kita bisa bayangkan apabila generasi tersebut tidak memiliki kapabilitas untuk membangun dirinya sendiri, alangkah celakanya nanti nasib negara ini.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh kasus: Pada tanggal 20 Mei 2018 terdapat video viral di media sosial memperlihatkan seorang ibu tega menganiaya anaknya sendiri lantaran kesal dicerai oleh suaminya. Ibu berinisial OF itu berhasil diamankan polisi. OF mengaku menganiaya anaknya yang masih berusia 3 tahun itu lantaran sakit hati karena tidak diberi nafkah selama bercerai dengan suaminya.
Bukan hanya itu saja, baru-baru ini media sosial juga dihebohkan dengan video seorang bapak kandung yang tega menganiaya anaknya lantaran ingin mengancam sang istri yang kabur dari rumah. Di dalam video yang berdurasi 2 menit 33 detik itu, kita bisa melihat sang bapak menyiksa anak dengan cara mencekik, memukul, dan bahkan menutup hidung dan mulut sang anak agar susah bernafas. Ia lantas memaksa anaknya untuk mengajak sang ibu pulang ke rumah, kalau tidak ia akan membunuh anak tersebut.
Kekerasan pada anak  (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Kekerasan pada anak (Foto: Thinkstock)
Bukan hanya kasus ibu kandung saja, tapi juga kasus anak yang disiksa oleh ibu tirinya. Terdapat video viral yang diunggah oleh seorang guru saat memergoki banyak luka sayatan pada tubuh anak muridnya yang masih duduk di bangku SD kelas 1. Hasil visum membuktikan bahwa sang anak memang benar menerima penganiayaan.
ADVERTISEMENT
Dari beberapa contoh kasus di atas, perlu dipahami bahwa kekerasan pada anak tidak selalu berkaitan dengan kekerasan fisik saja, tetapi ada juga kekerasan bersifat psikis seperti kata-kata kasar dan penelantaran yang berdampak buruk pada tumbuh kembang anak di masa yang akan datang. Ada beberapa macam kekerasan pada anak yang dapat dikategorikan sebagai berikut:
- Kekerasan Emosional/Bullying
Masih banyak orang tua yang tidak bisa menahan emosi sehingga suka berkata kasar kepada anak, memarahi anak di khalayak umum atau di depan orang lain, meremehkan anak, atau tidak meghargai prestasi anak. Hal tersebut adalah contoh-contoh kekerasan emosional terhadap anak. Kekerasan emosional ini bisa menyebabkan hilangnya kepercayaan diri terhadap anak.
Hal ini disebabkan oleh rasa takut dalam berbuat kesalahan. Hal ini juga membuat lambatnya perkembangan anak. Kekerasan secara emosional juga bisa menimbulkan perasaan tidak berguna di dalam diri anak. Anak akan cenderung merasa tidak bermanfaat dan membuat anak tersebut akhirnya enggan berusaha melakukan hal baik atau bahkan prestasi untuk dirinya. Pada akhirnya, anak akan menjadi pribadi tertutup, mengucilkan diri dari teman-temannya, dan bahkan enggan bergaul.
ADVERTISEMENT
- Penelantaran/Pengabaian Anak
Tidak menyediakan kebutuhan dasar anak seperti makanan, pakaian, atau bahkan tidak memperhatikan kesehatan anak bisa masuk ke dalam kekerasan terhadap anak. Kesibukan bekerja terkadang membuat orang tua lupa akan kewajibannya sehingga cenderung cuek dengan anak. Hal tersebut bisa membuat anak merasa tidak mendapatkan kasih saying yang seharusnya didapatkan dan akan membuat anak sulit mengendalikan emosinya.
Peran orang tua sangat penting dalam pengendalian emosi seorang anak. Tanpa hadirnya orang tua, anak akan cenderung kesepian dan bingung memperlihatkan emosi yang ia rasakan sehingga sulit mengendalikan emosinya terhadap orang lain.
- Kekerasan Fisik
Kasus kekerasan fisik inilah yang sering ditemukan akhir-akhir ini. Kekerasan fisik ini akan sangat berdampak pada mental sang anak. Kekerasan fisik ini bisa membuat anak bersikap agresif. Sikap agresif ini adalah hasil tiruan dari apa yang dilakukan orang tuanya. Terlebih lagi jika sang anak mengalami kekerasan dari sejak kecil. Anak cenderung akan terus menyimpan ingatan kekerasan orang tua dalam dirinya dan tidak segan melakukannya kepada orang lain.
ADVERTISEMENT
Tanda-tanda kekerasan fisik pada anak bisa berupa memar, bengkak, luka dalam, luka luar, pendarahan dalam, atau bahkan luka pada area kelamin. Kekerasan fisik yang berlangsung sangat lama bisa menyebabkan gejala fisik sepeti gangguan jantung, kanker, penyakit paru-paru, penyakit hati, obesitas, tekanan darah tinggi, kolestrol bahkan mengalami gangguan penglihatan, pendengaran, gangguan dalam berbahasa, mengalami keterbelakangan perkembangan otak sehingga mengalami gangguan dalam bersosialisasi.
Bukan itu saja, korban juga bisa mengalami cacat fisik atau bahkan kematian seperti jika terjadi infeksi pada luka.
ADVERTISEMENT
- Kekerasan Seksual
Pelecehan seksual, inses, perkosaan, pemaksaan secara seksual, dan sentuhan tidak pantas. Sering kita temui pelaku kasus kekerasan seksual ini berada tidak jauh dari lingkungan korbannya. Jenis kekerasan seksual ini biasanya menimbulkan efek traumatik yang sangat panjang dan mengganggu mental dan biasanya susah untuk disembuhkan karena meraka merasa sudah tidak berharga lagi dalam hidupnya. Pendampingan untuk korban kekerasan seksual bersifat ekstra karena tingkat kerusakannya.
- Kekerasan Eksploitasi
Kekerasan ekspolitasi ini mencakup kerja paksa, pekerja anak, pelacuran anak atau komersialiasi seksual anak, perdagangan anak, jeratan utang, penggunaan anak dalam perdagangan narkoba dan lain sebagainya. Yang mendasarkan kekerasan eksploitasi ini, kebanyakan pelaku menggunakan anak secara paksa untuk mendapatkan materi.
Berdasarkan laporan Global Report 2017: Ending Violence in Childhood, sebanyak 73,7 persen anak-anak Indonesia berumur 1-14 tahun mengalami pendisiplinan dengan kekerasan (violent discipline) atau agresi psikologis dan hukuman fisik di rumah. Hal ini diperkuat data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mencatat sebanyak 5.194 kasus kekerasan pada anak dilakukan oleh keluarga dan pengasuh (2011-2017).
ADVERTISEMENT
Dampak kekerasan terhadap anak, apapun tujuannya, sama sekali tidak bisa dianggap sepele. Kita bisa melihatnya dari penelitian UNICEF yang mengumpulkan dan menyusun berbagai dampak perlakuan kejam terhadap anak dari 178 studi. Penyusunan itu kemudian digolongkan ke dalam empat area, yaitu:
1. Risiko kesehatan fisik meliputi: Penyakit menular seksual, HIV AIDS, genital urinary symptoms, irritable bowel symptoms, dan kehamilan yang tidak diinginkan.
2. Risiko kesehatan mental meliputi: Kecemasan luar biasa, rendah diri, menyakiti diri, bunuh diri, post traumatic disorder, obsessive compulsive, dan pengelolaan kemarahan yang buruk.
3. Keluaran kekerasan meliputi: Membawa senjata tajam, konflik dengan hukum, kekerasan, dan pelecehan terhadap keluarga dan lingkungan lainnya.
4. Dampak pada pendidikan dan ketenagakerjaan meliputi: Drop Out (DO) dari sekolah, pengangguran, berada dalam lingkungan kerja eksploitatif.
ADVERTISEMENT
Secara khusus, Survei Kekerasan terhadap Anak Indonesia yang dilakukan pada kelompok umur 18-24 tahun yang mengalami kekerasan sebelum umur 18 tahun, mengidentifikasi dampak kesehatan yang muncul akibat tindakan kekerasan. Perilaku yang dominan adalah merokok dan mabuk, selain keinginan menyakiti diri dan bunuh diri.
Lebih rincinya, kekerasan fisik terhadap anak laki-laki berdampak pada perilaku merokok sebanyak 78 persen dan mabuk sebanyak 33 persen. Sementara pada perempuan adalah mabuk 14 persen, menyakiti diri sendiri 6,06 persen, dan merokok 5,69 persen. Di sisi lain, kekerasan emosional akan berdampak pada perilaku merokok 57,5 persen dan mabuk 42,7 persen pada anak laki-laki. Sedangkan pada anak perempuan adalah menyakiti diri sendiri 42,9 persen, mencoba bunuh diri 34,4 persen, terpikir bunuh diri 32,6 persen, merokok 13,51 persen, dan mabuk 13,18 persen.
ADVERTISEMENT
Kekerasan dipelajari di masa kanak-kanak; melalui pengalaman hukuman fisik dari pengasuh; menyaksikan kekerasan dalam keluarga; intimidasi dan agresi di sekolah dan di lingkungan lain. Efeknya pun bisa membekas seumur hidup, sebab kekerasan terinternalisasi sedemikian rupa sebagai salah satu metode dalam berinteraksi dengan orang lain.
Untuk menghindari dampak negatif itu, pola asuh dengan kekerasan semestinya tidak diterima sebagai hal benar dan wajar. Undang-Undang dan peraturan untuk melindungi anak memang sudah ada, tetapi ia tidak bisa jadi jaminan anak-anak terhindar dari kekerasan. 
Langkah pertama anak-anak terhindar dari tindakan kekerasan ada di tangan orang tuanya sendiri, yakni dengan tidak melakukan kekerasan terhadap anak. Tidak sebagai hukuman, tidak demi kedisiplinan, apalagi sekadar pemuas amarah.
ADVERTISEMENT
Perilaku kekerasan pada anak tersebut dapat menyebabkan hal-hal yang traumatik yang bisa memengaruhi kehidupan anak di kemudian harinya, menjadi demotivasi, depresi, dan destruktif yang dapat merugikan dirinya dan lingkungan sekitarnya. Kita sebagai individu yang concern terhadap masalah ini haruslah dapat memberikan solusi yang setidaknya dapat menekan angka kekerasan anak tersebut dapat berkurang seminimal mungkin.
Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan kekerasan terhadap anak?
Wabah ini sedang melanda Indonesia. Kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan terhadap anak. Lalu seberapa besar masalahnya? Sebuah studi menunjukkan bahwa kurang lebih 2 juta anak di Indonesia mengalami atau menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga setiap tahunnya. Apakah itu menonton tindakan kekerasan fisik atau seksual, mendengarkan ancaman atau suara kekerasan yang efeknya dapat merusak anak dalam berbagai cara dan itu sangat menyeramkan.
ADVERTISEMENT
Kerena kebanyakan kasus kekerasan anak yang terjadi di negara kita adalah masalah kekerasan dan pelecehan anak yang pelakunya adalah orang-orang yang mengaku paling mencintai mereka.
Kita mungkin bisa mengatakan bahwa itu tidak terjadi di mana kita tinggal. Kita mungkin percaya bahwa kita juga tidak mengenal anak-anak yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan tersebut. Jangan salah, kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak-anak terjadi di sekitar kita. Anak-anak di kota tempat kita tinggal adalah korban kejahatan yang mengerikan.
Selain itu, pelakunya mungkin rekan kita di tempat kerja, tetangga kita, dan bahkan salah satu dari keluarga kita. Anak-anak di sekitar kita menjadi korban kekerasan dan kuncinya ada pada kita untuk membantu mengakhiri itu semua.
ADVERTISEMENT
Berikut ini adalah cara-cara kita untuk membantu menghentikan atau meminimalisir kekerasan terhadap anak.
1. Kenali Tanda-tanda
Langkah pertama dalam membantu mencegah kekerasan anak adalah mengenali tanda-tanda. Yang pasti, mungkin sulit untuk mengenali ketika seorang anak disalahgunakan, karena tanda-tanda tidak selalu terlihat oleh mata. Memang, kekerasan dalam rumah tangga tidak selalu bersifat fisik.
Bentuk lain dari kekerasan dalam rumah tangga termasuk pelecehan verbal, pelecehan emosional, dan penyalahgunaan ekonomi. Seiring dengan ini, ada kemungkinan bahwa anak-anak yang menderita tidak akan berbicara atas nama mereka, karena begitu banyak anak menderita dalam keheningan dan memilih untuk tutup mulut.
2. Meningkatkan Kesadaran
Pengetahuan adalah kekuatan. Mendidik orang-orang di sekitar kita tentang realitas kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan di sekitar lingkungannya akan sangat membantu. Memberikan sebuah wadah dukungan bagi orang tua untuk mengajari mereka tentang perawatan anak dan strategi pengasuhan anak.
ADVERTISEMENT
Dengan berkembangnya teknologi, tentunya kita bisa menggunakan media, video atau teks yang bisa disebarkan kepada siapapun yang berada dalam lingkungan kita semisal untuk memberikan awareness tentang pentingnya menjaga anak lewat pesan broadcast melalui aplikasi WhatsApp, SMS, Facebook, dan media sosial lainnya.
3. Memberi Contoh Positif kepada Anak
Sering kali kita mendengar bahwa anak-anak adalah peniru yang hebat. Mereka sering mencontoh apa yang mereka pelajari dan alami dari orang dewasa dalam kehidupan mereka. Model dan peran terbesar dalam kehidupan anak adalah orang tua. Bagi anak-anak yang telah menyaksikan orang tua melakukan kekerasan dan pelecehan terhadap yang lain, menyebabkan anak-anak ini akan lebih cenderung untuk mengulang ini nanti dalam kehidupan dewasa mereka dengan pasangan atau lingkungan sosialnya.
ADVERTISEMENT
Hal ini pun yang sering menjadi alasan anak menggunakan narkoba dan penyalahgunaan alkohol di kemudian harinya. Untuk mematahkan siklus penyalahgunaan di masa depan itu, maka sangat perlu bagi kita untuk memberikan contoh perilaku yang mengayomi, perhatian dan menyayangi, menahan diri dan jangan tunjukkan hal negatif di depan anak- anak.
4. Pendidikan Agama Membentuk Moral dan Pendidikan Sekolah untuk Karakter
Pentingnya fungsi agama di sini adalah pondasi untuk mengingatkan kita pada norma-norma atau rambu kehidupan dalam berinteraksi antarsesama. Dalam ajaran agama pun kita diharuskan dapat menahan diri dari hal-hal buruk yang dapat berakibat fatal bagi kehidupan terutama bagi kehidupan anak.
Sekolah merupakan institusi yang dapat memberikan penilaian terhadap perilaku anak dibantu dengan aktivitas-aktivitas sekolah yang positif dan sekolah harus mampu menjadi wadah komunikasi antara orang tua dan pendidik untuk membantu pembentukan karakter anak.
ADVERTISEMENT
5. Berkomunikasi dengan Anak
Apapun yang menjadi keinginan anak harus diakomodir, biasakanlah untuk memberikan pilihan terbaik dan masukan untuk anak, arahakan sesuai potensinya bukan mengikuti kehendak dan ego kita. Dukunglah semampu kita karena usia dini merupakan saat yang tepat untuk membangun karakter dan moral anak untuk lebih percaya diri dan mampu bersaing positif di lingkungannya dengan apa yang mereka miliki dan kuasai.
Cobalah untuk mendengar ceritanya, hargai pendapat dan seleranya, dan tetap bisa belajar untuk melihat masalah dari sudut pandang anak. Dan ajarkan bahwa tidak boleh ada yang menyentuh daerah pribadi mereka.
6. Berperan Aktif, Waspada, dan Lapor
Jika kita menemukan atau menduga terjadinya kekerasan terhadap anak yang berada di sekitar kita, tegurlah dengan tegas demi masa depan anak, jika tidak mampu untuk menegur, maka laporkan kepada penegak hukum karena dengan pelaporan tersebut kita dapat mencegah hal yang lebih buruk terjadi dan suatu hukuman yang berat dapat memberikan shock therapy kepada pelakunya untuk tidak melakukannya lagi.
ADVERTISEMENT
Sebab seperti paparan sebelumnya bahwa banyak orang tua yang tidak sadar bahwa perilakunya merupakan suatu kekerasan terhadap anak. Perlu diketahui juga banyak kasus kekerasan anak dilakukan oleh pelaku yang dikenal anak tersebut.
Dengan demikian, kita sebagai individu yang bermasyarakat harus lebih peka dan peduli terhadap sekitar kita, dengan tidak membiarkan kekerasan-kekerasan anak ini terjadi berarti kita ikut dalam mencerahkan dan menentukan masa depan lebih baik bagi anak tersebut. Membangun pribadi anak menjadi lebih baik adalah suatu kewajiban.
Hadirnya KPAI dan Komnas Anak yang bersinergi dengan Kepolisian di Indonesia diharapkan dapat menjadi wadah untuk memerangi secara maksimal teror dan wabah berbahaya ini. Kita ingin generasi mandatang menjadi generasi yang dapat dibanggakan, menjadi generasi juara. Menjadi generasi harapan bangsa.
ADVERTISEMENT
Sumber: http://livecustomwriting.com/blog/children-abuse-essay-protection-and-prevention https://tirto.id/737-persen-anak-indonesia-mengalami-kekerasan-di-rumahnya-sendiri-cAnG https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/5726/STOP+Kekerasan+Terhadap+Anak/0/infografis