Pandemi dan Tantangan Penanganan di Skala Mikro

Primadi Wicaksana
Analis Kebijakan Muda pada Sekretariat Wakil Presiden
Konten dari Pengguna
30 Juli 2021 20:33 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Primadi Wicaksana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana penutupan saat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di kawasan jalan Sudirman, Jakarta. Foto: M RISYAL HIDAYAT/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Suasana penutupan saat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di kawasan jalan Sudirman, Jakarta. Foto: M RISYAL HIDAYAT/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Tanggal 27 Juli 2021 ini menjadi hari yang pilu bagi Indonesia yang masih berjuang melawan pandemi Covid-19. Kasus kematian mencapai rekor baru yakni 2069 kasus. Meskipun kita perlu juga mensyukuri angka kesembuhan yang juga mencapai rekor yakni 47.128 orang yang sembuh, suatu hal yang patut kita syukuri, namun kematian 2000an orang tidak bisa disepelekan.
ADVERTISEMENT
PPKM Level 4 yang diharapkan dapat menurunkan angka positif dan kematian ternyata belum terlihat dampaknya. Sebagian masyarakat mulai menyalahkan pemerintah atas ketidakmampuannya untuk menangani pandemi selama PPKM ini. Namun, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah karena SDM yang tersedia untuk mengawasi juga sangat terbatas. Pertanyaan kemudian muncul di benak saya, kenapa PPKM ini belum mampu melandaikan kasus positif Covid-19? Saya pun mencoba untuk mengamati dalam skala mikro, yakni mengamati aktivitas masyarakat di sekitar saya selama pandemi ini berlangsung.
Hal pertama yang saya soroti adalah masyarakat kita sebagian besar adalah masyarakat yang komunal. Pepatah orang jawa, mangan ora mangan sing penting ngumpul. Di lingkungan tempat saya tinggal saat ini, orang-orangnya sangat senang berkumpul, baik untuk sekadar ngobrol, maupun kegiatan lain. Meskipun pemerintah telah menghimbau masyarakat untuk berkerumun, warga tetap berkumpul dengan segala kegiatannya.
ADVERTISEMENT
Setiap malam minggu, ronda malam rutin tetap berlangsung. Warga mulai dari bapak-bapak, ibu-ibu, hingga remaja dan anak-anak tetap rutin berkumpul setiap hari dan banyak yang tidak memakai masker. Sebenarnya mereka pun khawatir tertular Covid 19 dan memang sudah banyak yang tertular dan sudah ada beberapa yang meninggal, tapi keinginan untuk berkumpul tetap besar dan mengabaikan protokol kesehatan yang ketat.
Hal kedua yakni pengaruh dari tokoh agama dan masyarakat lokal. Warga di sekitar saya termasuk yang cukup religius dan sangat mendengarkan tokoh agama dan masyarakat lokal. Bahkan, mereka lebih mendengarkan tokoh tersebut dibandingkan dengan pemerintah dan orang-orang yang ahli di bidang kesehatan. Tidak heran ketika pemerintah dan MUI meminta masyarakat beribadah di rumah, mereka tidak menghiraukan imbauan tersebut.
ADVERTISEMENT
Salat berjemaah tetap dilaksanakan tanpa jarak shaf, salat jumat tetap dijalankan, dan salat hari raya tetap berlangsung. Meskipun pada salat jumat dan salat hari raya tetap mewajibkan masker, tetapi sulit sekali mengontrol shaf yang tetap rapat. Bahkan, ketika ada warga yang meninggal karena Covid 19, mereka mengadakan tahlilan selama 7 hari di depan rumah warga tersebut. Tokoh agama khawatir masjid kosong akan mengurangi keberkahan karena ketidaktaatan. Belum lagi ancaman bahwa yang takut Covid-19 adalah ciri orang tidak beriman, membuat warga pun tetap beribadah dengan prokes yang tidak ketat.
Hal ketiga adalah percaya pada hoaks. Pada umumnya, warga sebenarnya percaya saat ini sedang terjadi pandemi Covid-19. Namun, beberapa hoaks telah memengaruhi mereka. Narasi hoaks yang muncul di antaranya, negara ini dibodohi oleh pihak-pihak tertentu bahwa covid itu berbahaya, double masker justru membuat kekurangan oksigen, pasien ke rumah sakit itu dicovidkan, dll. Hoaks itu lebih dipercaya daripada pernyataan orang-orang yang memang ahli di bidang kesehatan. Akibatnya, masih ada warga yang enggan memakai masker, tetap berkerumun, bahkan ada yang berusaha untuk memengaruhi orang lain untuk tidak melaksanakan prokes. Beberapa bahkan menuduh pemerintah zalim dengan mencoba menutup tempat ibadah dan membatasi kegiatannya.
ADVERTISEMENT
Kombinasi ketiga hal tersebut akibatnya cukup fatal di sekitar tempat tinggal saya. Jumlah yang positif sangat banyak, dan yang meninggal sudah banyak. Saat ini, setelah varian delta muncul, setiap hari selalu diumumkan dari Toa mesjid-mesjid sekitar tempat tinggal saya berita duka cita warga yang meninggal karena Covid-19. Saya sendiri merupakan penyintas Covid-19, padahal saya termasuk minim interaksi dengan warga sejak pandemi berlangsung.
Hal ini merupakan tantangan yang sangat berat bagi Pemerintah dalam menangani pandemi. Menurut saya, pemerintah dan MUI di tingkat Kota hingga kelurahan terus mengimbau kepada warga untuk patuh pada prokes. Perlu ada pengawasan rutin TNI/Polri di setiap kampung-kampung, perumahan, dan desa untuk terus mengingatkan Prokes dan lebih baik di rumah saja.
ADVERTISEMENT
Dialog dengan tokoh agama dan masyarakat perlu dilakukan dengan intens karena merekalah yang didengar oleh warga. Apabila belum ada tindakan yang efektif dari pemerintah, maka saya khawatir pandemi tidak akan berakhir dalam waktu dekat dan kita masih akan mendengar berita duka cita setiap hari.