Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Aku menghabiskan masa kecil dari pesta ke pesta. Menyaksikan para selebritas dan politisi melakukan hal konyol dan melontarkan lelucon jorok—yang pasti berakibat fatal jika diungkap ke media sosial— adalah hal yang biasa.
Saat itu aku hanya bertemu dan bergaul dengan anak-anak yang “selevel” denganku. Orang tua atau wali mereka berada di strata tertinggi, tipe orang yang tak begitu peduli jika anak-anaknya teler entah karena alkohol atau obat-obatan terlarang. Kami semua melakukannya. Kalau ketahuan pun, yang lain hanya mengendikkan bahu. Itu hal biasa.
Aku menyerap semua ini dan memaksa diri untuk berpikir bahwa ini semua tidak apa-apa. Bahkan, aku sudah mencoba alkohol sejak belum bisa membaca. Akibatnya aku muntah parah. Orang lain menganggap ini lucu, tapi menurutku itu malapetaka. Aku selalu menolak mengkonsumsinya lagi. Bahkan sampai sekarang, aku selalu bergidik jika ditawari bir atau anggur.
Narkoba. Menurutku narkoba menyebabkan orang berubah. Bentuknya pun macam-macam. Aku hanya mengintip jika ada yang menggunakan jarum suntik atau menelan pil, banyak juga yang menghidu bubuk putih. Ada yang jadi ganas dan berbuat kekerasan, ada juga yang jadi cengeng, meratapi entah apa. Tapi tak sedikit yang hanya duduk bengong di sudut atau berjengit dan menggerakkan tubuh mengikuti melodi yang hanya didengarnya sendiri.
Setelah episode alkohol yang membuatku jeri, aku jadi lebih cerdas. Selalu curiga, aku sengaja memasang wajah hampa ke mana-mana. Ada yang menawariku benda aneh? Terima saja. Toh aku bisa menjualnya lagi nanti, atau menggunakannya sebagai bahan tawar-menawar.
Yang jelas, aku cukup yakin tak banyak yang ingat namaku. Jika harus memanggilku, mereka akan berkata “Nak”, “Hei”, “Kamu”, atau yang lebih tak kusukai lagi, “Bocah”.
Hah, bocah, katanya? Meski usiaku belum genap sepuluh tahun, tapi mungkin aku lebih banyak tahu daripada mereka.
Penampilanku memang biasa saja. Kerempeng, tinggi rata-rata, rambut lurus sebahu dengan poni, wajah yang tak terlalu cantik tapi tak pula buruk rupa. Singkat kata, deskripsi tentangku juga berlaku bagi jutaan orang lainnya, mungkin lebih.
Apalagi jika diajak bicara, aku cenderung membuat orang lain segera menatapku sambil mengernyit. Jawaban-jawaban standarku adalah, “Ya”, “Nggak”, “He-eh”, “Mungkin”, dan yang paling ampuh: “Nggak tahu”.
Orang-orang, termasuk orang tuaku, berpikir aku lamban, telmi. Mereka pikir aku tak paham apa itu artinya “telat mikir”. Tapi toh aku senang-senang saja. Itu persona yang kubangun dengan seksama. Untuk bertahan di dunia seperti ini, aku harus menggunakan semua amunisi yang kumiliki.
Aku tidak cantik. Tidak pula pandai mengambil hati orang dan memuji. Bahkan dalam balutan gaun anak buatan desainer pun aku masih terlihat lusuh. Aku sering jadi bulan-bulanan karenanya. Itulah yang mendorongku untuk sekalian saja dicap dungu. Sekalian saja aku berpakaian semauku. Toh, siapa yang peduli?
Tidak semua yang kulihat bisa kuingat tentunya. Yang kuingat adalah hal acak seperti gaun yang dikenakan salah satu penyanyi jazz di pesta malam tahun baru 2010. Gaun oranye-merah dengan aksen bulu keemasan seperti phoenix. Atau napas bacin akibat narkoba atau rokok lintingan entah apa yang sering dikonsumsi seorang drummer band yang terkenal saat itu.
Selain itu, aku juga ingat penganan kesukaanku. Di pesta-pesta semacam itu selalu ada kroket isi daging sebagai camilan. Warna yang coklat keemasan, aroma samar bawang, serta isian kentang dan daging lembutnya selalu mampu membuatku melahapnya lagi, lagi, dan lagi.
Ketika peristiwa itu terjadi, aku sedang memegang pisin berisi beberapa kroket, duduk di sudut ruangan yang menurutku strategis. Di sana aku bisa mengawasi nyaris semua hal di pesta ini. Saat mengunyah potongan kroket terakhir dan menikmati gurihnya yang pas, tiba-tiba suasana berubah menjadi menjerikan.
Aku tidak tahu persis apa yang sebenarnya terjadi. Kalau diingat-ingat lagi, aku hanya merasa seperti ada yang salah, tapi entah apa. Apa karena aku menghidu aroma yang tidak biasa? Atau karena aku mendeteksi emosi yang meluap-luap?
Aku menggigil. Seolah ada sesuatu yang menyeruak dan mendesak. Pisin kupegang erat-erat, berharap hal ini bisa membuatku tenang. Aku beringsut lebih jauh hingga punggungku mengenai sudut ruangan. Untung tempat ini tersembunyi di balik meja-meja besar dan taplak dari kain berat berwarna perak dan emas. Aku bisa lebih leluasa memandang ke sekeliling. Orang lain tak akan tahu keberadaanku jika mereka tak mengintip ke bawah meja atau menyibak taplak.
Aku mendengar beberapa patah kata yang tak kupahami maknanya dan tak bisa kuingat lagi sampai sekarang.
Instingku memaksaku untuk menahan napas dan bergeming. Hingga kemudian….
Ada sesuatu yang meluncur ke arahku. Aku membuka mulut dan mencoba berteriak, tapi tak ada suara yang keluar. Aku hanya bisa menatapnya dalam diam karena terlalu syok.
Aku mengenali wajah itu. Bukankah tak sampai sepuluh menit yang lalu aku melihatnya di salah satu meja buffet, mengunyah sebutir anggur sembari memegang gelas sampanye yang isinya hampir habis?
Bukankah ketika aku menatapnya dengan pandangan datar, ia mengedipkan mata, mengangkat gelas seolah hendak mengajak bersulang, seolah itu hal yang wajar bagi remaja tiga belas tahun?
Aku tahu dia suka sampanye dan bisa minum satu botol sekaligus tanpa mabuk. Aku tahu diam-diam dia kasihan padaku dan dengan caranya sendiri ia berusaha membantuku. Dia pernah memberiku jepit rambut pita, katanya, “Supaya kamu lebih cantik.”
Di lain hari dia menghampiriku dan memberikan tas belanja dengan logo merek terkenal. “Baju baru, pakailah.”
Dia menatap celana monyet dan kaus yang kupakai tanpa menyembunyikan perasaan ngerinya. Aku dengan patuh mengikutinya ke toilet, ia berkeras menungguku berganti pakaian.
Gaun selutut warna biru tua itu pasti akan tampak mewah kalau dia kenakan, tapi di tubuhku kelihatan seperti seragam penjara anak-anak nakal. Kalaupun dia berpendapat sama denganku, dia tidak menunjukkannya. Dia hanya mengacungkan jempol dan berkata seharusnya aku berpakaian seperti itu setiap hari.
Tadi, mungkin satu atau dua jam lalu, dia menghambur ke pelukanku, berkata betapa manisnya aku. Ia menyodorkan tas kecil padaku. “Titip ya.”
Tas ini—atau lebih tepat disebut dompet—masih tersimpan rapi di dalam tas selempangku. Paling-paling isinya pil terlarang, pikirku. Ini bukan pertama kalinya dia menitipkan benda haram tersebut kepadaku.
Ia tersenyum manis dan menatapku dengan serius. “Kamu harus hati-hati. Dunia ini kejam. Jangan mudah percaya dengan orang lain.”
Aku mengangguk setuju. Ucapannya memang benar, tapi tidak biasanya dia berkata begitu. Biasanya, kalimat-kalimatnya penuh pujian dan riang. Matanya yang coklat kehijauan selalu berbinar seolah punya rencana jahil yang akan segera dia laksanakan. Dia memang begitu hidup. Begitu molek seperti boneka porselen.
Reaksi awalku saat ini adalah menyangkal. Ini tak mungkin terjadi. Beberapa menit lalu ia baik-baik saja. Satu-dua jam lalu kami masih mengobrol. Bahkan barang titipannya belum dia ambil kembali.
Meski temaram, tertutup taplak, aku langsung menyadari matanya tak lagi bersinar. Perlahan aku menyentuh pipinya. Masih hangat. Tapi dia tak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia menyadari keberadaanku. Aku mengguncang tubuhnya perlahan, sekali-dua kali.
Marianne Sawyer, gadis blasteran Indonesia-Amerika itu sudah tiada.
***Bersambung***
___________________________
Catatan editor: sebagian teks dialihmediakan menjadi audio. Putar media untuk mendapatkan kisah secara utuh.
Ikuti cerita bersambung Danyang karya Primadonna Angela setiap Minggu hanya di kumparan+
Cerita ini adalah bagian pertama dari novel "Danyang" karya Primadonna Angela. Baca kelanjutannya di sini: