Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Atlet Olimpiade Jepang dan Cita-cita Anak Jepang Ingin Menjadi Atlet
24 Agustus 2021 14:38 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Primasari N Dewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hifumi Abe dan Uta Abe adalah salah satu cerita menarik dari kisah Olimpiade Tokyo 2020 ini. Mereka adalah kakak beradik atlet judoka asal Jepang yang berhasil merebut medali emas di hari yang sama, 25 Juli 2021 lalu. Si Kakak Hifumi, 23 tahun, berhasil mengalahkan judoka asal Georgia dalam lagi final kelas 66 kg putra. Si Adik Uta, 21 tahun, bertanding di kelas 53 kg putri dan berhasil mengalahkan judoka asal Prancis.
ADVERTISEMENT
Cerita lain, atlet perempuan 13 tahun, Momiji Nishiya, berhasil merebut medali emas di cabang skateboard kategori jalanan putri, pada 26 Juli kemarin. Nishiya masih tergolong atlet belia yang berhasil meraih medali emas di ajang Olimpiade Tokyo 2020 ini.
Betapa bangga orang tua mereka atas keberhasilan putra putrinya. Bagaimanapun juga, itu adalah keberhasilan didikan orang tua sehingga anak-anaknya bisa mengharumkan nama negaranya di kancah internasional dan menjadi sejarah baru di dunia olahraga Jepang.
Cita-cita anak Jepang
Sebenarnya tidak hanya menjelang olimpiade saja, sejak 20 tahun yang lalu atlet olahraga menjadi cita-cita urutan pertama anak Jepang. Tahun 2000 sebanyak 20,5%, 2010 sebanyak 30,1%, dan tahun 2020 sebanyak 18,8% anak-anak Jepang bercita-cita ingin menjadi atlet olahraga. Profesi lain yang juga diminati adalah polisi, sopir/masinis, pemadam kebakaran/regu penolong, dan tukang/ arsitek.
ADVERTISEMENT
Saat wisuda kelulusan TK anak saya di Jepang, dia menyebutkan cita-citanya ingin menjadi orang yang memperbaiki jalan. Teman-temannya tak kalah seru, ada yang ingin menjadi pemain bola, pemain piano, guru TK, pembuat roti, pemadam kebakaran, dll. Meski terdengar seperti pekerjaan yang biasa-biasa saja, para orang tua sangat terharu mendengarnya sambil senyam-senyum.
Tentu bukan senyam-senyum meremehkan ya. Orang tua Jepang sangat mendukung penuh cita-cita anaknya. Meski masih berubah-ubah karena masih anak-anak, mereka membantu anak-anak menemukan apa yang menjadi minat dan bakat mereka. Mereka paham bahwa memaksakan kehendak kepada anak tidak akan berdampak baik.
Awal menemukan olahraga/ bidang lain yang ingin ditekuni, orang tua memberi semangat dan menghibur saat terpuruk. Di saat ingin menyerah karena latihan yang melelahkan, keluarga berperan serta memotivasi mereka. Terutama Ibu, memperhatikan menu makanan bergizi anaknya, menyiapkan bekal makanan dan menjadi suporter dadakan saat anak bertanding. Pelatih juga memberitahu bahwa keberhasilan anaknya juga membutuhkan dukungan orang tua.
ADVERTISEMENT
Minat olahraga yang sangat tinggi sejak dini
Saat merantau di Jepang, saya melihat sendiri bagaimana minat masyarakat Jepang terhadap olahraga. Jogging pagi, siang, malam itu sudah biasa. Entah mungkin demi kesehatan juga, tapi tua, muda, semua terlihat sangat menyukai olahraga. Lomba maraton pada musim dingin juga menjadi event tahunan yang sangat meriah dan ditunggu-tunggu. Bayangkan coba, musim dingin malah lari-lari, mending selimutan mager di kamar.
Sekolah di Jepang, mulai dari SD sampai SMA juga mempunyai agenda lomba olahraga (undoukai) tiap tahun. Anak-anak berusaha keras dan semaksimal mungkin untuk menunjukkan yang terbaik karena akan ditonton oleh keluarga. Ada juga pertandingan antar sekolah dalam satu daerah/ provinsi.
Saya pernah menonton pertandingan atletik antar sekolah se-prefektur Nara di stadion. Suasananya sangat meriah. Saya yang bukan siapa-siapa dan cuma penasaran ikut menonton saja jadi terharu dan terbawa euforia suasana pertandingannya. Anak-anak Jepang sudah diajari untuk kompetitif dan sportif sejak dini.
ADVERTISEMENT
Anak saya juga pernah bercerita kalau ada pemain sepak bola profesional dari klub divisi lokal tempat saya tinggal didatangkan ke sekolahnya. Mereka bermain bersama. Selesai bermain, pemain tersebut bercerita tentang masa kecil dan pengalamannya. Ia juga bercerita tentang seseorang harus punya mimpi dan berusaha meraih mimpinya. Setiap hari harus berlatih kalau ingin menjadi pemain profesional. Anak-anak sangat antusias dan termotivasi mendengar pemain tersebut bercerita.
Ternyata mendatangkan atlet ke sekolah ini sangat umum dilakukan sekolah Jepang. Klub/ tim olahraga sendiri juga memiliki semacam kewajiban moral untuk melakukan hal ini. Bagaimanapun juga, bersosialisasi dengan masyarakat menjadi salah satu agenda rutin yang harus dilakukan oleh klub olahraga sebagai salah satu bentuk terima kasih atas dukungan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Saya juga pernah mendapat tiket gratis nonton bola divisi empat Japan Football League (JFL) dan pertama kali merasakan euforia nonton sepak bola di stadion Jepang secara langsung. Penontonnya relatif sedikit jika dibandingkan penonton J-League yang berisi klub bola papan atas Jepang, seperti Gamba Osaka. Padahal untuk urusan suporter, Indonesia masih jauh lebih ramai dan nekat ya.
Tidak hanya sepak bola, terkadang bisbol juga membagikan tiket gratis pertandingan ke anak sekolah. Tentu bukan keuntungan ekonomi yang ingin mereka raih, menumbuhkan minat bisbol ke anak muda adalah tujuan mulia mereka. Siapa tahu ada bibit-bibit baru yang kelak menjadi atlet bisbol.
Mereka paham betul, bahwa regenerasi dalam dunia olahraga adalah mutlak dan tidak akan terjadi secepat membalikkan telapak tangan. Butuh proses lama yang berawal dari minat dan ketertarikan terhadap olahraga itu sendiri. Terlebih anak kecil ya, pasti terharu sekali kalau bisa berfoto dengan atlet idolanya.
ADVERTISEMENT
Dukungan pemerintah
Pemerintah daerah juga mendukung hal ini dengan meningkatkan sarana dan prasarana olahraga di sekolah. Biasanya anak SD mengikuti banyak kegiatan untuk menjelajahi minat dan kemampuan mereka. Kalau yang memutuskan untuk menekuni olahraga, ada kegiatan ekstrakurikuler (bukatsu) yang bisa menjadi tempat mereka berlatih dan menempa ilmu. Pertandingan antar SD juga menjadi motivasi tersendiri.
Saat SMP dan SMA, mereka lebih tekun berlatih. Pemandangan anak SMA membawa peralatan olahraga pulang sekolah di malam hari itu sudah biasa. Sabtu dan Minggu saja mereka juga masih harus latihan. Berlatih harus setiap hari dilakukan. Kadang kalau berpapasan dengan mereka, bau keringatnya sungguh sangat menusuk hidung. Tetapi, saya terharu dengan keseriusan dan kerja keras mereka. Mereka paham betul bahwa practice makes perfect itu bukan cuma tulisan, melainkan sesuatu yang harus dipraktikkan.
ADVERTISEMENT
Selain menyediakan sarana dan prasarana di tingkat sekolah dan daerah, pemerintah Jepang juga mendukung dengan mengadakan pertandingan dan penyaringan bibit unggul untuk lebih dilatih lagi di Training Camp nasional. Jepang sendiri mengerahkan 580 atlet untuk mengikuti Olimpiade dan Paralimpik Tokyo 2020. Jumlah yang sangat fantastis.
Indonesia sendiri mengirimkan 28 atlet dari 8 cabor, yakni bulu tangkis, panahan, angkat besi, menembak, renang, atletik, rowing, dan surfing dalam ajang Olimpiade 2020 kali ini. Mungkin kita bisa melihat perjalanan atlet-atlet Indonesia yang sampai bisa eksis di kancah internasional seperti olimpiade. Dari sana kita bisa belajar bahwa latihan, ketekunan, dan kerja keras sejak dini itu sangat penting.
Semoga suatu saat nanti, atlet olahraga juga menjadi salah satu yang disebutkan selain dokter, polisi, dan tentara saat anak-anak ditanya cita-citanya apa. Saya ingin menjadi pelari yang bertanding di piala dunia atau perenang yang berlaga di olimpiade.
ADVERTISEMENT