Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Olimpiade Tokyo 2020 Sepi Tanpa Penonton
27 Juli 2021 10:38 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Primasari N Dewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Olimpiade Tokyo digelar tanpa penonton. Olimpiade yang seharusnya digelar bulan 24 Juli-9 Agustus 2020, terpaksa ditunda setahun kemudian, yakni 23 Juli sampai 8 Agustus 2021 ini.
ADVERTISEMENT
Sudah, tidak usah membayangkan kerugian triliunan yang diderita Jepang, bayangkan saja tidak ada foto penonton yang menyoraki dan menyemangati atletnya di tengah venue pertandingan. Sepertinya bangku penonton beneran bakal kosong. Foto-foto penonton ini biasanya ditunggu-tunggu karena ekspresi penonton yang kadang menggemaskan dan bikin terenyuh. Wajah menangis atau kecewa, tertunduk diam di pojokan bersandar dinding karena tim kesayangannya kalah. Atau wajah bahagia karena timnya menang. Sepertinya foto-foto begituan tidak bakal ada di album Olimpiade Tokyo 2020 ini. Fotografer dan wartawan juga pasti diperketat jumlahnya ya.
Teriakan “Indonesia...prok prok prok...Indonesia...prok prok prok”dari para pendukung saat tim bulu tangkis Indonesia berjuang melawan musuhnya memperebutkan medali emas juga mungkin tidak akan terdengar. Suara yel-yel penyemangat dan bunyi drum yang dipukul juga mungkin tidak ada. Duh kasihan Kevin dan tim Indonesia ya karena tidak ada yang menyemangati langsung, kecuali kontingen Indonesia sendiri. Mungkin malah bertanding dalam kesunyian ya. Hanya terdengar suara sepatu yang beradu dengan lantai dan sesekali suara wasit.
ADVERTISEMENT
Yang jelas, warga negara asing dan warga lokal Jepang dilarang datang untuk menonton di venue pertandingan. Tahun lalu, memang diputuskan warga asing dilarang ke Jepang untuk menonton olimpiade. Namun, 9 Juli 2021 gubernur Tokyo Yoike memutuskan untuk melarang warga lokal menonton olimpiade. Keputusan ini diambil setelah PM Suga mengumumkan keadaan darurat COVID-19 untuk Tokyo karena lonjakan kasus COVID-19 yang cukup parah.
Banyak negara menyayangkan keputusan ini, termasuk IOC (International Olympic Committee) sendiri. Tiket penonton yang sudah terbeli jauh hari sebelumnya terpaksa harus dikembalikan.
Jangan juga membayangkan meriahnya upacara pembukaan dan penutupannya jika dibandingkan dengan olimpiade-olimpiade sebelumnya. Mungkin hanya untuk sekadar formalitas belaka, beberapa perwakilan atlet ditampilkan dan sambutan acara oleh Pemerintah Jepang dan IOC. Sesederhana itu saja mungkin.
ADVERTISEMENT
Jepang sendiri sudah berusaha menyiapkan perhelatan ini jauh-jauh hari sebelumnya. Tahun 2013 saat diumumkan Tokyo menjadi tuan rumah Olimpiade 2020, Jepang sangat menyambut gembira. Tokyo mengalahkan kandidat Istanbul dan Madrid. PM Abe merayakannya dengan berkostum Mario Bros. Berakting dengan diiringi rombongan penari Bon Odori khas Jepang yang memakai kimono motif logo Olimpiade 2020. Iklan olimpiade 2020 jelas sangat meriah yang membuat semua orang ingin datang ke Jepang untuk menyaksikannya secara langsung sembari berwisata di sana.
Lagu Tokyo-bon milik Namewee (orang Malaysia) juga cukup viral seakan memberi tahu dunia kalau Olimpiade 2020 diadakan di Tokyo. Meski agak satir karena mempermasalahkan Japanglish, seperti mcdonald menjadi makudonarudo, google menjadi guuguru, kitkat menjadi kittokatto, dsb, lagu ini cukup terkenal. Lagunya cukup lucu lho. “I don’t speak Japanese but i love Aoi Sora. When you say wakarimashita, i say Hitachi Toyota Kawasaki Nitendo Canon Sony Honda.” Tapi, dengar itu sekarang kok rasanya sedih ya.
ADVERTISEMENT
Di dalam Jepang sendiri, lagu penyemangat berjudul Paprika milik Yonezu juga dikenalkan sebagai salah satu lagu untuk menyambut olimpiade. Berbagai versi dibuat, termasuk versi anak-anak dan diiringi dengan dance yang sangat lincah ceria. Karikatur dan maskot Olimpiade 2020 juga diperkenalkan melalui televisi dan media lainnya. Pemerintah Jepang sangat berharap semua warganya mendukung dan bergembira menyambut acara ini.
Dari segi sarana dan prasarana, berbagai fasilitas, termasuk fasilitas olahraga juga ditingkatkan. Robot khusus untuk membantu olimpiade juga akan digunakan. Saat masih di Jepang tahun 2018, saya juga pernah melihat liputan berita televisi mengenai teknologi jalan yang dibuat dingin saat dilintasi dan akan digunakan saat pertandingan lari olimpiade. Seperti yang diketahui, olimpiade akan dilaksanakan saat mendekati puncak panasnya musim panas di Jepang. Selain suhu di atas 35 derajat, angin yang berembus pada musim panas itu juga sangat bikin gerah dan lembap. Kadang tulisannya 40 derajat tapi rasanya seperti 45 derajat. Tidak enak banget rasanya. Tim kontingen Indonesia didatangkan ke Tokyo lebih awal demi adaptasi cuaca ini lho.
ADVERTISEMENT
Namun, sepertinya persiapan Jepang selama hampir 8 tahun dan sedemikian rupa itu tampaknya hanya akan zonk. Bukan sia-sia sih, cuma semacam tidak gayeng aja. Plus harus menambah anggaran untuk tes PCR semua panitia, kontingen atlet dan melakukan tetek bengek lainnya yang sesuai prokes. Duh berapa duit ya itu? Tapi apa boleh buat ya, pandemi sudah memupuskan harapan semua orang untuk memeriahkan perhelatan olahraga empat tahunan ini.
Menjelang pembukaannya saja, banyak warga Jepang yang berdemo menolak olimpiade ini. Mereka berharap uang dana yang dialokasikan untuk olimpiade ini digunakan untuk menangani COVID-19 saja. Mereka paham bahwa Jepang mengeluarkan dana lebih untuk penyelenggaraan pesta olahraga dunia ini.
Mungkin dunia melihat Jepang yang menyelenggarakan olimpiade di tengah pandemi dan tanpa penonton itu ibarat “nyari untung malah buntung”. Tetapi, Jepang juga mau tidak mau menyelenggarakan ini karena memang sudah menjadi tanggung jawabnya dan demi harga dirinya di mata internasional. Bukan demi keuntungan ekonomi semata. Terlebih China pernah bilang kalau Jepang tidak sanggup, mereka saja yang akan menyelenggarakannya. Wah.
ADVERTISEMENT
Keuntungan ekonomi tentu sulit diraih karena tanpa penonton. Selain uang tiket, penjualan maskot dan suvenir Olimpiade 2020 juga mungkin tak terlalu mendongkrak keuntungan. Restoran, hotel, toko oleh-oleh, dan industri hiburan lainnya di sekitar Tokyo tentu saja tidak jadi dapat keuntungan. Harapan warga lokal Jepang atau diaspora untuk bertemu dan menyemangati atletnya juga pupus dan sirna. Jelas, ini adalah kerugian secara moril maupun materiil.
Bisa jadi juga kontingen dari berbagai negara itu tidak dapat menikmati wisata Jepang di sela-sela jadwal pertandingannya. Saya kok membayangkan begitu selesai tanding disuruh pulang ya, tanpa perlu berlama-lama. Tidak boleh jalan-jalan, atau kalaupun bisa keluar pasti terbatas dan ketat banget. Toko oleh-oleh bisa jadi disediakan di dekat wisma atletnya biar tidak ke mana-mana. Atau kalaupun diperbolehkan tentu dengan protokol kesehatan ketat dan dijaga oleh petugas keamanan.
ADVERTISEMENT
Selain menyelamatkan para atlet dari negara tamunya, Jepang memutuskan olimpiade tanpa penonton juga untuk melindungi rakyatnya. Menghindari kerumunan tentu saja menjadi pilihan satu-satunya untuk mengurangi kasus infeksi COVID-19. Lebih baik “bertekuk lutut” pada Corona, daripada maju memaksakan olimpiade harus digelar dengan penonton dan mendapatkan keuntungan tapi banyak nyawa yang dikorbankan.
Pandemi tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga merenggut kemeriahan event-event yang biasanya dilakukan. Olimpiade, salah satunya. Mungkin kita akan mengingatnya sebagai Olimpiade Tokyo-Corona 2021.
Sudahlah, yang penting agenda Olimpiade Tokyo 2020 akan diselenggarakan sesuai rencana yang diharapkan dan berjalan lancar. Juga tidak menjadi klaster penyebaran COVID-19 baru lagi. Semoga. Ganbare, Nihon!