Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Rantang-rantang Kebersamaan Menjelang Ramadan dan Lebaran
11 Mei 2022 14:29 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Pringadi Abdi Surya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rantang-rantang disusun rapi. Sudah siap diantar ke rumah Pakde dan Bukde. Isinya ada ayam, bihun, telor, ikan asin, dan urap.
ADVERTISEMENT
Aku selalu antusias untuk turut serta mengantarnya. Tradisi mengantar makanan menggunakan rantang ini biasa terjadi pada dua waktu yakni saat menyambut bulan Ramadan dan menjelang lebaran. Hal itu terjalin di keluarga besar kami. Yang muda akan mengantar ke yang tua.
Tradisi ini ternyata ada di berbagai daerah. Bukan cuma di Palembang. Di Jawa Barat namanya Munggahan. Di Jawa Tengah dan sekitarnya juga ada. Istriku yang orang Minang juga mengatakan di kampung halamannya juga masih ada tradisi ini. Rendang yang jadi menu utamanya. Namanya marandang. Tradisi mengantarnya disebut manjalang mintuo, manjalang induk bako.
Perbedaan rantang dalam menyambut Ramadan dan menjelang Idulfitri ini terletak pada menunya. Kalau menjelang Ramadan biasanya isinya berbagai menu seperti ayam dan bihun. Sedangkan kalau menjelang idulfitri, ada kue-kue seperti bolu di dalamnya. Di kampung istriku, ada lemangnya. Namanya malamang.
ADVERTISEMENT
Tahun ini adalah tahun pertama aku menjalani Ramadan satu bulan penuh di Palembang. Istriku yang orang Minang memasak rendang. Walau pada praktiknya, tidak lagi memakai rantang, kami mengantarkannya ke kakak-kakak lewat mangkok.
Tahun ini menjadi tahun yang berharga buat kami. Rasa rindu yang dulu selalu muncul di tanah rantau berkurang karena kini sudah berdekatan. Paling hanya istriku yang kangen dengan keluarganya di Solok. Untungnya di rumah terpasang IndiHome, dengan internet stabil, hampir tiap hari dia melakukan panggilan video ke orang tuanya dan adik-adiknya lalu pada hari lebaran mereka pun melakukan conference untuk saling memaafkan.
Ramadan dan Idulfitri selalu berkesan bukan hanya karena menjadi bulan ibadah kepada Allah. Banyak kebaikan kepada sesama ditumbuhsuburkan. Dan yang paling jamak adalah berbagi makanan.
ADVERTISEMENT
Kadang aku heran melihat berita viral berisikan adegan sebuah rumah makan kecil digrebeg satpol PP. Dua orang "tertangkap basah" sedang makan siang di sana. Magic Com milik penjual disita sebagai barang bukti. Lucu sekali.
Lucu, karena bertentangan dengan prinsip Ramadan itu sendiri. Terlebih, peristiwa ini menunjukkan wajah penguasa sebagai wajah fasis yang tidak berarti di hadapan kapitalis. Beraninya hanya di warung-warung kecil. Sementara hampir tidak pernah kita dengar peristiwa serupa terjadi di restoran-restoran mahal.
Sangat jauh dari kenangan yang ada di masa kecilku. Berpuasa bukan berarti minta dihormati karena berpuasa dengan melarang orang lain untuk tidak berpuasa. Lagi pula ayat tentang puasa adalah ayat yang khos, dimulai dengan frasa "Hai orang-orang yang beriman" bukan "Hai manusia" ataupun "Hai muslim".
ADVERTISEMENT
Rantang-rantang tadi (dalam berbagai nama) memang secara khusus ditujukan kepada saudara (keluarga besar). Namun, ada rantang-rantang lain yang juga dibagikan ke tetangga tanpa memandang apa agamanya, berpuasa atau tidak ia.
Seperti hari puasa pertama, seorang tetangga memberi kami pie cokelat. Menerima itu, kami membalas dengan mengantar buah melon kepadanya.
Dulu, di kampungku, hal itu jamak dilakukan. Antar tetangga saling memberi bukaan juga.
Apalagi dari sisi Bapak, beliau adalah yang tertua kedua dalam keluarga besar yang berdomisili di Palembang. Banyak sekali rantang yang datang ke rumah yang tentu saja tidak akan habis dimakan oleh kami sekeluarga. Isi dari rantang-rantang itu akan kami bagikan ke tetangga yang salah satunya beretnis Tionghoa.
Tentu bukan kebetulan kenapa tradisi-tradisi baik muncul dalam menyambut dan di bulan Ramadan. Puasa memiliki makna yang sangat dalam. Karena khos, yang berhak menentukan nilai puasa itu adalah mutlak Allah SWT. Tidak ada manusia yang boleh menjustifikasi nilai puasa seseorang. Selain makna ibadah kepada Allah itu, makna horizontal kepada sesama manusia juga begitu nyata. Puasa sendiri disederhanakan sebagai menahan lapar dan dahaga untuk merasakan penderitaan orang-orang miskin yang sering kelaparan. Sungguh, aneh rasanya ketika ada yang menggunakan kekuasaan untuk menghukum orang yang makan (tidak berpuasa). Karena kita sebagai manusia, sekali lagi, tidak berhak menilai kenapa orang tidak berpuasa dan seberapa murni nilai puasa seseorang.
ADVERTISEMENT
Daripada mendukung kegiatan semacam itu, saya jadi teringat seorang teman yang mampu berkomitmen membagi-bagikan makanan dari koceknya sendiri setiap hari selama Ramadan. Setiap sore, sepulang dari kantor, ia akan berhenti di sebuah lampu merah. Ia bagi-bagikan makanan kecil dan kadang kala nasi kotak kepada pengendara dan para penghuni jalanan di sekitar itu. Tentu saja, ia tidak pernah bertanya apakah mereka berpuasa apalagi bertanya apa agamanya.
Sambil menulis ini, sambil melihat peristiwa di kota ini, dan berdoa supaya dipertemukan kembali dengan Ramadan dan Idulfitri, aku mengenang rantang-rantang itu. Rantang-rantang yang punya nilai kebersamaan. Dan kebersamaan itu, saat berpuasa, bukan hanya milik orang-orang berpuasa, tetapi milik semua manusia. Bahkan semesta. Bukankah Islam turun sebagai rahmat bagi semesta alam?
ADVERTISEMENT