Teman Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya

Pringadi Abdi Surya
Penulis paruh waktu. Pencinta penuh waktu.
Konten dari Pengguna
5 April 2022 19:43 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pringadi Abdi Surya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak ROHIS. Dokumentasi pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak ROHIS. Dokumentasi pribadi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lampu mushala sengaja dimatikan. Pada sepertiga malam kami bangun dan sengaja menunaikan tahajud. Setelah itu sesi muhasabah dimulai. Terdengar banyak suara isakan ketika perenungan dimulai. Bahkan ada yang menangis sejadi-jadinya membayangkan dosa demi dosa, terutama kepada orang tua. Namun, sesi yang harusnya begitu khusuk itu buyar karena ada suara yang berbeda datang. Tuuut. Keras sekali bunyinya. Ya, ada yang mengentut!
ADVERTISEMENT
Kenangan-kenangan seperti itulah yang menjadikan masa SMA-ku sangat indah. Di tengah maraknya berbagai tudingan terhadap anak ROHIS kini, aku siap memberi testimoni bahwa masa-masa kerohisanku jauh dari kata radikalisme. Di sana, hal yang paling utama kupelajari adalah tentang ukhuwah islamiyah. Bahwa sesama muslim itu bersaudara. Dan lebih tinggi dari itu, bersaudara dalam kemanusiaan.
Bisa dibilang sebagian besar dari kami tidak berpunya. Sepulang sekolah, sambil menunggu jadwal les, kami punya cara yang untuk makan siang. Seorang teman akan mengambil sajadah. Lalu kami akan mengumpulkan uang ke balik sajadah itu tanpa terlihat. Tidak ada yang tahu siapa yang menyumbang atau yang tidak menyumbang. Uang yang terkumpul kemudian akan dibelikan nasi sayur dengan lauk tempe goreng. Berapapun hasilnya, nasi bungkus itu akan disatukan di atas nampan. Lalu kami mengelilingi nampan dan makan bersama-sama.
ADVERTISEMENT
Kebersamaan itu juga muncul dalam prinsip fastabiqul khairat. Berlomba-lomba dalam kebaikan. Biasanya bulan Ramadhan begini kami akan saling bertanya sudah juz berapa. Tak mau kalah satu sama lain. Makanya ketika ada berita viral pemuda-pemudi mengaji di jalan raya, aku tak bisa ikutan ribut. Apalagi menjustifikasi sebagai riya. Sebab yang namanya riya itu di dalam hati dan Allah saja yang menilainya. Aku lebih berbaik sangka mereka memiliki ghirah/semangat beribadah yang besar saja dan kalaupun tidak sepakat bisa dibicarakan baik-baik.
Begitu pula dalam prestasi akademik. Kebetulan pada angkatan kami, Ketua Rohisnya adalah juara umum pertama di sekolah. Wakilnya juara umum kedua di sekolah. Dan anggota intinya kalau tak juara kelas, juga masuk ke dalam kelas unggulan di sekolah. Meski jarang belajar bersama, prinsip kami sama bahwa iman dan ilmu pengetahuan itu sederajat.
ADVERTISEMENT
Puncak kenangan itu adalah saat menjelang pengumuman kelulusan tes universitas. Saat itu namanya Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Pada hari yang sama, ada pertandingan sepakbola antara Indonesia U-20 vs Thailand U-20 di Stadion Jakabaring. Sore itu hujan turun deras sekali. Kami duduk di tribun dengan tiket yang paling murah. Merana menyaksikan kekalahan pasukan Garuda muda 1-2 dari Negeri Gajah. Lalu pulangnya tak ada kendaraan umum sama sekali.
Terpaksa kami jalan kaki dari stadion sampai dekat Jembatan Ampera. Belum makan malam sama sekali, kami bertolak ke Palcomtech, warnet terbesar (dan mungkin tercepat koneksinya) di Kota Palembang saat itu guna memeriksa hasil kelulusan tes.
Sampai di Palcomtech, suasana sudah mulai ramai dan alhamdulillah kami kebagian komputer. Koneksinya jangan ditanya, tahun 2005, ditambah berebut masuk ke server yang sama seluruh Indonesia, usaha itu sering gagalnya. Ajaibnya, dari semua yang ada di warnet, orang pertama yang mampu menembus akses itu adalah Wilaga, sang wakil ketua rohis. Hasilnya pun istimewa dia lulus di Teknik Industri ITB. Dan orang kedua, tak berselang lama dari itu, adalah aku, yang juga lulus di Matematika ITB. Sang ketua rohis tidak ikut SPMB, dia sudah lebih dulu lulus lewat jalur PMDK di Teknik Elektro UI. Malam itu adalah malam yang ajaib meski tak sempurna, karena ada satu teman kami yang tidak lulus.
ADVERTISEMENT
Maka tiap kami berkumpul, kami akan mengenang masa-masa SMA itu, masa-masa muda ketika kami merasa segalanya bisa diraih tanpa rasa takut gagal.
Sebagian sahabat sejak SMA. Dokumentasi pribadi.
Tak terasa sudah hampir 17 tahun kami terpisah, beda kota, bahkan beda pulau, dan menyaksikan zaman berubah satu demi satu. Warnet yang dulu harus buru-buru didatangi karena takut penuh, kini mungkin hampir tak ada. Semua itu bisa diakses lewat genggaman tangan. Internet stabil menjadi kebutuhan, dan walaupun sedang senggang, bisa mencari kafe-kafe terdekat yang menyediakan layanan wifi cepat untuk dapat mengakses berbagai konten yang dibutuhkan.
Namun ada yang tak berubah. Ukhuwah di antara kami masih terjalin erat. Bahkan bila tak bertemu, kami bisa saling video call, atau bahkan zoom bareng untuk berbuka puasa bersama. Kebetulan di rumah terpasang IndiHome dengan jaringan internet stabil, sehingga untuk melakukan kontak dengan video menjadi mudah.
ADVERTISEMENT
Tubuh kami sudah melebar. Mimpi punya perut sixpack tak pernah jadi kenyataan. Entahlah, di sisi lain aku heran dengan orang-orang yang menghindari pertemuan dengan teman-teman sekolahnya. Sebab bagiku, bahagia rasanya jika bisa bertukar sapa, dan apalagi mendengar kabar baik pencapaian mereka. Sebab, salah satu hal terindah di dunia ini adalah mendoakan kebahagiaan teman-teman kita. Dan seperti kata Dea Anugrah, Hidup begitu indah dan hanya itu yang kita punya. Dan teman-teman kita itu adalah bagian dari hidup kita!
(2022)