Konten dari Pengguna

Gelar Seminar, Fakultas Hukum UPH Dorong Perbaikan Peradilan lewat Revisi KUHAP

Universitas Pelita Harapan
Universitas Pelita Harapan
30 April 2025 11:15 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Universitas Pelita Harapan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (FH UPH) menyelenggarakan Seminar Hukum Nasional bertema "Reformasi Hukum Acara Penyidikan" pada 17 April 2025, di UPH Kampus Lippo Village, Tangerang.
zoom-in-whitePerbesar
Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (FH UPH) menyelenggarakan Seminar Hukum Nasional bertema "Reformasi Hukum Acara Penyidikan" pada 17 April 2025, di UPH Kampus Lippo Village, Tangerang.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan fondasi utama dalam mengatur jalannya proses peradilan pidana di Indonesia, mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, hingga proses persidangan. Saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tengah melakukan revisi terhadap KUHAP untuk memperkuat sistem peradilan pidana nasional. Melalui Komisi III, DPR RI menargetkan penyelesaian Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP ini pada akhir tahun 2025. Revisi tersebut dinilai penting untuk mengatasi berbagai persoalan dalam praktik penyidikan dan penegakan hukum, sekaligus mendorong terciptanya sistem hukum yang lebih adil, transparan, dan akuntabel. Sebagai bentuk dukungan terhadap upaya reformasi hukum ini, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (FH UPH) menyelenggarakan Seminar Hukum Nasional bertema "Reformasi Hukum Acara Penyidikan" pada 17 April 2025, di UPH Kampus Lippo Village, Tangerang.
ADVERTISEMENT

Diikuti sebanyak 100 peserta yang hadir langsung di Auditorium Gedung D Ruang 501 serta disiarkan secara daring, seminar ini menjadi wadah penting bagi akademisi, praktisi, mahasiswa, dan aparat penegak hukum untuk membahas kebutuhan dalam revisi KUHAP. Selain itu, seminar ini juga bertujuan untuk mengevaluasi apakah tugas Kepolisian dan Kejaksaan sudah sesuai dengan prinsip negara hukum, serta memberikan rekomendasi untuk memperkuat sistem peradilan pidana di Indonesia.

Dalam seminar ini, empat narasumber hadir membagikan pandangannya, yaitu Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H (Guru Besar Hukum Universitas Indonesia), Prof. Dr. Jamin Ginting, S.H., M.H., M.Kn (Dosen Fakultas Hukum UPH), Dr. Fachrizal Afandi, S.Psi., S.H., M.H., Ph.D (Akademisi Universitas Brawijaya), dan Arif Maulana, S.H., M.H (Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta).
ADVERTISEMENT
Mengutamakan Hak Asasi Manusia dalam Penyidikan
Dalam paparannya berjudul ‘Urgensi Memperkuat Pengawasan dan Akuntabilitas Penyidikan dalam Revisi KUHAP’, Arif Maulana membahas pentingnya penguatan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam proses penyidikan. Ia mengangkat data dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang mencatat adanya 46 kasus kekerasan dan penyiksaan dalam proses penyidikan oleh aparat penegak hukum sepanjang 2022 hingga 2024, dengan total 294 korban. Beberapa di antaranya bahkan dilaporkan meninggal dunia.
Arif juga menyampaikan pandangannya terkait perlunya peningkatan transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi revisi KUHAP. Ia menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara kewenangan aparat penegak hukum dalam proses penyidikan dengan perlindungan hak-hak dasar semua pihak yang terlibat, termasuk tersangka, terdakwa, korban, dan saksi. Menurutnya, penyediaan bantuan hukum sejak awal proses penyidikan merupakan aspek krusial dalam mewujudkan proses peradilan yang adil dan menghormati prinsip-prinsip HAM.
ADVERTISEMENT
Arif menutup paparannya dengan menyerukan perlunya revisi KUHAP yang benar-benar berpihak pada keadilan, bukan sekadar memperkuat kekuasaan negara atas rakyat. “Kita butuh KUHAP baru yang sungguh-sungguh menjamin proses peradilan yang jujur, adil, dan menghormati hak asasi manusia,” ucapnya.
Menghormati Martabat Manusia dalam Proses Penyidikan
Dalam pemaparannya, Dr. Fachrizal menekankan bahwa penerapan hukum pidana harus tetap menghormati martabat manusia. Ia mengingatkan pentingnya menjaga proses penyidikan dari perlakuan yang tidak manusiawi, termasuk membatasi eksposur tersangka di media massa.
"Penerapan upaya paksa, seperti penahanan, harus dilakukan secara proporsional dan bertujuan untuk memastikan kehadiran terdakwa di persidangan, bukan sebagai penghukuman sebelum adanya putusan pengadilan," ujar Dr. Fachrizal.
Dr. Fachrizal juga menyampaikan bahwa reformasi hukum acara pidana perlu mempertimbangkan sejumlah prinsip penting, termasuk exclusionary rules, yaitu ketentuan bahwa bukti yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat digunakan di persidangan. Ia juga menyoroti prinsip fruit of the poisonous tree, yang menyatakan bahwa bukti lanjutan yang berasal dari bukti tidak sah turut dianggap tidak sah.
ADVERTISEMENT
Di akhir paparannya, Dr. Fachrizal menekankan pentingnya memperkuat peran hakim sejak tahap awal penyidikan. Ia mengusulkan penguatan mekanisme praperadilan, bahkan mempertimbangkan model hakim komisaris seperti yang diterapkan di beberapa negara, untuk memastikan proses penyidikan berjalan sesuai prinsip keadilan.
Restorative Justice: Solusi Alternatif dalam Penyelesaian Kasus Kejahatan
Selanjutnya Prof. Topo memberikan paparan yang berjudul ‘Restorative Justice dan Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan: Filosofi, Syarat, dan Konteksnya’. Dalam paparannya, ia membahas konsep keadilan restoratif. Menurutnya, keadilan restoratif adalah cara untuk menyelesaikan masalah dengan melibatkan pelaku, korban, dan keluarga dari kedua belah pihak. Tujuannya adalah untuk mencari solusi bersama, bukan hanya mengandalkan negara atau aparat penegak hukum.
“Salah satu tujuan utama dari keadilan restoratif adalah memperbaiki kerugian yang dialami korban, sekaligus memberikan kesempatan bagi pelaku untuk menunjukkan penyesalannya. Dalam proses ini, pelaku tidak hanya memberikan ganti rugi kepada korban, tetapi juga melalui pemulihan psikologis, sehingga mereka bisa kembali ke masyarakat dengan lebih baik,” ucap Prof. Topo.
ADVERTISEMENT
Namun, tidak semua kasus kejahatan dapat diselesaikan dengan pendekatan ini. Kasus-kasus besar, seperti korupsi, mungkin memerlukan langkah-langkah yang lebih kompleks daripada mediasi. Prof. Topo menegaskan bahwa keadilan restoratif bukanlah pengganti sistem peradilan pidana yang ada, melainkan pendekatan tambahan yang dapat diterapkan pada kejahatan ringan atau yang memungkinkan penyelesaian melalui musyawarah.
Meskipun keadilan restoratif memiliki potensi besar untuk meningkatkan sistem hukum, Prof. Topo mengingatkan bahwa tidak semua negara atau sistem hukum siap mengadopsinya. Ia menilai perlu adanya penyesuaian dengan hukum yang berlaku, seperti yang tercantum dalam KUHAP. Untuk itu, Prof. Topo mengusulkan evaluasi sistem hukum Indonesia agar dapat mengakomodasi prinsip-prinsip keadilan restoratif.
Pemisahan Peran Penyidik Kepolisian dan Kejaksaan
Dalam paparannya yang berjudul ‘Peran Penegak Hukum dalam RUU KUHAP’, Prof. Jamin Ginting menyoroti pentingnya pemisahan fungsi yang lebih jelas antara penyidik dari Kepolisian dan Kejaksaan. Di banyak negara, penyidik dari Kepolisian dan Kejaksaan memiliki tugas yang terpisah.
ADVERTISEMENT
“Jaksa bertugas untuk melakukan penuntutan, sementara polisi memiliki peran dalam mengumpulkan bukti. Namun, dalam praktiknya di Indonesia, terdapat beberapa tantangan terkait pemisahan tugas antara kedua lembaga ini. Jaksa sebagai penuntut umum sebaiknya fokus pada tugas penuntutan, sementara fungsi penyidikan dapat diserahkan kepada Kepolisian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Dalam beberapa kasus, kurangnya koordinasi yang efektif antara jaksa dan penyidik kepolisian dapat menghambat kelancaran penyidikan dan berujung pada ketidakpastian hukum,” ujar Prof. Ginting.
Prof. Ginting juga menyarankan agar sistem hukum memberikan wewenang kepada hakim untuk melakukan pemeriksaan awal sebelum melanjutkan proses hukum. Langkah ini penting untuk memastikan bahwa bukti yang tersedia cukup untuk mendasari keputusan penahanan. Ia juga menekankan pentingnya pengawasan yang baik dalam setiap tahap proses hukum, guna menghindari potensi penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, Prof. Ginting mendorong agar seluruh lembaga penegak hukum dapat meningkatkan koordinasi dan kerja sama, agar proses penyidikan berjalan dengan lebih adil dan efektif.
ADVERTISEMENT
Seminar ini memberikan gambaran yang jelas mengenai urgensi reformasi sistem hukum acara penyidikan di Indonesia, yang sangat relevan bagi mahasiswa dan dosen dalam memahami perkembangan hukum terkini. Dengan beragam usulan yang dipaparkan, diharapkan revisi KUHAP dapat menciptakan sistem peradilan yang lebih efisien, adil, dan transparan. Selain itu, seminar ini memberikan kontribusi penting dalam memperkuat pemahaman tentang negara hukum yang menjunjung tinggi hak-hak individu, serta membuka wawasan baru bagi civitas academica dalam mengembangkan perspektif hukum yang lebih holistik.
Sebagai bagian dari komitmennya, UPH terus berupaya menghadirkan pendidikan berkualitas tinggi, menghasilkan lulusan yang profesional, berakhlak mulia, dan mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat.