Konten dari Pengguna

Hillary Brigitta Lasut, Anggota DPR Perempuan dengan Gelar Doktor Hukum Termuda

Universitas Pelita Harapan
Universitas Pelita Harapan
25 Agustus 2023 15:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Universitas Pelita Harapan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dr. Hillary Brigitta Lasut, S.H., LL.M., resmi menyandang gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Pelita Harapan (UPH) usai dinyatakan lulus dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor Hukum di Grand Chapel UPH Lippo Village, Karawaci, Tangerang, pada Sabtu, 12 Agustus 2023.
zoom-in-whitePerbesar
Dr. Hillary Brigitta Lasut, S.H., LL.M., resmi menyandang gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Pelita Harapan (UPH) usai dinyatakan lulus dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor Hukum di Grand Chapel UPH Lippo Village, Karawaci, Tangerang, pada Sabtu, 12 Agustus 2023.
ADVERTISEMENT
Dr. Hillary Brigitta Lasut, S.H., LL.M., resmi menyandang gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Pelita Harapan (UPH) usai dinyatakan lulus dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor Hukum di Grand Chapel UPH Lippo Village, Karawaci, Tangerang, pada Sabtu, 12 Agustus 2023. Ia berhasil menyelesaikan masa studinya melalui disertasi berjudul “Penerapan Konsep Restorative Justice Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Pasca Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016”.
ADVERTISEMENT

Dalam presentasinya, Hillary menjelaskan bahwa korupsi merupakan masalah penting yang dihadapi oleh setiap negara di dunia, termasuk Indonesia. Ia mengatakan, berdasarkan data yang dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII) pada 2022, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia merosot empat poin menjadi 34 dari yang sebelumnya 38 pada 2021. Adapun poin 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih. Perolehan ini menempatkan Indonesia pada peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei.

Di Indonesia, kerugian keuangan negara atau perekonomian negara menjadi unsur dari perbuatan korupsi yang telah diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Dalam perkembangannya, UU tersebut mengalami perubahan, di mana Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2016 melalui putusan Nomor 25/PUU-XIV/2016 menyatakan frasa kata “dapat” dalam rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan konstitusi.
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini menyampaikan, dengan keputusan MK tersebut, status tipikor yang selama ini bersifat melawan hukum formil telah beralih sifat menjadi melawan hukum material. Status itu juga mensyaratkan bahwa kerugian keuangan negara harus dihitung secara nyata atau pasti. MK, kata Hillary, dalam putusannya juga menilai unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (Potential Loss), melainkan harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (Actual Loss).
“Mahkamah Konstitusi menegaskan dalam putusannya bahwa kriminalisasi kebijakan terjadi karena ada perbedaan pemaknaan kata “dapat” oleh aparat penegak hukum dalam unsur merugikan keuangan negara. Kondisi ini sering kali menimbulkan persoalan mulai dari perhitungan jumlah kerugian negara, hingga penentuan lembaga yang berwenang dan memiliki kualifikasi dalam menghitung kerugian negara. Hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum, sehingga konsep Actual Loss lebih memberikan kepastian hukum yang dapat lebih menyelaraskan instrumen hukum nasional,” papar Hillary menjelaskan latar belakang disertasinya.
ADVERTISEMENT
Dalam penelitiannya, Hillary juga menekankan bahwa konsep restorative justice bisa diterapkan agar kerugian keuangan negara dapat diselamatkan dengan optimal. Menurut Hillary, konsep restorative justice dapat dilakukan pada tahap pra ajudikasi (pemeriksaan permulaan atau penyidikan) oleh lembaga Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di samping itu, orientasi utama penerapan restorative justice juga untuk menjalankan putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016.
Ia pun menilai, diperlukan revisi terhadap Peraturan Kepolisian (Perpol) dan Peraturan Kejaksaan yang saat ini masih belum mengakomodir bahwa tipikor dapat diselesaikan melalui restorative justice. Namun, Hillary menegaskan, restorative justice hanya berlaku bagi tindak pidana awal. Jika sudah terjadi berkali-kali, maka konsep itu tidak berlaku lagi.
Hillary juga menyoroti Pasal 3 dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Nomor 1 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa lembaga tersebut masih menggunakan kata “indikasi” dalam melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya kerugian negara. Terkait hal ini, Hillary berharap, kata “indikasi” tersebut dihilangkan agar BPK juga konsisten dengan putusan MK tahun 2016.
ADVERTISEMENT
Lulusan program studi Strata Satu (S1) Ilmu Hukum UPH angkatan 2014 ini juga menawarkan perkara tipikor yang masuk dalam kategori restorative justice dapat diselesaikan tanpa dipidana, melainkan secara perdata khusus. Ia mengatakan, kasus tipikor yang dapat menggunakan restorative justice tersebut maksimal Rp1 miliar. Namun, angka tersebut bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan pemerintah dalam mereformasi birokrasi untuk pencegahan tipikor.
Restorative Justice juga pantas dipertimbangkan mengingat Indonesia sedang mengalami fenomena penjara yang over capacity. Mengapa masyarakat selalu diberikan konsumsi informasi bahwa penindakan hukuman badan menjadi metode yang paling memuaskan dalam penanganan tindak pidana korupsi? Dengan metode tersebut, saya rasa kita malah keluar uang lebih banyak. Kita sudah terlalu lama membiayai pelaku tindak pidana korupsi untuk hidup beserta dengan biaya makan, dan juga biaya jaminan kesehatan di dalam penjara. Biaya untuk penindakan hukum itu jauh lebih besar dibandingkan nilai kerugian negara,” ucap Hillary.
ADVERTISEMENT
Hillary menambahkan, adanya penelitian tersebut diharapkan dapat melahirkan suatu gagasan baru yang berasal dari UPH, untuk meningkatkan sistem birokrasi dan penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Setelah mendengar paparan dari Hillary, Rektor UPH sekaligus Ketua Penguji Sidang Terbuka, Dr. (Hon) Ir. Jonathan L. Parapak, M.Eng.Sc., mengatakan, “Dr. Hillary Brigitta Lasut adalah Doktor yang ke-142 lulusan Program Doktor S3 Ilmu Hukum dari Fakultas Hukum UPH. Kami seluruh civitas akademika UPH menyampaikan selamat.”
Sidang Terbuka Dr. Hillary juga turut dihadiri para penguji, antara lain Dr. Velliana Tanaya, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum UPH; Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S., selaku Guru Besar Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus Promotor; dan Assoc. Prof. Dr. Henry Soelistyo Budi, S.H., LL.M., selaku Ketua Program Studi Doktor Ilmu Hukum UPH sekaligus Ko-Promotor.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya para oponen ahli antara lain Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Nasional (UNAS) Prof. Dr. Basuki Rekso W., S.H., M.S; Senior Advisor Fakultas Hukum UPH Prof. Dr. Bintan R. Saragih, S.H; Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H; dan Dosen Business Law BINUS University Dr. Muhammad Reza Syariffudin Zaki, S.H., MA.
Momen sidang terbuka promosi Doktor Hukum tersebut juga turut dihadiri sejumlah tokoh seperti, Ketua Umum Partai Demokrat Mayor Inf. H. Agus Harimurti Yudhoyono, M.Sc., M.P.A., M.A; Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan (MPR) Prof. Dr. H. Sjarifuddin Hasan., MM., MBA; Bupati Talaud Dr. Elly Engelbert Lasut, M.E; Co-Founder Yayasan Pendidikan Pelita Harapan (YPPH) Dr. (H.C.) James T Riady; Mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Letnan Jenderal TNI (Purn) Evert Ernest Mangindaan, S.I.P; Kepala Densus 88 Anti Teror Polri Irjen. Pol. Marthinus Hukom, S.I.K., M.Si., serta tokoh-tokoh lainnya.
ADVERTISEMENT
Sambutan dan ucapan selamat juga disampaikan oleh Agus Harimurti Yudhoyono. Ia mengungkapkan bahwa penelitian tersebut sangat penting untuk menegakkan keadilan di Indonesia. Pria yang akrab disapa AHY itu berharap, penelitian yang digagas Hillary dapat membawa kemajuan bagi hukum Indonesia serta diimplementasikan di masa mendatang.
“Saya ingin mengajak diri sendiri dan kita semua untuk tidak pernah berhenti belajar. Mudah-mudahan kisah Dr. Hillary ini bisa menginspirasi kita untuk terus belajar dan berkarya,” pesan AHY.
Mengakhiri sidang terbuka, Dr. Hillary juga menerima penghargaan secara simbolis dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI), sebagai anggota DPR RI perempuan dengan gelar Doktor Hukum termuda (27 tahun). Lulusnya Hillary diharapkan dapat terus menjadi motivasi bagi masyarakat untuk memberikan kontribusi positif bagi bangsa. UPH juga terus berkomitmen menghadirkan pendidikan berkualitas untuk mencetak Sumber daya Manusia (SDM) unggul yang mampu meraih prestasi terbaik.
ADVERTISEMENT
Tentang Doktor Hukum UPH
Program Studi (prodi) Doktor Hukum UPH dirancang untuk membekali mahasiswa berprestasi dengan keterampilan penelitian tingkat lanjut. UPH juga senantiasa berkomitmen menghasilkan lulusan Doktor Hukum yang mampu mengembangkan ilmu hukum dan mengamalkannya untuk kepentingan masyarakat. Prodi Doktor Hukum UPH siap membentuk mahasiswa menjadi pakar dan pemimpin di bidang hukum yang berdampak nyata dan membawa transformasi dalam dunia kerja maupun bermasyarakat. Informasi lebih lanjut hubungi 0812-8535-2278 atau daftar di sini.