Jusuf Hamka, Mualaf yang Pernah Jualan Asongan, Kini Jadi Bos Perusahaan Tol

Konten dari Pengguna
29 April 2020 13:12 WIB
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Profil Orang Sukses tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
In Frame-Jusuf Hamka (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
In Frame-Jusuf Hamka (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Saya anak kampung yang mempunyai rezeki seperti anak kota” kalimat tersebut seringkali dilontarkan oleh pengusaha sukses di bidang infrastruktur, Jusuf Hamka saat melakukan wawancara dengan berbagai media.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut tentu saja beralasan karena pria ini lahir dari keluarga sederhana dan banyak menghabiskan masa kecilnya di pinggiran kota Jakarta.
Walau dirinya kini menjadi direktur utama perusahaan jalan tol PT Citra Marga Nusaphala Persada dan disebut sebagai profil orang sukses, nyatanya ia juga pernah mengalami kesulitan hidup ketika bertahun-tahun menjadi seorang pengangguran.
Kisah inspiratifnya bukan hanya itu, kata 'Hamka' yang disandang di belakang namanya juga turut andil dalam proses pria berusia 63 tahun ini memeluk agama Islam sebagai keyakinan.
Jusuf Hamka merupakan seorang mualaf Tionghoa yang besar di Jakarta. Ia menghabiskan masa kecilnya di daerah Pasar Baru, Jakarta Pusat sebagai pedagang asongan untuk menambah uang jajan kala itu. Segala jenis makanan mulai dari es mambo hingga kacang-kacangan yang dibungkus dengan plastik pernah ia jual di sekitar masjid Istiqlal.
ADVERTISEMENT

Perjalanan Sebagai Sosok Mualaf

Karena kegiatannya tersebut, membuat Jusuf mempunyai banyak teman yang berasal dari penduduk pribumi pemeluk agama Islam.
Bahkan ketika bermain ke rumah temannya ia selalu penasaran mengapa kawannya tersebut diperintahkan sholat oleh orang tua, hal itu juga pernah ia alami saat temannya berkata “Nanti ya habis beduk subuh” sebelum mereka pergi ke Monas untuk olahraga pagi. Nah dari kejadian itulah perlahan ia bertanya tentang arti sholat dan mulai mencari tahu seluk-beluk agama Islam.
Semasa kecil dagangan Jusuf Hamka selalu habis karena pembelinya terkesima dengan penampilan Jusuf yang bersih dan lucu, maklum kala itu hanya ia seorang yang mempunyai perawakan Tionghoa di antara temannya.
Namun, Jusuf tak segan membagikan hasil penjualannya itu untuk mentraktir teman yang dagangannya tidak laku, lho.
Jusuf Hamka bersama Buya Hamka. (Foto: Instagram/@jusufhamka)
Beranjak remaja ia kembali ke Samarinda tempat keluarganya berasal, di umur 17 tahun Jusuf memutuskan untuk dikhitan tanpa sepengatahuan orang tuanya. Karena hal tersebut, di rumah ia sering menutupi dengan memakai sarung namun gerak-geriknya terbaca oleh sang kakak dan akhirnya mengaku jika ia sudah dikhitan.
ADVERTISEMENT
Baiknya, saat itu orang tua Jusuf menanggapi hal tersebut biasa saja dan tidak marah, justru membebaskan Jusuf untuk mempelajari lebih dalam agama yang berbeda dengan keyakinan keluarga.
Akhirnya setelah kembali ke Jakarta ia memutuskan untuk menjadi mualaf dan bertemulah dengan Buya Hamka di Al-Azhar saat ingin mengucapkan dua kalimat syahadat.
Selang beberapa bulan belajar dengan Buya karena melihat ketulusan Jusuf, ia pun diangkat menjadi anak ideologis dan diberi kata ‘Hamka’ di belakang namanya.
Saat itu ia tidak memutuskan untuk menjadi sosok yang sama dengan Buya, melainkan Jusuf ingin menyebarkan agama Islam dengan caranya sendiri, yakni menjadi seorang pengusaha.

Tidak Tuntasnya Pendidikan Jusuf

Jusuf sebenarnya pernah mengenyam pendidikan di sejumlah perguruan tinggi, sebut saja FISIP Universitas Jayabaya pada 1980, Bisnis Administrasi Columbia College, Vancouver, Kanada pada 1977, Kedokteran Universitas Trisakti 1974, bahkan Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus pernah ia jalani, namun semua itu tidak dituntaskan sampai mendapat gelar.
ADVERTISEMENT
Bukan karena tidak cerdas, melainkan ia memang tidak suka dengan formalitas
Jusuf Hamka sebelah kiri- Presiden Jokowi- Menteri PUPR. Foto: Instagram @jusufhamka
Kepahitan dirasakan oleh Jusuf karena tidak kunjung mendapat pekerjaan, padahal ia telah melamar ke lebih dari 200 perusahaan. Hal itu membuat dirinya selama 14 tahun dari 1994-2008 tidak mempunyai pekerjaan tetap dan hanya ikut-ikutan teman.
Singkat cerita, ia belajar dari kesalahan dan mulai menggeluti pekerjaan sebagai penasihat di tiga perusahaan, diantaranya PT Indosiar Visual Mandiri, PT Indocement Tunggal Prakarsa, hingga akhirnya menjadi direktur utama di PT Citra Marga Nusaphala Persada.

Dikenal Sebagai Sosok yang Dermawan

Kesuksesan yang ia gapai sekarang tak lantas membuat Jusuf lupa diri, dari pengalamannya selama menjadi pedagang asongan ternyata menginspirasi Jusuf untuk selalu bersedekah, diketahui pada 2018 ia membangun masjid Babah Alun dengan bentuk bangunan khas Tionghoa di bawah kolong Tol Ir. Wiyoto Wiyono.
ADVERTISEMENT
Nama masjid diambil dari namanya kecilnya dulu ‘Alun Josef’, pembangunan didasari agar warga sekitar kolong jembatan dapat mempergunakan sebaik mungkin bahkan disediakan balai masyarakat untuk mereka yang tidak mempunyai tempat tinggal.
Anak kecil di Masjid Babah Alun. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Ia juga membuka warung nasi kuning Podjok Halal khusus fakir miskin dan duafa di Jakarta Utara yang seporsi nasinya hanya Rp 3.000 dan bisa mengambil sepuasnya. Namun, tak jarang jika yang datang tidak mempunyai uang akan diberi secara gratis oleh Jusuf Hamka.
Baru-baru ini Jusuf juga membuka warung sembako murah di Jalan Yos Sudarso untuk masyarakat yang terdampak corona. Dengan membayar Rp 5.000, pembeli bisa membawa satu paket sembako yang terdiri dari beras, mie instan, kornet dan teh. Warung itu buka dari Senin-Jumat pukul 11.30 sampai 12.30 WIB dan menjual 100 sembako per harinya.
ADVERTISEMENT
“Jangan pernah merasa jadi miskin saat membantu orang lain”
prinsip itu yang selalu dipegang oleh Jusuf Hamka hingga namanya besar seperti saat ini.