Kisah Orang Keturunan China Jadi Konglomerat Terbesar di RI Saat Era Kolonial

Konten dari Pengguna
9 Mei 2021 11:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Profil Orang Sukses tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pabrik Gula Oei Tiong Ham di Krebet di masa lalu. (Foto: rni.co.id).
zoom-in-whitePerbesar
Pabrik Gula Oei Tiong Ham di Krebet di masa lalu. (Foto: rni.co.id).
ADVERTISEMENT
Siapa sangka, dahulu Indonesia di era kolonial ternyata memiliki seorang konglomerat besar keturunan Tionghoa yang dianggap sebagai orang terkaya di sepanjang Hindia Belanda (Indonesia) dan Timur Jauh antara abad ke-19 hingga ke-20. Namanya adalah Oei Tiong Ham.
ADVERTISEMENT
Oei Tiong Ham cukup masyhur dengan julukan "Sang Raja Gula" karena bisnis gulanya yang begitu menggurita pada masa itu. Ia bahkan berhasil meraup kekayaan 200 juta Gulden atau mencapai Rp 27 triliun (per November 2018), sehingga dijuluki "the richest man between Shanghai and Australia" oleh Surat Kabar De Locomotief.
Uniknya, Oei Tiong Ham yang beretnis Tionghoa yang saat itu notabene dianggap sebagai "warga kelas dua" mampu membawahi orang-orang Belanda yang digolongkan ke dalam "warga kelas satu." Terlebih, Indonesia saat itu masih diduduki pemerintah kolonial Belanda.
Jaringan bisnis Oei Tiong Ham saat itu bahkan sudah menjadi yang pertama di Asia Tenggara yang mampu mencapai taraf multinasional dengan pasar yang meluas hingga ke Amerika Serikat dan Eropa. Kisah kariernya cukup panjang dalam meraih kesuksesan tersebut.
ADVERTISEMENT
Oei Tiong Ham atau dikenal sebagai OTH lahir di Semarang pada 19 November 1866 dari keluarga pengusaha asli Tionghoa. Ayahnya, Oei Tjien Sien merupakan seorang imigran asal Fujian, China yang memiliki pabrik gula bernama Kian Gwan di Semarang. Sejak kecil, OTH hidup cukup mapan berkatbisnis ayahnya yang cukup sukses.
Meski begitu, OTH bukanlah seorang anak yang hanya menerima kekayaan orang tuanya saja. Ia memiliki ambisi tersendiri untuk mengembangkan bisnis keluarganya tersebut agar semakin besar, meskipun dengan mengambil langkah yang berbeda dengan ayahnya.
Justru berkat ambisinya tersebut, OTH diberi tanggung jawab oleh ayahnya untuk meneruskan Kian Gwan di umur yang cukup dini, yakni 19 tahun. Di bawah kendalinya lah, Kian Gwan berkembang sangat pesat hingga menjadi perusahaan besar. Saat itu pula, Kian Gwan berganti nama menjadi Oei Tiong Ham Concern (OTHC).
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan ayahnya yang menggunakan pendekatan kekeluargaan ala Timur, OTH lebih memilih gaya serba Barat, yakni dengan membayar profesional dari Eropa untuk mengelola bisnisnya. Selain itu, di tangannya pula OTHC mengadopsi teknologi modern lengkap dengan para teknisi yang semuanya dari Barat. Pada masa itu, industrialisasi Barat memang jauh lebih maju dibanding Timur.
Selain itu, OTH juga melakukan kongsi dengan pengusaha Jerman untuk mengakuisisi pabrik gula. Barulah ia mulai menjadi "Sang Raja Gula" dengan mencaplok hingga lima pabrik gula yang hampir bangkrut, seperti pabrik gula di Rejoagung, Krebet, Tanggulangin, Pakies, dan Ponen. Adapun suplai tebu sebagai bahan dasar gula berasal dari tanah 7.082 hektare yang ia kontrak untuk panen tebu.
ari Adapun sebenarnya terdapat sejumlah momentum yang turut mengiringi kesuksesan perkembangan bisnis OTH, seperti dibukanya Terusan Suez sejak 1869 yang menjadi jalur perdagangan terpenting Asia-Eropa. Adapula diterbitkannya UU Agraria oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu secara tak langsung mendukung strategi bisnisnya.
ADVERTISEMENT
Seketika OTH menjadi seorang kapitalis di Hindia Belanda yang sejajar dengan para kapitalis Barat saat itu. Ia dianggap sebagai konglomerat pertama di Asia Tenggara. Masing-masing dari kelima pabrik gulanya saja mampu mengekspor puluhan hingga ratusan ribu ton dengan keuntungan 2-5 persen per kilogram.
Jaringan bisnisnya pun begitu banyak selain gula, seperti bisnis opium (saat itu masih legal), ekspor hasil bumi, perbankan dan properti, dan banyak lagi. Belum lagi, ia memperluas jangkauan bisnisnya dengan membuka cabang secara internasional seperti di Inggris, AS, Belanda, Singapura, China, dan banyak lagi.
Kerajaan bisnis OTH ini berjaya selama periode 1890-an hingga 1920-an. Saat periode akhir itu pula, OTH pindah ke Singapura dan menutup usia di sana pada 6 Juni 1924 di umur yang cukup muda, 57 tahun. Ia meninggalkan jaringan bisnis besarnya kepada keluarganya hingga puluhan tahun selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Sayang, kebesaran bisnis OTH terus meredup semenjak ia meninggal, hingga ditutup begitu saja oleh pemerintah pada 1961. Kini, OTHC diambil alih oleh perusahaan yang hingga kini dikenal dengan nama PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Jejak kekayaan OTH pun kini semakin dilupakan oleh masyarakat Indonesia, khususnya Semarang.