Kisah Prajogo: Dulu Jualan Ikan Asin, Kini Jadi Bos Kayu Berharta Rp 65 Triliun

Konten dari Pengguna
27 September 2020 11:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Profil Orang Sukses tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Prajogo Pangestu (Foto: Forbes)
zoom-in-whitePerbesar
Prajogo Pangestu (Foto: Forbes)
ADVERTISEMENT
Menjadi sukses tak melulu harus punya privilege berupa warisan atau orang tua yang kaya. Seberapapun modal yang dimiliki, tetap saja kesuksesan berasal dari kerja keras yang gigih.
ADVERTISEMENT
Begitulah Prajogo Pangestu, salah satu orang terkaya di Indonesia yang masuk daftar Forbes dengan kekayaan sebesar 4,4 miliar dolar AS atau senilai Rp 65 triliun. Harta kekayaannya mayoritas berasal dari bisnis kayu yang dia kelola.
Prajogo punya banyak kran bisnis yang tak akan membuatnya kehabisan uang. Pertama, perusahaan kayu yang membuatnya mulai terjun ke dunia bisnis yang lebih besar, yakni PT Barito Pacific Timber.
Kedua, bermodal pendapatan besar dari perusahaan kayunya itu, ia mengakuisisi perusahaan petrokimia, Chandra Asri dengan menguasai 70% sahamnya. Chandra Asri yang berjualan di Bursa Efek Indonesia semakin mengukuhkan kekayaan Prajogo.
Terakhir, pada 2011 silam, Chandra Asri melakukan merger dengan Tri Polyta Indonesia dan menjadi perusahaan petrokimia gabungan terbesar di Indonesia. Merger ini jelas membawa dampak besar pada kantung kekayaan Prajogo.
ADVERTISEMENT
Belum lagi, pada 2015 silam, Chandra Asri melakukan kerjasama dengan pabrik ban paling besar dari Perancis, Michelin, untuk membangun pabrik karet sintetis di Indonesia.
Siapa sangka, semua kekayaan dan kesuksesannya itu diawali dari pahitnya kisah kehidupan Prajogo. Pria kelahiran Sambas, 13 Mei 1944 ini harus mengalami beratnya roda kehidupan. Ia harus jatuh-bangun hingga mendapatkan posisi senyaman sekarang.
Dulu Jualan Ikan Asin hingga Jadi Sopir Angkot
Masa muda Prajogo tak begitu indah. Terlahir dari keluarga yang biasa-biasa saja membuat Prajogo muda harus memutar otak agar bisa bertahan hidup. Apapun dilakukan Prajogo asalkan ia mendapatkan makan.
Anak muda lulusan SMP itu kemudian merantau ke Jakarta pada 1960 silam. Ia menyeberangi lautan Jawa dengan harapan mendapatkan pekerjaan di Ibukota. Sayang, Ibukota terlalu keras. Ia tak kunjung mendapatkan pekerjaan layak di sana.
ADVERTISEMENT
Alhasil, Prajogo pulang kembali ke Kalimantan Barat agar tak terlalu banyak menghabiskan waktu. Pulang kampung tak membuat kehidupannya membaik, ia harus banting tulang dengan menjadi sopir angkot.
Trayek Prajogo adalah jurusan Singkawang-Pontianak. Setiap hari ia menempuh perjalanan berkilo-kilo meter demi sesuap nasi. Sebagai sampingan, ia juga berjualan ikan asin dan bumbu-bumbu dapur.
Siapa sangka, pekerjaannya sebagai sopir angkot membawanya kepada mimpi yang ia simpan selama ini. Ia bertemu dengan pengusaha kayu asal Negeri Jiran, Malaysia, Burhan Uray. Ia kemudian bekerja di perusahaan Burhan, PT Djajanti Grup.
Tujuh tahun kemudian, saking hebatnya ia di industri kayu, Prajogo diangkat menjadi general manager di PT Plywood Nusantara di Gresik, Jawa Timur. Karirnya semakin melejit sejak saat itu.
ADVERTISEMENT
Bekerja di tempat orang lain belum membuat Prajogo puas. Akhirnya, ia keluar dari pekerjaannya dan memberanikan diri membangun perusahaannya sendiri.
Dengan modal pinjaman ke sebuah bank, Prajogo membeli sebuah CV yang sedang sekarat, CV Pacific Lumber Coy. CV itulah yang kini bersulih rupa menjadi PT Barito Pacific Timber dan membuat Prajogo menjadi taipan kayu raksasa di Indonesia.