Kisah William Soeryadjaya, Pendiri Astra Memulai Bisnis dengan Jualan Kertas

Konten dari Pengguna
24 Maret 2020 14:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Profil Orang Sukses tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
William Soeryadjaya. Foto: wikipedia
zoom-in-whitePerbesar
William Soeryadjaya. Foto: wikipedia
ADVERTISEMENT
Kamu pernah membaca daftar orang terkaya di dunia? Pernahkah kamu berpikir bagaimana bisa seseorang yang tidak tamat SD atau dulunya sebagai supir bahkan ada yang idenya dianggap sesuatu yang gila oleh orang sekitar, kini menjelma menjadi orang sukses dengan harta triliunan rupiah.
ADVERTISEMENT
Kalau kamu sering baca kisah profil orang sukses di Indonesia, percaya atau tidak tetapi hampir sebagian dari mereka bisa memperoleh kekayaan tersebut karena hasil usaha yang dirintis sendiri atau menjadi wirausaha di usia muda.
Tidak sedikit yang memulai bisnis dari nol, jatuh bangun, bangkrut hingga akhirnya menjadi pengusaha sukses dengan kekayaan luar biasa. Hal seperti ini ternyata juga dirasakan oleh pendiri perusahaan otomotif terbesar di Indonesia, yakni Astra Internasional.
Di balik nama besar perusahaan tersebut, ada sosok William Soeryadjaya yang berasal dari anak pedagang di Majalengka. Sosoknya dikenal pantang menyerah serta pekerja keras, bagaimana tidak di usia 12 tahun William harus menelan pil pahit karena sudah menjadi seorang yatim piatu. Menginjak usia 19 tahun, sekolahnya di Mulo, Cirebon harus putus di tengah jalan.
ADVERTISEMENT
Karena hal tersebut, William atau yang bernama asli Tjia Kian Liong memulai karier sendiri dengan menjadi pedagang kertas di Cirebon. Bukan hanya itu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menafkahi anggota keluarganya, William muda juga sempat berjualan benang tenun di Majalaya.
Berbagai pekerjaan ia lakoni tanpa rasa putus asa, bahkan tak berapa lama setelah berjualan tenun, William memutuskan untuk berdagang hasil bumi, seperti minyak, kacang, beras dan gula. Kalau kamu perhatikan pekerjaan Pak William ini memang tak jauh-jauh dari bisnis dan berdagang ya.
Nah karena William dikenal sebagai anak yang pintar, uang hasil berdagangnya tidak habis begitu saja, di samping digunakan untuk membantu kehidupan saudara-saudaranya, William juga menyisihkan sedikit demi sedikit uang tersebut untuk bisa melanjutkan studinya di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Terbukti dengan uang hasil berdagang tersebut, ia bisa sekolah di Middlebare Vakschool V/d Leder & Schoen Industrie Waalwijk, Belanda, sebuah sekolah industri yang mengajarkan penyamakan kulit atau proses pembuatan suatu barang dari kulit.
Akhirnya pada 1994 William kembali ke tanah air membawa ilmu yang telah ia dapatkan dari Belanda. Selanjtnya ia pun mendirikan industri penyamakan kulit yang saat itu kepengurusan diserahkan kepada seorang karyawan. Sosok William dikenal sebagai pribadi yang percaya dengan orang-orang yang membantu dalam mengembangkan kariernya.
Tiga tahun kemudian, karena kesuksesan di bisnis sebelumnya ia berhasil membangun CV Sanggabuana yang bergerak di bidang perdagangan dan ekspor impor. Namun karena sifat terlalu percaya kepada rekan kerja tadi, di bisnis ini mengalami kerugian karena ditipu rekan kerjanya sendiri.
ADVERTISEMENT
Namun, usaha harus tetap dijalani, lantas William bangun dari keterpukan dan belajar dari pengalaman pahit. Lima tahun setelahnya ia bersama sang adik Drs Tjia Kian Tie dan kawannya, Lim Peng Hong mencoba untuk mendirikan PT Astra Internasional.
Awalnya bisnis ini hanya bergerak dalam pemasaran minuman ringan merek Prem Club, karena sukses, William berekspansi dengan mengekspor hasil bumi.
Perkembangan berikutnya lahan garapan usaha astra meluas ke sektor otomotif, peralatan berat, peralatan kantor, perkayuan, dan sebagainya. Astra tumbuh bak “pohon rindang”.

Kebijakan Orde Baru dalam Perkembangan Astra

Menara Astra. Foto: Astra.co.id
Keberhasilan Astra ketika itu, diakui William, tidak terlepas berkat ada kebijaksanaan Pemerintah Orde Baru, yang memberi angin sejuk kepada dunia usaha untuk berkembang. Salah satu contohnya tahun 1968-1969, Astra diperkenankan memasok 800 kendaraan truk merek Chevrolet.
ADVERTISEMENT
Kebetulan, saat itu pemerintah sedang mengadakan program rehabilitasi besar-besaran. Saking banyaknya yang membutuhkan, kendaraan truk itu laris bak pisang goreng. Apalagi, ketika itu terjadi kenaikan kurs dollar, dari Rp 141 menjadi Rp 378 per dollar AS.
Sejak saat itu bisninya semakin melejit hingga William berpikir untuk memproduksi sendiri produk sebelum dijual ke masyarakat luas.
Namun masa-masa sulit harus diterima William saat harus menjual seluruh sahamnya guna memenuhi kewajiban pembayaran ke Bank Summa. Di bank ini William mengantongi 60 persen saham yang dibagi rata dengan Edward, anaknya. Cuma, sayangnya, Edward kurang berhati-hati dalam menjalankan roda usaha perbankan itu. Anaknya terlalu royal dalam mengumbar kredit.
Akibatnya, tahun 1992 bank ini dilanda utang yang begitu besar dan untuk melunasinya, terpaksa William harus melepas kepemilikannya di Astra.
ADVERTISEMENT
Banyak sifat yang patut dipuji dalam kepemimpina William di Astra salah satunya dilihat dari kepedulian Om William terhadap rekan dan pengusaha kecil.
Bahkan ia juga peduli dengan dunia pendidikan di Indonesia. Saat itu ia merelakan tanah di Cilandak, Jakarta Selatan terjual dengan harga miring untuk pembangunan gedung Institut Prasetya Mulya. Ia dikenal juga dengan sosok yang religius dan selalu menekankan bahwa keberhasilan yang diperoleh berkat rahmat tuhan.
William Soeryadjaya wafat di tahun 2010, namun namanya hingga kini selalu dikenang sebagai sosok yang berpengaruh dalam perkembangan ekonomi di Indonesia.