Perjalanan Prijono Sugiarto Pimpin Astra hingga Jadi Bos Terbaik di Asia

Konten dari Pengguna
19 November 2020 13:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Profil Orang Sukses tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Prijono Sugiarto (Foto: Dok. Astra)
zoom-in-whitePerbesar
Prijono Sugiarto (Foto: Dok. Astra)
ADVERTISEMENT
Astra International menjadi salah satu perusahaan yang berkontribusi pada perkembangan industri otomotif Indonesia. Di akhir tahun 2018 lalu, perusahaan tersebut melaporkan laba bersih sebesar Rp 21,6 trilliun.
ADVERTISEMENT
Pencapaian tersebut tentu saja tidak lepas dari sosok Prijono Sugiarto, mantan Presiden Direktur Astra yang sudah menjabat selama satu dekade sejak 2010 hingga Juni 2020 lalu. Ia digantikan oleh Djony Bunarto Tjondro, sementara Prijono dijadikan Presiden Komisaris Astra menggantikan Budi Setiadharma.
Pria yang akrab disapa Pri itu lahir di Jakarta, 20 Juni 1960. Ketertarikannya pada dunia otomotif sebenarnya sudah muncul sejak SMA. Ia sendiri mengaku kalau ayahnya lah yang menginspirasi dirinya untuk menjadi insinyur di masa depan.
Ayahnya sendiri adalah salah satu orang yang pernah merakit Honda N360 dan Datsun Pick Up pada tahun 1960-an. Sejak saat itu, Pri sudah menargetkan akan berkuliah di jurusan teknik mesin, bahkan saat dirinya masih berusia 12 tahun.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, orang tua Pri tidak langsung menyetujui hal tersebut. Dirinya lantas mengatakan kalau itu adalah bidang yang ia sukai. “Orang saya sukanya ini, ya saya harus mempelajari bidang yang saya sukai dulu,” katanya dalam sebuah wawancara.
Ia teguh pendirian dengan tetap berkuliah Diploma Ing di jurusan tersebut, tepatnya di Universitas Mechanical Engineering Konstanz, Jerman. Namun, setahun sebelum kelulusannya yang ditempuh hampir lima tahun, Pri mendapat kiriman surat dari ayahnya untuk meneruskan sekolah bisnis.
Pri lantas mengiyakan saran ayahnya tersebut. Ia yang masih berada di Jerman kala itu lalu mendaftar di ASc Boschum Jerman di bidang Business Administration. Di kemudian hari, Pri sadar bahwa saran ayahnya tersebut benar-benar berguna.
Ia berterima kasih kepada ayahnya terhadap hal tersebut karena Pri tidak akan mengetahui ilmu tentang bisnis dan tidak akan mencapai pada titik yang dimilikinya sekarang. Setelah lulus dua tahun dan mendapat Diploma Wirtschaftsing, Pri lalu kembali ke tanah air.
ADVERTISEMENT
Pada 1987, Pri diterima menjadi karyawan PT. Daimler-Benz Indonesia dan langsung menjadi manajer sales. Pri hanya bertahan tiga tahun di perusahaan tersebut setelah mengiyakan tawaran pindah ke salah satu anak perusahaan Grup Astra, PT. Tjahja Sakti Motor yang menaungi mobil asal Jerman, BMW.
Karena sepak terjang Pri di perusahaan sebelumnya yang bagus, ia lantas mendapat promosi menjadi Direktur Operasional mulai dari 1990.
Tak disangka, BMW yang notabene masih di bawah kendali Grup Astra kala itu berhasil menjadi salah satu merek premium di Indonesia berkat tangan dingin Pak Pri. Pada 1997, BMW pernah mengalami penjualan terbesar saat itu, yaitu mencapai 10 persen dari total pasar mobil di Indonesia.
Sejak saat itu pula, Pri menjadi karyawan langganan dengan jabatan bertumpuk. Sekitar 2008, ia mendapat tanggung jawab untuk menjadi direktur di PT Astra Honda Motor (AHM) dan PT Astra Otoparts Tbk (AOP), keduanya merupakan anak perusahaan Grup Astra.
ADVERTISEMENT
Karena banyak beban itu, ia sempat mengeluh karena setiap hari kerjanya harus berpindah dari satu kantor ke kantor yang lain. “Saya setiap hari kerjanya pindah-pindah. Senin di kantor ini, Selasa ke sana, kemudian Rabu ke kantor yang lain, sampai habis seminggu waktu saya," katanya.
Pada 2001, ia ditunjuk sebagai Direktur Perseroan sampai tahun 2010. Di saat yang sama, ia juga memiliki jabatan penting di PT. Pamapersada Nusantara sebagai Presiden Komisaris (2007–2009) dan Wakil Presiden Komisaris PT Federal International Finance (2007-2010).
Meski sempat mengeluh, Pri ternyata mendapat puncak karir dengan menjabat sebagai Presiden Direktur Astra. Jujur saja, Pri tidak pernah menyangka jabatan tersebut akan diberikan kepadanya.
“Enggak pernah bermimpi. Saya melihat Pak Teddy Rahmat sebagai Presdir Astra saat itu terlampau hebat. Mana mungkin saya bisa seperti beliau kan?” kelakarnya. Namun, Pri yang selalu melakukan segala hal dengan all-out itu terus diberi kepercayaan di perusahaan.
ADVERTISEMENT
Pada 2010, ia ditunjuk menjadi Presiden Direktur Astra International menggantikan Michael D. Ruslim yang saat itu wafat. Sejak saat itu, Pri harus memikul beban perusahaan multinasional yang memiliki 191 anak perusahaan dengan total 227.000 karyawan.
Meski begitu, Pri menjadikan itu pacuan semangat untuk menyelesaikan hal yang ia anggap sebagai tantangan itu. Selama kepemimpinannya, Astra kerap melakukan gebrakan. Pri sendiri mengaku kalau ia tak suka sesuatu yang stagnan. Dirinya justru lebih menyukai tantangan.
Tahun 2019 lalu, Astra sempat diberitakan telah mengalokasikan sebanyak Rp 30 triliun untuk ekspansi bisnis. Jumlah tersebut digunakan untuk belanja modal PT. United Tractors Tbk sebesar Rp 15 triliun dan PT. Astra Agro Lestari Tbk Rp 1,7 triliun.
ADVERTISEMENT
Sebanyak Rp 2,5 triliun digunakan untuk ekspansi jalan tol dan pembangunan outlet baru. Selebihnya akan digunakan untuk belanja modal yang berkaitan dengan teknologi informasi (IT) yang diperlukan anak usaha Grup Astra.
Sampai sekarang, Astra menjadi salah satu yang memiliki merek perusahaan terkuat dan kapitalisasi pasar yang besar di Bursa Efek Indonesia. Dari kuartal III 2016 hingga kuartal III 2018 saja, saham Astra terus menerus naik dari Rp 11,27 triliun menjadi Rp 17,07 triliun.
Atas kepiawaiannya, Pri mendapatkan penghargaan Asia Business Leader of The Year Award 2014 dari Asia Business Leaders Awards (ABLA) yang diselenggarakan oleh CNBC di Singapura. Ia merupakan CEO pertama dari Indonesia yang mendapatkan penghargaan dari acara yang dihadiri oleh 250 pemuka bisnis seluruh Asia.
ADVERTISEMENT