Reformasi 98 yang Tersisa di Ingatan

Konten dari Pengguna
26 Mei 2017 18:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eddward S Kennedy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mural peringati 19 tahun reformasi (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Saya masih berusia 11 tahun ketika Reformasi 98 terjadi. Selain ada mal yang sempat dibakar, tak banyak kisah yang saya ingat. Tapi, saya akan coba mengoreknya kembali.
ADVERTISEMENT
* * *
Pulogebang, daerah rumah saya, terletak di pinggiran Jakarta Timur dan berjarak hanya sepelemparan tombak dengan (perbatasan) Bekasi.
Di ujung selatan daerah ini, terdapat stasiun (Cakung) dan jalan tol (Jakarta - Cikampek) yang letaknya bersebelahan. Kini terdapat pula terminal baru Pulogebang yang disebut terbesar se-Asia Tenggara.
Pulogebang sejatinya hanyalah daerah perlintasan bagi mereka yang tak ingin terjebak macet saat menuju Bekasi atau ke Jatinegara. Dan karena terdapat kemudahan akses yang dilalui banyak orang untuk bepergian itulah, Pulogebang juga menjadi semacam daerah melting pot.
Mayoritas warga di Pulogebang beretnis Betawi. Definisi ‘Betawi’ sendiri bukan sesuatu yang mutlak dikategorikan sebagai “pribumi” atau “suku asli pemilik” Jakarta. Begitu banyak percampuran antar etnis yang kemudian membentuk ke-Betawi-an hingga kita perlu menunda definisi “asli” dan yang “tidak” dalam hal ini.
ADVERTISEMENT
Lance Castles, salah seorang sejarawan, dalam sebuah risetnya yang berjudul The Ethnic Profile of Djakarta (diterbitkan Cornell University pada 1967), menyebut bahwa secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia.
Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Melayu, Jawa, Bali, Bugis, Makassar,dan Ambon, serta suku-suku pendatang, seperti Arab, India, Tionghoa, dan Eropa.
Riset Castles berlandaskan pada empat sketsa demografi sejarah:
ADVERTISEMENT
Tapi apa guna riset Castles--saya sendiri tak mutlak setuju dengan pendekatannya karena ia juga menyebut orang Betawi sebagai keturunan budak dalam riset yang sama--ketika preferensi rasial hanya berguna untuk membunuh atau dibunuh seperti yang terjadi pada masa Reformasi 98?
* * *
Pada masa berdarah itu, demam “pribumi asli” juga melanda Pulogebang. Seantero tembok di jalan-jalan penuh dengan coretan ‘100% PRIBUMI’, ‘ASLI PRIBUMI’, ‘PRIBUMI MURNI’, dan sejenisnya. Orang-orang, kebanyakan pria dewasa, berjaga-jaga di pinggir jalan, di muka gang, di depan gerbang kompleks. Ban-ban ditumpuk, perabotan bekas dihamparkan.
Seperti dalam latar novel distopia, situasi terasa khaotik dan mencekam sekaligus. Saya membayangkan, barangkali seperti ini yang terjadi pada tragedi 1965...
Di sebuah kompleks perumahan yang dinamakan Pulogebang Permai, kendati banyak pula orang berjaga-jaga, tak sedikit rumah yang ditinggal pergi pemiliknya. Kebanyakan dari rumah itu adalah rumah ‘gedongan’--istilah sarkastik yang lahir dalam masyarakat akar rumput Jakarta untuk menyebut rumah milik orang kaya.
ADVERTISEMENT
Sebagian rumah itu hancur karena dirusak massa, ada yang temboknya dicorat-coret dengan tulisan yang merujuk pada sentimen rasial, ada yang, hingga sekarang, masih berdiri utuh tapi tak berpenghuni. Bangunannya ditumbuhi akar belukar dan lumut yang mengular.
Selain warga Tionghoa, orang-orang kaya (atau mereka yang dianggap seperti itu) memang juga terkena imbas Reformasi 98. Maka tak heran jika korban yang mengalami kekerasan paling brutal adalah mereka yang sudah keturunan Tionghoa dan orang kaya.
Aksi massa di Pulogebang memang tak seganas seperti di daerah lain di Jakarta seperti, misalnya, Jembatan Lima, yang dalam banyak laporan kejahatan kemanusiaan pada 98 disebut paling banyak menelan korban.
Tapi untuk menyebut Pulogebang sepi dari ketegangan adalah kesalahan.
ADVERTISEMENT
Ada satu momen yang saya ingat: iringan-iringan massa yang menaiki mobil pikap sambil berteriak-teriak membawa hasil jarahan dari sebuah mal kecil bernama Sahabat.
Mal Sahabat--atau mungkin lebih tepat disebut toserba karena bangunannya terlampau kecil untuk disebut mal--kala itu jadi pusat penjarahan oleh massa sekitar Pulogebang. Tentu saja bangunannya juga ikut dibakar.
Beragam barang, mulai dari mesin dingdong, vending machine, pakaian, sampai berkrat-krat minuman kaleng, dibawa kabur massa yang beringas. Bahkan ada yang berhasil menggondol segepok emas dan memamerkannya ke orang-orang.
Saya tahu betul barang-barang ini karena beberapa tetangga sekitar rumah juga menjadi pelakunya.
Dalam waktu yang berdekatan, muncul kabar bahwa mal Yogya di Klender--yang jaraknya tak terlampau jauh dari Pulogebang--juga sudah dibakar dan habis dijarah massa.
ADVERTISEMENT
Tapi yang mengerikan bukan sekadar kabar tadi: Kebakaran tersebut memakan korban jiwa yang amat banyak.
Mal Yogya Klender, pada kala itu, merupakan salah satu mal terbagus se-Jakarta. Bangunan enam lantai tersebut bukan hanya lengkap dari sisi perbelanjaan, tetapi juga memiliki diskotek dan bioskop. Nyaris setiap hari mal Yogya ramai oleh pengunjung.
Dalam beberapa kisah yang sempat saya baca mengenai pembakar mal Yogya, korban yang tewas berjumlah ratusan. Kebanyakan dari mereka adalah para pengunjung yang ketakutan untuk keluar karena sekeliling bangunan sudah dikepung massa. Beberapa di antaranya adalah para penjarah.
Pembakaran mal Yogya Klender adalah salah satu tragedi kelam dalam senarai kisah Reformasi 98. Amuk massa serupa api yang mereka sulut: membakar hangus (si)apa saja yang ditemui.
ADVERTISEMENT
Gawatnya: tak ada persediaan air untuk memadamkannya.
Di rumah, keluarga saya juga cukup merasakan ketegangan. Selain karena mayoritas perempuan, secara sosial keluarga saya juga dianggap sebagai keluarga berada. Beruntung bapak cukup kenal dengan warga sekitar. Hal itu cukup dapat meminimalisir kekhawatiran.
Kami berkumpul di ruang keluarga hingga esok tiba. Ketegangan di lingkungan sekitar berangsur menyurut, kendati di wilayah lain di Jakarta masih juga membara.
Situasi mulai berangsur tenang tatkala muka para “tokoh” Reformasi mulai menghiasi Istana. Mereka yang dianggap wakil-wakil baru dari masyarakat progresif, modern, anti-feodal, anti-militer, humanis, dan kerap mengklaim diri bagian dari “rakyat sipil”.
Reformasi seperti memiliki rumusannya yang cerah hingga titik ini. Tapi tak pernah benar-benar menggugah.
ADVERTISEMENT
* * *
Dengan segala hormat, saya kira, saya cukup berjarak dengan narasi Reformasi. Tak ada sentimentalisme yang cukup bagi saya untuk mengenang Reformasi sebagai tragedi yang mengharu biru.
Terlebih ketika kini, setelah 19 tahun Reformasi berjalan, para aktivis yang dulu bertarung di jalanan mengguncang otoritarianisme Soeharto, justru banyak yang menjadi biang kerok demi klise yang murahan itu: berebut kekuasaan.
Reformasi menjadi buah simalakama dan kita belum baik-baik saja. Atau kita memang tak akan pernah menjadi baik?