Bapak dan Requiem

Konten dari Pengguna
28 April 2017 21:11 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eddward S Kennedy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Father and Son (Foto: vinodnarayan)
Bapak saya mungkin tak pernah tahu Neruda. Apalagi W.H Auden. Barangkali juga ia hanya mengenal Chairil Anwar sepintas. Dan bisa jadi bapak hanya tertawa sinis ketika melihat adegan Cinta dan Rangga berciuman-sesengukan di bandara ketika kedua sejoli itu mesti pisah di film Ada Apa Dengan Cinta.
ADVERTISEMENT
Bapak saya mungkin tak mengerti landasan teoritis tentang cinta. Mengapa orang mesti menulis puisi dan memberikan bunga saat Valentine. Buat apa pula air mata mesti menetes dari seseorang saat mendengar Adele melantunkan Someone Like You.
Tapi saya percaya, sangat percaya, dalam hidup, ia telah berhasil mencintai dan dicintai oleh orang yang memang lahir untuk mendampinginya, melayaninya, memanjakannya sampai hayat tuntas.
* * *
Saya pernah menonton banyak film romantis yang menyayat hati. Dan tak ada satupun dari film tersebut yang berhasil mengoyak kelenjar air mata saya.
City of Angel, misalnya, bagi saya adalah film sempurna yang bercerita tentang betapa jatuh cinta selalu sukses menghadirkan jejalin absurditas, keindahan, dan sungsang yang lebur jadi satu.
ADVERTISEMENT
Ketika Seth (Nicholas Cage), sang malaikat pencabut nyawa, memutuskan memberontak terhadap kodratnya: memilih menjadi manusia karena jatuh cinta kepada Maggie (Meg Ryan), untuk kemudian pada akhir cerita ia justru harus menerima kenyataan pahit bahwa Maggie mesti pergi ke akherat, menurut saya, adalah plot cerita yang paling magis dibanding beberapa film dengan tema besar serupa yang pernah saya tonton.
Apakah saya menangis karenanya? Tidak. Sama sekali.
Di antara kita mungkin banyak yang demikian: film romantis dengan akhir yang tragis tak melulu bikin mata sembab. Selalu ada itikad untuk memahami bahwa film hanyalah sebuah produk, dengan cacat yang pasti hadir dengan sendirinya. Dan kita berusaha memperbaiki lewat kritik. Atau sekadar membabatnya lewat sarkasme dan cemoohan. Atau membandingkannya dengan produk lain. Tak peduli genre apa yang diambil, tak peduli aliran apa yang dipakai, film adalah film: sebuah benda yang lahir dari perpaduan cita rasa imajinatif dan estetika visual.
ADVERTISEMENT
Dari pengertian ini, kita mencoba menakar--dalam perspektif realisme sosialis: sejauh apa kenyataan yang tergelar dalam hidup layak masuk kedalam sebuah film. Dan sebaliknya: sejauh mana fragmen dalam sebuah film dapat menghadirkan kenyataan hidup yang "filmis".
Belum lama ini, saya mengalami poin yang kedua: mendapati momen filmis untuk pertama kalinya dalam hidup. Momen yang membuat tubuh bergetar dan air mata mengalir sederas mungkin, kesedihan menghantam selaknat mungkin.
Ketika saya baru saja naik dari liang lahat setelah memasukkan jenazah ibu kedua saya, bapak diajak salah seorang yang berada dalam pemakaman itu untuk membantu menguruk tanah. Bapak menolaknya. Ya, beliau menolaknya dengan tegas. Bapak berkata:
"Nggak mau! Masa saya nguburin orang yang saya sayang? Nggak mau!"
ADVERTISEMENT
Buat saya, kata-kata tersebut adalah kata-kata paling romantis yang pernah saya dengar selama ini. Dan momen di mana bapak mengatakan hal tersebut adalah momen paling filmis yang pernah saya rasakan benar-benar dalam hidup.
Saya, saat itu, seakan mendapat kekuatan entah dari mana untuk membantu menenangkan bapak. Orang yang menurut saya memiliki kepala paling keras di dunia.
Beliau mengatakan itu dengan cucuran air mata yang tak berhenti sejak semalam. Saya yang berada di sampingnya kemudian merangkulnya, mengelus-elus punggungnya, sembari berharap usapan dipunggungnya sedikit mengurangi sedih yang perih itu.
Harapan yang tolol, tentu saja.
Hingga prosesi pemakaman pun selesai. Orang-orang berduyun pulang. Tinggal keluarga dekat yang tinggal. Lalu, dengan isak yang masih penuh, bapak jongkok dan memegang nisan kuburan ibu, beliau berucap:
ADVERTISEMENT
"Maafin papa selama ini kalau terlampau keras sama mama. Papa sayang, sayang sekali dengan mama. Papa nggak siap ditinggal mama. Papa harusnya yang pergi duluan. Papa nggak sanggup kaya gini. Nggak siap."
Dalam beberapa tulisan saya tentang bapak, saya selalu mengatakan bahwa bapak adalah orang paling tegar sekaligus paling keras kepala yang pernah saya kenal dalam hidup selama ini. Ketegarannya seperti tak berbatas. Keras kepalanya seperti abadi. Dadanya selalu busung, kepalnya selalu penuh. Air mata bukanlah kawannya. Ia seperti sengaja bermusuhan dengan kesedihan.
Kisah hidup bapak sendiri sangat filmis. Saya merasa Laskar Pelangi adalah sampah daur ulang dan Pursuit of Happiness adalah lelucon tak lucu jika ingat bagaimana heroiknya bapak menjalani hidup.
ADVERTISEMENT
Bapak saat masih sangat kanak sudah merasakan getir kejam terminal ketika ia berjualan panukuik (semacam dorayaki asli buatan Minang) untuk menyambung sekolah.
Ayah dan anak (Foto: Unsplash)
Di Jakarta, entah berapa kali bapak berkelahi hingga mau mati demi uang yang tak seberapa. Mendapat banyak hinaan oleh beberapa orang yang semestinya membantu hidupnya. Dikhianati orang-orang terdekat. Itu belum ditambah bahwa bapak tak pernah tahu siapa ayahnya, macam mana rupanya, di mana kuburannya.
Bapak adalah film yang rolnya seakan tak pernah selesai untuk terus diputar. Beliau merantau ke Jakarta sendirian, benar-benar sendirian, sejak lulus SMP dari kampungnya di Padang, Tanjung Alam. Bapak adalah sosok yang selalu diceritakan para motivator tentang bagaimana hidup yang keras mesti dijalani dengan kuat dan sabar. Dan karena ceritanya tersebut, saya selalu yakin, sangat yakin, Mario Teguh atau Tung Desem Waringin adalah hipokrit bangsat yang sejatinya tak pernah tahu apa-apa tentang hidup, tentang bagaimana rasanya menjadi realis yang pahit.
ADVERTISEMENT
Saya tak pernah mendengar bapak satu kalipun mengeluarkan kata-kata pesimis. Selalu, selalu ada jalan keluar olehnya ketika masalah mampir. Meski untuk melanggengkan optimisme ke anak-anaknya beliau cenderung megalomaniak--karena selalu menjadikan dirinya sendiri sebagai contoh--, bapak selalu sukses melakukannya. Setidaknya, dari bapaklah saya menyadari betapa harga diri dan prinsip adalah satu-satunya hal yang mesti betul-betul dirawat oleh seorang laki-laki. Tetapi hari itu saya diajari bapak hal lain.
Melalui tangisnya, bapak mengajari saya secara tidak langsung bahwa tak ada, tak pernah ada, gen superman dalam diri manusia. Selalu ada batas, selalu ada jeda untuk berkata "saya tak kuat", dan menangis sehebat mungkin karena telah kalah oleh takdir. Akan selalu ada momen di mana eskapisme tak ada arti karena penyesalan terus menggerogoti pikiran.
ADVERTISEMENT
Hari itu, ya, hari itu, hari di mana ibu kedua yang saya sangat cintai telah berpindah alam, bapak kalah setelak-telaknya oleh kenyataan.
Bapak menyerah. Tak ada keras kepala. Tak ada angkuh. Tak ada optimisme. Semua boyak, semua koyak, oleh pedih yang datang mendadak. Saat itu, saya mendapati betapa bapak adalah sosok yang sangat lemah sekali. Jauh dari perangai dan watak kerasnya selama ini.
Saya merasa bapak hadir sebagai pria yang sangat manusiawi: pria yang kalah karena kehilangan wanita yang ia percaya lahir untuk bersanding dengannya sampai tutup usia.
Mendapati kenyataan macam itu, saya hanya mengangguk-angguk sambil berusaha sekuat mungkin menenangkan diri sekaligus menenangkan bapak.
Sorrow (Foto: geralt)
ADVERTISEMENT
Dalam hati saya mengucap terima kasih sebesar-besarnya untuk ibu kedua saya ini karena telah menemani bapak. Saya ucapkan betapa saya sangat, sangat mencintainya penuh seluruh. Tak ada setitik pun penyesalan karena saya mengenalnya dalam hidup. Sama sekali.
Menjelang sore tiba, kami sekeluarga kembali mendatangi makam ibu untuk membacakan doa-doa. Setengah jam lamanya kurang lebih. Ketika prosesi membaca doa selesai, bapak dan keluarga yang lain berbincang dengan pengelola makam, saya kembali ke makam ibu. Saya lalu berdiri di samping untuk memandangi makam tersebut pada waktu yang cukup lama. Sampai kemudian saya mencium nisannya. Dan kembali mengucapkan terima kasih untuknya.
Semua terasa begitu cepat, terlalu cepat...
Bapak kemudian menghampiri saya. Mengajak saya pulang. Saya lalu berdiri, menyeka air mata dan memeluknya seerat mungkin. Dalam perjalanan pulang, momen di mana bapak menyatakan penyesalannya di depan makam ibu karena sering bertindak keras kepadanya, kembali merasuki alam bawah sadar saya.
ADVERTISEMENT
Kali ini dada saya terasa lebih lapang. Tak ada tangis. Tak ada isak.
Saya mencoba sadar, bahwa dalam beberapa momen, hidup barangkali adalah film itu sendiri. Dan episode tentang bapak dan ibu kedua saya adalah episode yang akan saya putar saat hidup kembali mengajarkan saya kehilangan satu saat nanti.
Catatan lawas, ditulis beberapa hari setelah ibu kedua saya meninggal, sekitar 5 tahun lalu.